Ada yang berbeda di ruang sidang promosi doktor Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga, Jumat pagi itu. Bukan hanya karena ruangan penuh oleh akademisi dan mahasiswa, tapi karena atmosfer intelektual yang begitu hidup dan dinamis. Muhammad Mufti Al Achsan, 31 tahun, berdiri mantap di hadapan para penguji, mempertahankan disertasi yang kelak tidak hanya membawanya pada gelar doktor, tetapi juga menempatkannya dalam jajaran pemikir muda yang mulai diperhitungkan.
Disertasinya bertajuk “Pos-Salafisme
di Yogyakarta: Pribumisasi, Politisasi, dan Lokalisasi”. Sebuah judul yang
terdengar provokatif, sekaligus mengandung nuansa keberanian intelektual. Mufti
tak sekadar meneliti gerakan Salafi dari kejauhan; ia masuk ke dalamnya,
menyelami cara berpikir, berinteraksi, dan bertransformasi kelompok ini dalam
realitas sosial-keagamaan yang terus bergeser.
“Pos-Salafisme”.
Sebuah istilah yang menggambarkan transformasi signifikan dalam tubuh gerakan
Salafi, khususnya di Yogyakarta. Di tengah tekanan kebijakan negara, sorotan
media, dan dinamika sosial yang menuntut keterbukaan, Salafi—yang sebelumnya
dikenal eksklusif, skripturalis, dan apolitis—mulai menunjukkan fleksibilitas:
berdialog dengan budaya lokal, berpartisipasi dalam ruang publik, bahkan
menyesuaikan strategi dakwah dengan logika demokrasi dan pasar digital.
Konsep ini bukan sekadar istilah
kosong. Ia dibangun di atas fondasi metodologi yang kuat: observasi lapangan,
wawancara mendalam, pembacaan dokumen primer, dan analisis wacana. Mufti
memotret bagaimana Salafi At-Turots di Yogyakarta tidak lagi sekadar melawan
budaya lokal, tapi justru merancang narasi keagamaan baru yang kontekstual dan
strategis. Mereka tidak sekadar bertahan—mereka bertransformasi.
Tak heran, promotor utamanya, Prof.
Noorhaidi Hasan, Ph.D., memuji karya ini sebagai “karya ilmiah brilian” dan
“kontribusi penting dalam pengembangan kajian Islam kontemporer.” Menurutnya,
Mufti telah “membawa kita pada lapis realitas yang sering luput dari kajian
mainstream.” Ia tak hanya menjelaskan, tapi “memproduksi cara berpikir baru
dalam memahami Islam kontemporer”.
Pujian serupa datang dari tamu
istimewa yang menjadi penguji eksternal dalam sidang itu: Assoc. Prof.
Stéphane Lacroix, Ph.D., Hab., dari Sciences Po Paris—salah satu nama besar
dalam kajian gerakan Islam global. Lacroix dengan tegas menyatakan
kekagumannya:
“This is a dissertation that pushes
the boundary of how we understand Salafism… I am truly impressed by the
originality and theoretical sharpness of his work”.
Kehadiran Lacroix dalam ujian terbuka ini bukan hanya bentuk validasi ilmiah, tetapi juga simbol pengakuan bahwa disertasi tersebut layak diperhitungkan dalam diskursus global. Dan pengakuan itu ditegaskan secara resmi: seluruh penguji secara bulat memberikan predikat tertinggi—cumlaude—kepada Mufti. Tak ada dissenting opinion. Semuanya sepakat, karya ini memiliki bobot akademik luar biasa dan membawa sumbangan ilmiah yang nyata.
Yang membuat sidang ini istimewa
bukan hanya disertasinya, tapi juga makna yang lebih besar dari peristiwa itu
sendiri. Seorang doktor muda dari Yogyakarta menyodorkan teori baru, mengusik
kenyamanan cara baca lama tentang Islam, dan mendapat pengakuan dari komunitas
akademik internasional. Ini bukan capaian biasa. Ini benchmark baru,
bukan hanya bagi Muhammad Mufti, tetapi bagi UIN Sunan Kalijaga dan tradisi
akademik Islam di Indonesia.
Mufti adalah produk dari Program Mahasiswa Lanjut Doktor (PMLD), program beasiswa unggulan Kementerian Agama yang mempercepat pendidikan magister dan doktor dalam waktu 4,5 tahun. Tapi lebih dari sekadar penerima beasiswa, ia telah menjelma menjadi simbol keberhasilan program itu—seorang intelektual muda yang mampu menghasilkan contribution to knowledge yang bukan hanya akademis, tapi juga relevan dengan realitas sosial-politik umat Muslim hari ini.
Kisah Mufti adalah pengingat bahwa
disertasi bukan sekadar syarat formal akademik. Di tangan yang tepat, ia bisa
menjadi alat peradaban. Ia bisa menggugah, menantang, bahkan membentuk ulang
cara kita memahami dunia.(humassk)