Sore itu, ruang diskusi terasa seperti sedang menarik napas pelan… sebuah jeda antara yang telah dibahas minggu lalu dan tadarus yang sedang ingin terlahir pelan-pelan...
Di pojok ruangan ada kardus-kardus ornamen aktivitas yang belum sempat dibereskan, banner yang masih terlipat, dan di dinding ruangan tertempel papan kecil berisi tulisan tangan:
“Cahaya itu tidak hanya menyinari, tapi juga melangkah di ruang sosial.”
Seorang relawan menatap saya sambil tersenyum setengah ragu.
“Kayaknya tadarus hari ini bukan tadarus biasa ya, Kang?”
Saya menatapnya, lalu mengangguk.
“Benar. Kita mulai Tahap Cahaya Aksi… Ini saatnya cahaya di hati kita turun ke kaki, ke tangan, dan ke langkah-langkah kecil yang dapat mengubah dunia.”
Teman dalam berfikir mengangkat ide, lalu mengetik kalimat: “Aksi tidak cukup dengan cuma bergerak, tapi juga berjalan menghadirkan makna.”
Kami semua terdiam sejenak… Kalimat itu sederhana tapi dalam.
Benar, karena di dunia pelayanan difabel, banyak gerak yang sibuk tapi tak selalu bermakna.
Dalam dunia pelayanan difabel, kita sering sibuk bergerak tapi tak selalu menyalakan cahaya makna.
Kadang cahaya kita terang, tapi tidak juga menemukan bentuknya. Jadi… "Kadang kita tahu apa yang benar, tapi belum tahu bagaimana mewujudkannya."
Saya lalu bercerita, “Dalam Metode Intrvesi Cahaya Nabi, setiap cahaya pribadi yang tumbuh akan mencari bentuknya di dunia nyata.
Bentuk itu bisa berupa aksi sosial, Gerakan advokasi, pelayanan, bahkan dalam bentuk hal kecil seperti menemani teman difabel makan siang tanpa tergesa-gesa .… cahaya tidak pilih-pilih ruang
Teman diskusi menimpali, “Berarti aksi bukan soal besar atau kecil, ya?”
“Betul,” jawab saya, “Aksi itu soal niat menyambungkan cahaya Tuhan lewat perbuatan.”
Kami lalu mulai latihan:
Setiap orang harus menulis satu niat aksi kecil yang ingin dilakukan hari ini hingga minggu depan… bukan rencana besar, tapi tindakan nyata yang bisa dijalankan dari hati.
...Ada yang menulis:
• “Aku mau belajar menyapa teman tuli dengan satu kalimat bahasa isyarat. ”
• “Aku mau memastikan satu ruang kuliah dapat diakses kursi roda. ”
• “Aku mau menulis satu cerita kebaikan difabel di media sosial.”
• “Aku mau menemani teman netra ke perpustakaan tanpa terburu-buru.”
Semua simpel, sederhana. Tapi terasa seperti membangun jembatan kecil menuju dunia yang lebih ramah.
Setelah itu, semua berdiri membentuk lingkaran, lalu bergantian menyampaikan niatnya dengan suara atau dengan tulisan yang dibacakan teman lain…
Setiap niat yang dikatakan itu dikatakan, kemudian diterima dengan ucapan bersama:
“Semoga cahayamu menjadi bagian dari cahaya kita.”
Saat kalimat itu diucapkan, kita bisa merasakan getaran lembut, mungkin seperti udara di ruangan berubah kepadatannya. Tidak terlihat, tapi terasa. atau seperti ada semesta kecil yang ikut menunduk menyimak.
Di luar sana, matahari pelan-pelan mundur. Namun wajah-wajah di ruangan ini justru semakin terang... ada cinta yang menyala…
Catatan Konseptual. Cahaya Nabi Tahap Lima:
Cahaya Aksi. Gerak Kolektif Sebagai Ibadah Sosial
1. Prinsip Utama:
Aksi sosial bukan bentuk pertolongan satu arah, tapi pertukaran cahaya spiritual.
Setiap tindakan kecil yang dilandasi niat baik menjadi ibadah sosial.
2. Tujuan:
Menumbuhkan gerakan sosial difabel–non-difabel berbasis kesadaran spiritual.
Mengubah empati menjadi aksi yang memampukan, bukan mengasihani.
Mengintegrasikan nilai inklusi dengan spiritualitas.
3. Metode Praktis (Latihan Cahaya Aksi):
Langkah 1: Refleksi niat pribadi (apa bentuk cahaya saya di dunia?).
Langkah 2: Ucapkan niat itu di ruang komunitas (agar mendapat pantulan energi sosial).
Langkah 3: Jalankan aksi kecil selama seminggu
Langkah 4: Kembali ke ruang tadarus untuk berbagi cerita, hasil, tanpa penilaian, hanya pantulan.
Langkah 5: Catat perubahan perasaan dan makna yang muncul dari aksi itu
4. Dampak Awal:
* Muncul jejaring solidaritas spiritual.
* Terjadi transformasi dari “pelayanan” berubah menjadi “persaudaraan”.
* Pusat Layanan Difabel berfungsi bukan hanya sebagai pusat layanan, tapi pusat cahaya sosial.
Sebelum bubar, seorang mahasiswa memegang tasnya sambil lirih berkata:
“… baru menyadari. Jadi relawan itu bukan soal menolong, ini semua adalah soal menyambung cahaya.”
Saya tersenyum.
“Itulah Cahaya Nabi di tahap ini. CAHAYA yang menyembah TUHAN melalui GERAK MANUSIA.”
Di luar, langit Yogyakarta kembali jernih setelah hujan. Lampu jalan memantul di bola mata kami, seperti menegaskan pesan sore itu:
“Tak ada langkah yang sia-sia kalau dijalani dalam cahaya.”