P2GHA UIN Suka Selenggarakan Gender Training Islam Dan Keadilan Hakiki Bagi Perempuan
Yogyakarta- (27/11), Pusat Pengarusutamaan Gender dan Hak Anak bekerjasama dengan Kalijaga Institute for Justice UIN Sunan Kalijaga menyelenggarakan Training of Gender dengan tema Islam dan Keadilan Bagi Perempuan bersama Narasumber Dr. Nur Rofiah, Bil. Uzm di Gedung LP2M, UIN Sunan Kalijaga. Dalam sambutannya, ketua P2GHA UIN Sunan Kalijaga, Dr. Witriani, M.Hum menyampaikan bahwa training ini merupakan rangkaian dari Sekolah Gender yang sudah diselenggarakan P2GHA/PSW beberapa waktu lalu. Sekolah Gender masih bersifat umum, tentang pengenalan konsep-konsep dasar Gender dan Islam, dan training kali ini, lebih fokus pada kajian Islam, bagaimana Islam melihat perempuan ataupun merespon persoalan yang terkait dengan perempuan.
Kegiatan ini diikuti oleh sekitar 40 peserta dari berbagai latar belakang studi, training ini menarik perhatian peserta karena mengupas hak dasar perempuan, baik sebagai manusia maupun umat Islam. Dalam mengawali diskusinya, dosen Pascasarjana Perguruan Tinggi Ilmu Al Quran ini membagi kesadaran kemanusiaan perempuan bisa dipetakan menjadi tiga.Pertama, kesadaran terendah di mana yang disebut manusia hanyalah laki-laki. Berabad-abad lamanya perempuan tidak dinilai sebagai manusia sehingga diperlakukan secara tidak manusiawi.Kedua, kesadaran menengah di mana perempuan mulai diakui sebagai manusia, namun standar kemanusiaan mereka adalah laki-laki. Kemanusiaan perempuan hanya diakui sebatas kondisi mereka yang sama dengan laki-laki.Ketiga,kesadaran tertinggi di mana perempuan dan laki-laki sama-sama menjadi standar kemanusiaan. Standar kemanusiaan keduanya sama dengan memperhatikan kondisi biologis dan sosial perempuan yang berbeda dengan laki-laki.
Dalam sesi diskusi, Doktor lulusan Universitas Angkara Turki ini memaparkan bagaimana saat Islam hadir, kesadaran kemanusiaan perempuan berada dititik terendah. Mereka masih diragukan kemanusiaannya sehingga kerap diperlakukan tidak manusiawi. Para tokoh agama pun masih meragukan apakah mereka punya ruh yang kekal sehingga bisa dimintai pertanggungjawaban, bisa beribadah, memperoleh pahala, dan masuk surga atau tidak. Islam kemudian menegaskan bahwa perempuan adalah manusia dan bahwa bukan jenis kelamin, melainkan ketaqwaan, yang menentukan kualitas manusia dihadapan Allah. Sebagaimana laki-laki, perempuan mempunyai status melekat “hanya menjadi hamba Allah” sehingga tidak boleh diperhamba manusia, dan amanah melekat sebagai Khalifah sehingga laki-laki mesti bekerjasama dengan perempuan dalam mewujudkan kemaslahatan dimuka bumi.
Deklarasi ini diikuti dengan perubahan besar-besaran di ruang publik dan domestik seperti larangan keras mengubur bayi perempuan hidup-hidup, memperdagangkan perempuan, menjadikan perempuan sebagai warisan, hadiah, jaminan hutang, mengawinkan mereka secara paksa, ketika masih kanak-kanan, pembatasan poligami hingga monogami, pembatasan hak thalak yang bisa kembali hanya sampai dua, pemberian hak ibadah pada perempuan, menjadi saksi dalam sebuah perkara, mendapatkan dan memberikan waris, memiliki mahar, melakukan khulu’ dan masih banyak lainnya.
Memperlakukan perempuan secara bermartabat sebagai manusia menjadi bagian tak terpisahkan dari ajaran Tauhid Rasul Muhammad Saw. Keesaan Allah sebagai Tuhan bermakna perlawanan atas penistaan perempuan oleh sistem patriarki yang menuntut ketaatan mutlak perempuan pada laki-laki kala itu. Kondisi perempuan secara bilogis dan sosial yang berbeda dari laki-laki pun tak luput dari perhatian Islam. Laki-laki dan perempuan sama-sama diwajibkan shalat, puasa, dan haji sambil memberikan aturan khusus bagi perempuan saat menstruasi, hamil, melahirkan, nifas, dan memberikan ASI. Islam juga melarang laki-laki dan perempuan berzina, sambil mengampuni mereka yang ingin menjaga kesuciannya namun tak berdaya saat dipaksa melacurkan diri oleh sindikat perdagangan manusia.
Lebih lanjut, lulusan Tafsir Hadis UIN (IAIN) Sunan Kalijaga ini memaparkan bahwa lebih dari 1400 tahun lalu, Islam sudah mengajarkan kesadaran kemanusiaan perempuan tertinggi dengan menetapkan standar yang sama bagi kemanusiaan perempuan dan laki-laki tanpa mengabaikan kondisi perempuan yang berbeda secara bilogis dan dibedakan secara sosial dengan tidak adil karena ketimpangan relasi gender. Spirit keadilan hakiki bagi perempuan dalam Islam penting untuk terus dihidupkan sebab manusia modern sendiri masih berada pada tingkat kesadaran kemanusiaan tingkat menengah. Itulah sebabnya mengapa kita masih perlu konsep Hak Asasi Perempuan (HAP) atau Hak Asasi Manusia Perempuan (HAMP) untuk melengkapi konsep HAM. Sebab laki-laki masih menjadi standar HAM perempuan.
Perspektif keadilan hakiki bagi perempuan adalah upaya membangun kesadaran untuk selalu mempertimbangkan kondisi khas perempuan secara biologis karena organ, fungsi, masa, dan dampak reproduksi perempuan yang berbeda dari laki-laki, dan kondisi khas mereka secara sosial yang rentan terhadap ketidakadilan akibat ketimpangan relasi gender yang menyejarah. Dalam pemahaman Islam, kedua kondisi khas ini selalu dipertimbangkan dalam memahami realitas kehidupan perempuan sekaligus teks-teks keagamaan terkait.
Selain konsep dasar dan keadilan hakiki bagi perempuan di atas, training setengah hari ini juga mengupas persoalan perempuan kekinian, khususnya bagaimana Islam meresponnya.(Doni TW-humas/ PSW).