WhatsApp Image 2025-07-18 at 16.53.43.jpeg

Senin, 21 Juli 2025 09:28:00 WIB

0

“Pos-Salafisme” dari Yogyakarta: Disertasi Seorang Doktor Muda yang Menembus Batas Akademik Global

Ada yang berbeda di ruang sidang promosi doktor Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga, Jumat pagi itu. Bukan hanya karena ruangan penuh oleh akademisi dan mahasiswa, tapi karena atmosfer intelektual yang begitu hidup dan dinamis. Muhammad Mufti Al Achsan, 31 tahun, berdiri mantap di hadapan para penguji, mempertahankan disertasi yang kelak tidak hanya membawanya pada gelar doktor, tetapi juga menempatkannya dalam jajaran pemikir muda yang mulai diperhitungkan.

Disertasinya bertajuk “Pos-Salafisme di Yogyakarta: Pribumisasi, Politisasi, dan Lokalisasi”. Sebuah judul yang terdengar provokatif, sekaligus mengandung nuansa keberanian intelektual. Mufti tak sekadar meneliti gerakan Salafi dari kejauhan; ia masuk ke dalamnya, menyelami cara berpikir, berinteraksi, dan bertransformasi kelompok ini dalam realitas sosial-keagamaan yang terus bergeser.

“Pos-Salafisme”. Sebuah istilah yang menggambarkan transformasi signifikan dalam tubuh gerakan Salafi, khususnya di Yogyakarta. Di tengah tekanan kebijakan negara, sorotan media, dan dinamika sosial yang menuntut keterbukaan, Salafi—yang sebelumnya dikenal eksklusif, skripturalis, dan apolitis—mulai menunjukkan fleksibilitas: berdialog dengan budaya lokal, berpartisipasi dalam ruang publik, bahkan menyesuaikan strategi dakwah dengan logika demokrasi dan pasar digital.

Konsep ini bukan sekadar istilah kosong. Ia dibangun di atas fondasi metodologi yang kuat: observasi lapangan, wawancara mendalam, pembacaan dokumen primer, dan analisis wacana. Mufti memotret bagaimana Salafi At-Turots di Yogyakarta tidak lagi sekadar melawan budaya lokal, tapi justru merancang narasi keagamaan baru yang kontekstual dan strategis. Mereka tidak sekadar bertahan—mereka bertransformasi.


Tak heran, promotor utamanya, Prof. Noorhaidi Hasan, Ph.D., memuji karya ini sebagai “karya ilmiah brilian” dan “kontribusi penting dalam pengembangan kajian Islam kontemporer.” Menurutnya, Mufti telah “membawa kita pada lapis realitas yang sering luput dari kajian mainstream.” Ia tak hanya menjelaskan, tapi “memproduksi cara berpikir baru dalam memahami Islam kontemporer”. 

Pujian serupa datang dari tamu istimewa yang menjadi penguji eksternal dalam sidang itu: Assoc. Prof. Stéphane Lacroix, Ph.D., Hab., dari Sciences Po Paris—salah satu nama besar dalam kajian gerakan Islam global. Lacroix dengan tegas menyatakan kekagumannya:

“This is a dissertation that pushes the boundary of how we understand Salafism… I am truly impressed by the originality and theoretical sharpness of his work”. 

Kehadiran Lacroix dalam ujian terbuka ini bukan hanya bentuk validasi ilmiah, tetapi juga simbol pengakuan bahwa disertasi tersebut layak diperhitungkan dalam diskursus global. Dan pengakuan itu ditegaskan secara resmi: seluruh penguji secara bulat memberikan predikat tertinggi—cumlaude—kepada Mufti. Tak ada dissenting opinion. Semuanya sepakat, karya ini memiliki bobot akademik luar biasa dan membawa sumbangan ilmiah yang nyata.

Yang membuat sidang ini istimewa bukan hanya disertasinya, tapi juga makna yang lebih besar dari peristiwa itu sendiri. Seorang doktor muda dari Yogyakarta menyodorkan teori baru, mengusik kenyamanan cara baca lama tentang Islam, dan mendapat pengakuan dari komunitas akademik internasional. Ini bukan capaian biasa. Ini benchmark baru, bukan hanya bagi Muhammad Mufti, tetapi bagi UIN Sunan Kalijaga dan tradisi akademik Islam di Indonesia.


Mufti adalah produk dari Program Mahasiswa Lanjut Doktor (PMLD), program beasiswa unggulan Kementerian Agama yang mempercepat pendidikan magister dan doktor dalam waktu 4,5 tahun. Tapi lebih dari sekadar penerima beasiswa, ia telah menjelma menjadi simbol keberhasilan program itu—seorang intelektual muda yang mampu menghasilkan contribution to knowledge yang bukan hanya akademis, tapi juga relevan dengan realitas sosial-politik umat Muslim hari ini.

Kisah Mufti adalah pengingat bahwa disertasi bukan sekadar syarat formal akademik. Di tangan yang tepat, ia bisa menjadi alat peradaban. Ia bisa menggugah, menantang, bahkan membentuk ulang cara kita memahami dunia.(humassk)