WhatsApp Image 2025-10-13 at 09.04.19.jpeg

Senin, 13 Oktober 2025 12:51:00 WIB

0

Sabtu Pagi Penuh Cahaya: Wawan, Presti, dan Aris Kembali ke Rumah Perjuangan di PLD UIN Sunan Kalijaga

Yogyakarta, 11 Oktober 2025 — Udara segar dan langit cerah mewarnai Sabtu pagi di Pusat Layanan Difabel (PLD) UIN Sunan Kalijaga. Namun, suasana terasa berbeda. Ada kehangatan yang melampaui sinar matahari pagi—cahaya yang datang dari pertemuan lintas generasi para pejuang pendidikan inklusif.

Mahasiswa difabel dari berbagai angkatan mulai berdatangan sejak pagi. Ada yang berjalan dengan tongkat putih, sebagian lainnya berkomunikasi dalam bahasa isyarat, tertawa, dan saling menyapa dengan gaya khas mereka. Seperti kata filsuf Hans-Georg Gadamer, “Ada yang bisa dipahami, adalah Bahasa.” Dan pagi itu, bahasa yang digunakan adalah bahasa cinta, semangat, dan persaudaraan.

Kembalinya Tiga Sosok Bersejarah: Wawan, Presti, dan Aris


PLD kedatangan tamu istimewa: Wawan Handoko, Presti Murni Setiati, dan Aris. Ketiganya adalah bagian penting dari sejarah perjalanan layanan difabel di kampus ini. Wawan dan Presti adalah alumni difabel generasi awal dari era Pusat Studi dan Layanan Difabel (PSLD)—cikal bakal PLD saat ini. Wawan, mahasiswa PAI angkatan 2004, dan Presti dari prodi Kependidikan Islam (kini MPI) angkatan 2006, kini telah menjadi guru PNS dan berkeluarga.


Setelah menamatkan studi, keduanya menikah dan kini menjalani kehidupan sebagai orang tua dari anak-anak yang sehat. Wawan saat ini bertugas di SLB Negeri Wonogiri, sementara Presti mengajar di MTsN 1 Kabupaten Magelang, sembari melanjutkan studi S2 di UIN Sunan Kalijaga.

Tak hanya mereka berdua, hadir pula Aris—rekan seperjuangan Wawan di Prodi PAI dan mantan sekretaris relawan PLD pada era 2006. Kini Aris menjabat sebagai kepala sekolah di SMK Ma'arif, Kecamatan Bawang, Kabupaten Batang.

Cerita, Tawa, dan Kenangan yang Menghangatkan

Kehadiran ketiganya langsung menghidupkan suasana. Mahasiswa difabel dari angkatan terbaru tampak antusias menyimak cerita masa lalu yang disampaikan Wawan dan Presti. Wawan, dengan suara berat dan penuh emosi, mengenang masa-masa awal berdirinya PLD:

“Dulu, ruangan PLD belum seperti sekarang. Tapi yang paling penting bukan akses fisiknya, melainkan keyakinan bahwa kita bisa belajar dan berjuang sejajar dengan siapa pun,” ujarnya penuh makna.

Presti kemudian memberikan wawasan dari sisi yang lebih progresif—tentang pentingnya pendidikan lanjut, kemandirian, dan membangun solidaritas. Para mahasiswa muda menyimak dengan mata berbinar, meresapi setiap kisah sebagai pelajaran sekaligus semangat baru.

Di sela perbincangan, Wawan bahkan diminta menyanyikan lagu ciptaannya yang pernah populer di kosan mereka dua dekade silam. Dengan gitar milik PLD, suara Wawan mengalun kembali—membawa hadirin pada momen nostalgik yang menyentuh hati.

Diskusi Inklusif: Suara Mahasiswa Difabel Hari Ini

Acara dilanjutkan dengan Focus Group Discussion (FGD) lintas angkatan. Para mahasiswa difabel duduk dalam lingkaran, berbagi pengalaman, tantangan, dan harapan. Usulan demi usulan mengalir, mulai dari pelatihan keterampilan, akses teknologi, hingga pentingnya penguatan solidaritas dan relasi antarmahasiswa difabel.

 Semua suara dihargai. Semua pendapat dicatat dan dianalisis oleh tim PLD sebagai masukan berharga untuk pengembangan ke depan.

Cahaya yang Menyatukan Masa Lalu dan Masa Depan

Menjelang siang, tawa dan keceriaan mengisi ruangan, foto bersama, obrolan ringan, dan pelukan hangat menutup hari yang penuh makna itu. Wawan, Presti, dan Aris pun berpamitan melanjutkan tugas masing-masing, meninggalkan jejak semangat yang menyala dalam hati para penerus.

Hari itu, PLD tidak hanya menjadi tempat berbagi cerita. Ia menjadi ruang pertemuan lintas waktu—tempat masa lalu, kini, dan masa depan menyatu dalam cahaya perjuangan, kemanusiaan, dan harapan.

PLD bukan hanya tempat layanan. Ia adalah rumah, tempat mahasiswa belajar menjadi manusia: saling melihat, memahami, dan menuntun dalam cahaya terang tutup Koordinator PLD Dr Asep Jahidim. (humassk)