Perkembangan Penerjemahan Alquran di Indonesia

Indonesia sebagai negara berpenduduk mayoritas Muslim terbesar di dunia telah melahirkan sejumlah terjemah Alquran yang terus bertambah selama masa kolonial dan setelah kemerdekaan pada tahun 1945. Perlu diingat bahwa Indonesia adalah rumah bagi sejumlah besar bahasa daerah dan beragam adat daerah. Fakta ini juga tercermin dalam sejumlah besar terjemah Alquran yang diproduksi dalam bahasa-bahasa daerah.

Dari keistimewaan ini menjadi diskusi para ahli tafsir di Indonesia tak luput juga ahli tafsir dari luar negeri Johanna Pink sebagai Profesor bidang Studi Islam Alberd-Ludwig--Universität Freiburg, Jerman. Dirinya merasa senang bisa bekerjasama dengan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta untuk menyelenggarakan International Conference and Workshop “The Translation of the Qur’an in Indonesia”, Senin-Selasa(30-31/7).

Bagi Johanna Pink, isu terjemahan Alquran di Indonesia unik. Penerjemahan Alquran di Indonesia itu tidak mono-languange (satu bahasa), namun ada bahasa-bahasa lokal di Indonesia. Belum lagi produk terjemahan Alquran yang dipengaruhi oleh modernism, penafsiran tertentu, kepentingan politik dan ideolog tertentu,” ungkap Johanna Pink saat menjadi pembicara.

Selain itu, Johanna juga melihat masih jarang kajian-kajian tentang terjemah Alquran di Indonesia. Sehingga workshop dan konferensi ini diharapkan bisa memantik kajian-kajian terjemah Alquran di Indonesia secara massif dan luas.

Rektor UIN Sunan Kalijaga Prof. Drs. KH. Yudian Wahyudi, MA.Ph.D menuturkan bahwa Workshop dan Seminar Internasional ini merupakan langkah awal menuju World Class University (WCU) bidang Studi Islam. Program lain pendukung WCU adalah penerbitan jurnal studi Islam yang terakreditasi internasional atau nasional. Hal ini disampaikannya saat membuka acara Konferensi Internasional dan Workshop di Gedung Prof. Sunarjo UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Lebih lanjut Direktur Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Prof. Noorhaidi, S.Ag., M.A., M.Phil., Ph.D mengatakan bahwa panitia telah menerima 80-an karya ilmiah yang dikirim oleh peserta. Dari jumlah itu, akan dipilih 28 yang terbaik dan dipresentasikan di konferensi ini.

“Dari 28 paper akan dipilih dan disaring lagi untuk kemudian diterbitkan menjadi buku oleh penerbit di luar negeri. Sebagiannya lagi akan diterbitkan di jurnal-jurnal Internasional terakreditasi dan jurnal di kampus-kampus Indonesia yang terakreditasi nasional,” kata Noorhaidi saat memberi sambutan.

Sementara itu Dosen Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Dr. Moch Nur Ichwan, MA menjelaskan bahwa bahwa pelarangan terjemahan (literal) Al-Qur'an pertama muncul di era modern, dalam bentuk fatwa. Fatwa yang muncul lebih awal adalah yang dikeluarkan Muhammad Rasyid Ridha (1908), dan kedua, yang dikeluarkan oleh Sayyid Utsman dari Batavia (sekarang Jakarta) pada tahun 1909.

Lanjut Nur Ichwan fatwa Sayyid Utsman mengenai terjemahan Al-Qur'an dilarang, karena terjemah dianggapnya sebagai pengubahan teks (tahrif) yang dapat menyebabkan penerjamahnya menjadi heretik dan kafir, sementara interpretasi atau terjemahan penafsiran Al-Qur'an diperbolehkan. Pendapat seperti itu kemudian diadopsi oleh sebagian besar orang yang menentang terjemahan Al-Qur'an dan kebanyakan tanpa mengetahui fatwanya. Termasuk Muhammad Thalib dalam bukunya yang mengkritik terjemahan Al-Qur'an dari Departemen Agama dan dalam Tarjamah Tafsiriyyah-nya, yang tidak mengacu pada Sayyid Utsman dan fatwa-nya.

“Fatwa Utsman tidak banyak diketahui oleh umat Islam Indonesia sendiri. Oleh karena itu, hampir tidak berdampak pada perkembangan penerjemahan Alqur'an di Indonesia dan muslim Indonesia pada umumnya. Terjemahan Al-Qur'an, bahkan dalam arti terjemahan harfiah, telah diproduksi di Indonesia bahkan sampai hari ini,” kata Nur Ichwan.

Wardatun Nadhiroh dosen UIN Antasari menjelaskan bahwa Kajian Alquran di Tanah Banjar sebelumnya dalam bentuk kutipan ayat-ayat Alquran disertai terjemahannya. Karya tersebut dapat dilacak dalam karya-karya para sarjana awal lokal seperti dalam Sabil al-Muhtadin oleh Sheikh Arsyad al-Banjari (M.A. al-Banjari n.d) dan al-Durr al-Nafis oleh Sheikh Muhammad Nafis (M. N. al-Banjari n.d).

“Dalam karya-karya awal, terjemahan ayat-ayat Al-Qur'an menggunakan bahasa Melayu dan aksara Jawi (huruf Melayu-Arab), kemudian dalam karya-karya Banjar berikutnya, ada sedikit pergeseran dalam penggunaan bahasa dan skrip karena kebutuhan pembaca. Ayat-ayat Alqur'an dan terjemahannya sering dikutip dalam teks-teks religius untuk dijadikan sebagai pembenaran, referensi, dan penjelasan tekstual dalam diskusi,” Kata Wardatun.

Jajang A. Rohmana dosen UIN Sunan Gunung Djati mengatakan bahwa klaim superioritas bahasa Sunda dalam terjemahan bahasa Indonesia Al-Qur'an tidak benar. Menurut Jajang bahasa Sunda juga bahasa yang ada batasan dan hambatan dalam mengakomodasi bahasa arab dalam Alqur'an. Hal ini bisa dilihat dari empat aspek penting, seperti perubahan leksikal, perubahan kata dan semantik, struktur kalimat dan perubahan morfologis.

Lebih lanjut Jajang memaparkan salah satu hambatan terbesar di Indonesia bagaimana mengakomodasikan bahasa Arab Al-Qur'an dalam aturan puitis Sunda dengan terjemahan Al-Qur'an (dangding dan pupujian) yang disusun sebagai berikut aturan pupuh, seperti jumlah cantos (larik), guru lagu (skema ending vokal di setiap bait), dan guru wilangan (jumlah suku kata).

“Karena itu, meskipun bahasa Sunda menunjukkan efektivitasnya jauh lebih kaya kosakata dari bahasa, tetapi juga tidak dapat sepenuhnya mengakomodasi sumber bahasa dan bahkan beberapa penerjemah qur’an memberikan kata-kata Sunda yang salah mendistorsi arti yang diinginkan dari struktur qur’an yang diberikan. Ini berbeda dari terjemahan Alkitab yang umumnya cenderung lebih bebas dan karena itu berorientasi pada audiensi, tidak peduli apa bahasa itu dapat ditulis,” ucap Jajang.

[hamam faizin-Khabib/humas]