Tadarus Difabel Minggu 52
Suatu hari, seseorang bertanya kepada saya, “... apakah kondisi ini termasuk difabel?” Pertanyaan itu muncul setelah ia menceritakan situasi yang dialami oleh salah satu mahasiswanya... Untuk bisa menjawab pertanyaan seperti ini dengan memadai, penting bagi kita untuk memahami terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan disabilitas dan ragamnya.
Kalau kita merujuk pada Undang-Undang Republik Indonesia No. 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas, para ahli dan negara mendefinisikan difabel atau penyandang disabilitas adalah individu yang memiliki keterbatasan fisik, intelektual, mental, dan/atau sensorik. Keterbatasan tersebut dapat menimbulkan hambatan ketika mereka berinteraksi dengan lingkungan, sehingga menyulitkan mereka untuk berpartisipasi secara penuh dan setara di masyarakat. Undang-Undang tersebut membagi difabel ke dalam empat kategori:
Difabel Fisik : Berkaitan dengan keragaman atau keterbatasan pada tubuh, otot, sendi, atau sistem saraf yang memengaruhi kemampuan bergerak.
Difabel Intelektual : Keterbatasan dalam fungsi intelektual yang mengganggu kemampuan berpikir, belajar, atau berkomunikasi secara adaptif.
Difabel Mental : Mengacu pada gangguan pola pikir, emosi, dan perilaku seperti depresi, gangguan kecemasan, atau gangguan psikologis lainnya.
Difabel karena hambatan Sensorik : Melibatkan gangguan pada indra, misalnya pada penglihatan (Difabel netra) atau pendengaran (Difabel tuli)
UU No. 8 Tahun 2016 menekankan bahwa yang harus disesuaikan bukanlah individu difabelnya, melainkan lingkungannya. Tujuan utamanya adalah mengurangi hambatan serta menciptakan ruang yang inklusif bagi semua. Maka dari itu, selain mengembangkan lingkungan fisik yang aksesibel, penting juga untuk menciptakan lingkungan sosial yang mendukung.
Salah satu bentuk dari layanan inklusif non-fisik adalah membangun sikap dan perilaku yang setara dalam berinteraksi. Misalnya: Memperlakukan penyandang disabilitas sebagaimana kita memperlakukan individu lainnya. Membangun lingkungan sosial. Berbicara langsung kepada mereka, bukan kepada pendampingnya. Tidak langsung berasumsi bahwa mereka membutuhkan bantuan, tawarkan bantuan dengan bertanya lebih dulu. Menghormati martabat dan privasi mereka, seperti tidak menyentuh alat bantu atau mengambil foto tanpa izin.
Bentuk layanan sosial bisa menjadi solusi sementara ketika aksesibilitas fisik masih belum tersedia. Contohnya, jika ada pengguna kursi roda di gedung yang belum memiliki akses menuju lantai atas di institusi anda, maka setiap layanan yang melibatkannya dapat dipindahkan ke lantai satu. Pendekatan ini tidak hanya lebih manusiawi, tapi juga menunjukkan kualitas pengelolaan manajemen inklusi yang baik di suatu institusi tersebut. Jangan sampai membuat penyandang disabilitas harus “diangkat ramai-ramai” oleh orang lain ke lantai atas hanya untuk bisa menjalan aktifitasnya.
Inklusi tidak berbicara soal belas kasihan, tapi soal keadilan dan kesetaraan... dan semua itu dimulai dari pemahaman yang utuh tentang ragam disabilitas dan tanggung jawab kita bersama dalam menciptakan lingkungan yang ramah untuk semua ... Jika anda terpanggil, bergabunglah dalam perjalanan kami di UIN Sunan Kalijaga: “Empowering Knowledge Shaping The Future.”