WhatsApp Image 2025-12-11 at 10.54.23.jpeg

Kamis, 11 Desember 2025 10:59:00 WIB

0

Al Jami’ah UIN Sunan Kalijaga Gelar Konferensi, Dorong Refleksi Arah Pendidikan Tinggi Indonesia

Di tengah dinamika pendidikan tinggi yang kian terdorong oleh tuntutan administrasi dan metrik kinerja, Al Jami’ah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta menggelar Al Jami’ah Forum and Conference bertajuk “Beyond Bureaucracy: Autonomy and Integrity in Indonesian Higher Education”, pada 10–11 Desember 2025 di Grand Rohan Yogyakarta. Forum ini menghadirkan puluhan akademisi dari berbagai perguruan tinggi dan lembaga penelitian, termasuk BRIN, untuk meninjau kembali arah dasar ekosistem keilmuan di Indonesia

Editor-in-Chief Al Jami’ah Journal of Islamic Studies, Prof. Dr. Phil. Al Makin, membuka konferensi dengan refleksi kritis mengenai menurunnya ruang bagi kerja intelektual dalam diskursus publik.


Menurutnya, selama beberapa tahun terakhir antusiasme masyarakat terhadap kegiatan akademik serius cenderung menurun, berbeda dengan acara seremonial atau kegiatan yang melibatkan pejabat.

“Peneliti, akademisi, profesor, dan dosen kehilangan tempat dalam diskusi publik kita. Mereka tidak lagi memperoleh perhatian yang memadai hanya karena tidak memiliki kewenangan administratif,” ujar Al Makin.

Ia menilai kecenderungan ini berimplikasi pada kualitas pengambilan kebijakan. Sikap pragmatis, banjir informasi yang tidak tersaring, serta lemahnya tradisi membaca realitas secara mendalam membuat orientasi akademik sering kalah oleh pertimbangan jangka pendek.

Prof. Makin mengingatkan bahwa Indonesia dibangun oleh tradisi intelektual yang kuat, dari Tan Malaka hingga Hatta. “Namun kini, pengaruh intelektual di ruang publik seakan memudar. Forum seperti Al Jami’ah menjadi ruang untuk kembali memperkuat kepercayaan diri akademisi dalam menyampaikan gagasannya,” tuturnya.

Dalam kesempatan yang sama, Ketua Pelaksana, Dr. Phil. Mu’ammar Zayn Qadafy, M.Hum., menyampaikan bahwa konferensi ini dirancang sebagai ruang refleksi mendalam, sebuah jeda dari rutinitas akademik yang kian terdorong target kuantitatif.

“Kita seperti terus berlomba. Namun apakah arah yang kita tempuh benar-benar kita inginkan? Konferensi ini mengajak kita berhenti sejenak, mengambil jarak, dan meninjau kembali tujuan akademik kita,” kata Mu’ammar.


Mu’ammar juga menyoroti sejumlah indikator global yang menunjukkan tekanan struktural dalam dunia akademik. Research Integrity Index dari Universitas Beirut, misalnya, menggambarkan bagaimana kompetisi pendanaan, kewajiban publikasi, dan sistem pemeringkatan membentuk perilaku riset.

Tekanan tersebut, menurutnya, berdampak pada persoalan-persoalan yang kini banyak mencuat, mulai dari praktik ghostwriting, kepengarangan simbolik, hingga kecenderungan publikasi di jurnal predator.

“Ketika publikasi menjadi syarat bertahan hidup, bukan lagi buah keahlian intelektual, terjadi pergeseran nilai yang sangat fundamental,” ujarnya.

Figur yang merupakan Editor Pelaksana Jurnal Al Jamiah juga mengungkapkan Investigasi Tempo tahun 2024 mengenai kasus gelar profesorship ilegal menjadi salah satu contoh bagaimana jabatan akademik dapat beralih dari perjalanan keilmuan menjadi instrumen politik dan ekonomi. “Ini bukan sekadar isu personal,  persoalannya bersifat sistemik,” tambahnya.

Mu’ammar juga menyoroti fenomena semakin banyaknya jurnal baru yang muncul di Indonesia. Meski menunjukkan semangat akademik yang tinggi, jumlah jurnal yang sangat besar berpotensi menciptakan kebisingan dalam ekosistem ilmu pengetahuan.

Terlalu banyak kanal publikasi tanpa kesiapan infrastruktur mutu membuat editor kewalahan, reviewer kelelahan, dan penulis kesulitan menemukan rumah akademik yang kredibel.

“Pertanyaan penting bagi kita semua adalah bagaimana memastikan bahwa angka-angka capaian tersebut benar-benar mencerminkan kualitas dan kontribusi keilmuan, bukan sekadar memenuhi tuntutan administratif,” ujarnya.  Refleksi seperti ini diperlukan agar produktivitas akademik tetap berorientasi pada penguatan pengetahuan

Pada bagian akhir, Mu’ammar mengajak para peserta konferensi untuk melihat kembali esensi dasar akademik, kejujuran intelektual, kebebasan berpikir, dan keberanian mempertanyakan hal-hal yang dianggap mapan.

Forum dua hari ini diharapkan menjadi ruang yang aman bagi para akademisi untuk mendiskusikan integritas, otonomi, dan masa depan pendidikan tinggi Indonesia secara jernih, melampaui rutinitas administratif dan tekanan metrik yang kian dominan.(humassk)