IMG-20250908-WA0157.jpg

Senin, 08 September 2025 17:10:00 WIB

0

Merajut Indonesia dari Bawah: FDK UIN Sunan Kalijaga Kolaborasi dengan BRIN Memperkuat Harmoni dan Identitas Keindonesiaan

Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan dan Kerja Sama UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Dr. Abdur Rozaki, menegaskan pentingnya riset yang berorientasi pada pengelolaan keragaman identitas dan harmoni sosial sebagai strategi membangun Indonesia di masa depan.

Hal tersebut ia sampaikan saat menjadi keynote speaker dalam kuliah umum bertajuk “Merajut Indonesia dari Bawah: Identitas, Harmoni, dan Peta Riset Masa Depan” yang digelar Program Studi Pengembangan Masyarakat Islam (PMI) S2 Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Sunan Kalijaga, bekerja sama dengan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Senin (8/9/2025) di Aula Convention Hall Lt 1.


“Berkolaborasi dengan BRIN adalah langkah penting. Ini menjadi kerangka legal yang memungkinkan dosen tidak hanya mengajar, tetapi juga meneliti,” katanya. Menurutnya, riset-riset mendatang tidak cukup berhenti pada pemetaan perbedaan, tetapi harus mampu menggali identitas agama dan budaya agar dapat berinteraksi secara harmonis, membentuk jalinan kebangsaan yang kokoh, sekaligus memperkaya keindonesiaan.

Hal ini, karena keragaman Indonesia bukan sekadar fakta sosiologis, melainkan potensi besar untuk membangun negara yang adil dan berkelanjutan. Ia mengingatkan, bahwasanya kegagalan memelihara keragaman dan praktik korupsi mendatangkan kehancuran bagi sebuah negara “Kalau dua hal ini bisa kita kelola dengan baik, Indonesia dapat menjadi bangsa yang besar,” ujarnya.

Dalam kesempatan tersebut, ia juga menekankan, bahwa peta riset masa depan harus memberi fokus pada kompleksitas relasi sosial di tengah masyarakat multikultural. Pendekatan inter, trans, dan multidisipliner, menurutnya, mutlak diperlukan antara bidang sosiologi, politik, pendidikan, hingga teknologi digital untuk menghasilkan model harmoni yang kontekstual.


“Membangun Indonesia dari bawah menjadi strategi krusial dalam membangun peta riset ke depan. Sentralisasi pembangunan selama ini banyak mengabaikan potensi lokal dan memperlebar kesenjangan antarwilayah,” papar Rozaki.

Dalam kesempatan yang sama, Peneliti BRIN Prof. Dr. Koeswinarno, selaku narasumber, menyampaikan bahwa tradisi saprahan memiliki makna strategis di tengah kerentanan konflik etnis yang kerap terjadi di Pontianak. Saprahan pada dasarnya adalah makan bersama di atas hamparan, sebuah praktik sederhana yang sarat dengan nilai kebersamaan, kesetaraan, dan penghargaan terhadap perbedaan.

“Pertemuan lintas budaya di Pontianak memperlihatkan dua etnis dominan, yakni Melayu dan Dayak, selain juga Jawa dan Tionghoa. Komposisi ini sangat memengaruhi realitas sosial di sana,” jelasnya. Ia mencatat, sejak 1933 hingga 1999, sedikitnya telah terjadi 11 konflik etnis besar di Kalimantan Barat. Dalam konteks itulah, saprahan hadir sebagai mekanisme sosial yang bukan hanya bernuansa religius, melainkan juga bernuansa kultural untuk merajut kebersamaan dan harmoni di tengah perbedaan.

“Selama ini budaya itu seolah hanya milik generasi kolonial. Padahal, kebudayaan harus diperkenalkan kembali kepada generasi Z untuk dikemas menjadi hal yang kekinian dan menarik,” tegasnya. Karena itu, ia mendorong agar tradisi lokal ini terus dirawat dan dimaknai ulang sebagai fondasi penting bagi kehidupan multikultural di Pontianak, sebuah kota yang kerap diuji oleh perbedaan etnis, tetapi juga menyimpan potensi besar untuk menjadi teladan harmoni.

Narasumber lainnya, Dosen Fakultas Syariah dan Hukum Dr. Hijrian Angga Prihantoro, mengangkat tema “Identitas Indonesia dan Harmoni”. Ia menekankan pentingnya pengembangan masyarakat Islam yang mampu melahirkan narasi inklusif, terutama di tengah polarisasi pemahaman terhadap Al-Qur’an dan Sunnah. Menurutnya, riset-riset serius yang berjejaring dengan lembaga seperti BRIN menjadi kunci dalam merawat keragaman sekaligus memperkuat identitas kebangsaan.

Sebagai contoh, Hijrian menyinggung risetnya mengenai tradisi Nyadranan, tradisi Islam di Getas, Temanggung, yang digelar oleh masyarakat lintas iman, dan telah berhasil dipublikasikan di jurnal bereputasi. Ia juga menyoroti praktik saprahan di Pontianak, yang dilakukan dengan menggunakan dua bahasa. Yakni Melayu dan Arab, sekaligus menampilkan perpaduan antara budaya lokal dan tradisi Islam Melayu.

“Implikasi sosial-budaya dari fenomena ini sangat luas. Karena itu, momentum seperti ini harus dimaksimalkan. Mari kita bersama-sama meneliti dan merajut Indonesia yang harmonis,” pungkasnya.

Sementara itu, Kepala Organisasi Riset Arkeologi, Bahasa, dan Sastra BRIN, Dr. Herry Yogaswara, menjelaskan tentang arah ekosistem riset Indonesia ke depan. Menurutnya, perubahan lanskap riset menuntut pertautan antara talenta periset, kolaborasi, dan kompetisi yang sehat. “Fungsi utama BRIN adalah mengoordinasikan seluruh kegiatan riset di Indonesia sekaligus membuka ruang lebih luas bagi mahasiswa dan dosen untuk terlibat,” ungkapnya.

Untuk mendukungnya, tersedia berbagai skema yang bisa diakses mahasiswa maupun dosen, mulai dari magang, research assistant, postdoctoral fellow, hingga degree by research (DBR) bagi mahasiswa S2 dan S3 di perguruan tinggi yang telah menjalin MoU dengan BRIN..

Hery menegaskan, BRIN tidak melakukan diskriminasi terhadap perguruan tinggi asal peneliti. Fokus utama terletak pada kualitas proposal riset dan kompetensi SDM. Skema pendanaan mencakup program Riset dan Inovasi untuk Indonesia Maju (RIIM) yang didanai LPDP, serta rumah program dari APBN. 

Selain itu, BRIN juga menginisiasi pusat kolaborasi riset. Hery menilai kolaborasi semacam itu sangat penting untuk menghasilkan temuan riset signifikan di tingkat global. “Riset adalah kegiatan ilmiah yang sangat menarik. Melalui kolaborasi jangka panjang dan berkesinambungan, kita bisa membangun budaya periset yang unggul. Dari penelitian budaya seperti saprahan, misalnya, kita bisa melihat bagaimana identitas dan harmoni muncul dalam masyarakat. Itulah yang ingin terus kami dorong,” pungkasnya.

Kuliah umum ini menegaskan bahwa riset, budaya, dan harmoni sosial tidak bisa dipisahkan dalam membangun peradaban bangsa. Tradisi lokal seperti saprahan, jika dikaji secara serius, dapat menghadirkan inspirasi bagi pembangunan Indonesia yang lebih inklusif.(humassk)