Kamis, 17 April 2025 menjadi hari bersejarah bagi UIN Sunan Kalijaga. Untuk pertama kalinya, seorang mahasiswa difabel intelektual mengikuti ujian skripsi dan dinyatakan lulus dengan predikat memuaskan. Dia adalah Muhammad Ramadhan Setiadijaya, akrab disapa Rama.
Hari itu, bukan sekadar hari ujian akademik. Ia adalah hari kemenangan bagi ketekunan, ketulusan, dan harapan. Rama bukan hanya menjawab pertanyaan para penguji; ia menjawab keraguan dunia. Ia bukan hanya mempresentasikan skripsi; ia mempersembahkan sebuah revolusi sunyi dalam dunia pendidikan tinggi Indonesia.
Mengenakan kemeja putih dengan setelan jas hitam, Rama tampak tegang namun percaya diri saat duduk di hadapan tiga dosen penguji: Drs. M. Rosyid Ridla, M.Si., Munif Solihan, M.P.A., dan Aris Risdiana, S.Sos.I., M.M. Ia mempresentasikan hasil penelitiannya berjudul “Penerapan Manajemen Masjid: Studi pada Masjid At Tauhid, Masjid Al Barokah, dan Masjid Miftahul Hasanah”.
Meski dihadapkan pada keterbatasan, Rama membuktikan bahwa semangat belajar dan dukungan sistem yang inklusif mampu menembus batas. Skripsinya ditulis dengan pendekatan Universal Design for Learning (UDL), model kurikulum yang dimodifikasi untuk mengakomodasi kebutuhan belajarnya sebagai difabel intelektual.
"Presentasi Rama sederhana, namun jelas dan jujur. Ia mampu menyampaikan data, hasil wawancara, dan refleksi secara utuh. Bahkan, ia menjawab pertanyaan penguji dengan lancar, termasuk saat diminta membaca ayat Al-Qur’an," ungkap Asep Jahidin, Ketua Pusat Layanan Difabel (PLD) UIN Sunan Kalijaga.
Rama tercatat sebagai mahasiswa Program Studi Manajemen Dakwah, Fakultas Dakwah dan Komunikasi. Di tengah segala keterbatasan yang kerap dijadikan alasan untuk mundur, Rama justru memilih jalan terjal yang tak biasa. Ia berhak menyelesaikan studinya dengan bentuk tugas akhir lain, yang lebih ramah bagi kondisinya. Namun, dengan keyakinan yang bulat dan jiwa yang teguh, ia memilih menulis skripsi, sebuah keputusan yang mencerminkan keberaniannya menantang batas, menolak dikerdilkan oleh anggapan yang selama ini mengurung mimpi mereka.
Dan ketika ia dinyatakan lulus, ruang ujian berubah menjadi ruang sakral, tempat sebuah bangsa seharusnya bercermin: bahwa pendidikan sejatinya adalah hak semua orang, bukan hanya yang dianggap “normal” oleh standar lama.
Rama tak sendiri dalam perjuangannya. Ia didampingi oleh 13 tim ahli disabilitas PLD UIN Sunan Kalijaga, serta keluarga yang teguh mendampingi dan mencurahkan cintanya. Di luar ruangan, sang Ibu menunggu dalam doa. Saat Rama mengundangnya masuk setelah ujian selesai, sang Ibu tak kuasa menahan air mata. Suaranya bergetar. “Pak… saya sampai merinding. Ini seperti mimpi,” ucapnya kepada tim PLD sambil menggenggam erat tangan-tangan yang ikut memperjuangkan anaknya.
Perjalanan Rama menembus dunia kampus tidaklah mudah. Kisah Rama dimulai dari bangku SMA, dari seorang remaja yang bercita-cita kuliah, tetapi berkali-kali menghadapi penolakan. Sampai akhirnya, semesta menuntunnya ke UIN Sunan Kalijaga, sebuah kampus yang membuka pintu, menyambut, dan percaya.
“Hari itu bukan hanya milik Rama. Tetapi juga keluarga, dosen, teman-teman, dan kampus ini. Semua belajar satu hal penting: Ketika kita memberi kesempatan, kita tak hanya membuka pintu untuk seseorang, kita sedang membuka jendela dunia yang lebih adil untuk semua orang,” kata Asep Jahidin.
Dengan 84 mahasiswa difabel aktif saat ini, UIN Sunan Kalijaga menunjukkan bahwa inklusi bukan slogan kosong. Ia adalah kerja nyata. Dan Rama adalah bukti paling indah bahwa ketika sistem membuka diri, maka potensi manusia sekecil dan sesenyap apa pun bisa bersinar, bahkan membelah langit batas yang selama ini dianggap tak tergapai.
Kisah Rama adalah bukti bahwa inklusi bukan sekadar wacana. Ia adalah kenyataan yang bisa diwujudkan, jika sistem pendidikan bersedia berubah dan membuka diri untuk semua. (humassk)