UIN Sunan Kalijaga Kukuhkan 2 Guru Besar
UIN Sunan Kalijaga mengukuhkan 2 Guru Besar Lagi. Prof. Yulia Nasrul Latifi, S.Ag., M.Hum. dikukuhkan sebagai Guru Besar bidang Ilmu Sastra Arab berdasarkan S.K. Menteri Agama Nomor 013743/B.II/3/2023, tanggal 15 Juni 2023. Prof. Saifuddin Zuhri S.Th.I., M.A., dikukuhkan sebagai Guru Besar bidang Ilmu Agama dan Lintas Budaya berdasarkan S.K. Menteri Agama Nomor 013746/B.II/3/2023, tanggal 15 Juni 2023. Keduanya dikukuhkan oleh Ketua Senat, Prof. Kamsi, bertempat di gedung Prof. H.M. Amin Abdullah (Multipurpose), kampus UIN Sunan Kalijaga, 23/11/2023. Hadir pada agenda pengembangan akademik kali ini antara lain; Rektor UIN Sunan kalijaga, Prof. H. Al Makin, beserta jajaran pimpinan Rektorat, pimpinan Dekanat, unit dan lembaga, civitas akademika, serta para kolega kedua Guru Besar yang dikukuhkan.
Selain sebagai Dosen Prodi Sastra Arab, Prof. Yulia juga aktif melakukan kajian keagamaan dan gender dalam dalam karya sastra Islam. Dalam orasi Guru Besarnya, Prof Yulia menyampaikan karya akademiknya berjudul Penegakan Otonomi Perempuan dalam Agama: Pembacaan Žižekian Atas Karya karya Sastra Arab Kontemporer. Sementara itu, Prof. Saifuddin Zuhri dalam orasi Guru Besarnya menyampaikan karya akademiknya berjudul Konfigurasi Sosial Budaya pada Hadis di Era New Media.
Di hadapan Senat Universitas, Prof. Yulia menyampaikan, karya sastra Arab kontemporer memperkaya dan menjadi bahan refleksi ulang atas problem gender agama selama ini. Dengan menggunakan Teori Subjektivitas Žižek, corak dekonstruksi dan rekonstruksi kritik Sastra Arab, Prof. Yulia berharap pidato Guru Besarnya ini dapat menegakkan otonomi perempuan dalam agama. Otonomi adalah pengakuan harkat dan martabat kemanusiaan. Utamanya adalah perempuan untuk mencapai keadilan dan kesetaraan hakiki dalam agama. Hal ini penting untuk penguatan humanitas dan progresivitas umat dan peradaban sesuai cita dan misi al-Qur’an dan di bawah sinar terang al-Qur’an.
sastra sebagai media kritik progresif bagi sastrawan atas berbagai tatanan budaya yang
dinilai opresif-ahumanis, tidak seimbang, dan hilangnya nilai transendental. Bagi sastrawan, sastra merupakan media untuk menyodorkan perenungan filosofis, kritik sosial, dan pemikiran rekonstruktif untuk terbentuknya sebuah bingkai peradaban yang lebih seimbang, humanis, dan bermartabat. Diyakini karya sastra Arab memiliki nilai ketajaman filosofi. Sehingga al Qur’anpun diturunkan dengan kualitas sajak dan nilai sastrawi yang tinggi.
Sebutan modern atau kontemporer dalam Sastra Arab adalah sebutan yang mengacu pada fase terakhir dari periodisasi Sastra Arab, yaitu yang disebut sebagai zaman kebangkitan, pembaruan, atau modern. Sastra Arab modern atau kontemporer bercirikan bentuk prosa atau puisi bebas dengan tema-tema yang lebih variatif dan mengglobal sebagai media penyampaian kritik sosial dan pemikiran progresif. Pemikiran tersebut meliputi: pembaruan pemikiran agama, demokrasi, ide-ide pembebasan, penguatan hak-hak asasi manusia, dan pemberian solusi alternatif atas problem politik, ekonomi, sosial, dan budaya Islam. Oleh sebab itulah, Sastra Arab menjadi salah satu warga sastra dunia yang telah memiliki pengaruh luas di Eropa dengan karya-karya masterpiece-nya
Di sisi lain, di dunia Arab, salah satu problem dehumanisasi yang hingga sekarang ini masih terus terjadi adalah problem tentang dehumanisasi perempuan. Meskipun upaya pembebasan perempuan Arab terus dilakukan, namun berbagai problem yang dialami perempuan Arab masih perlu diperjuangkan secara terus-menerus. Realitas ini terbukti dengan munculnya berbagai hasil penelitian dan kajian tentang perempuan Arab yang memberikan gambaran inferior, marginal, subordinat, dan opresif (tertindas). salah satu faktor penting penyebab opresi perempan Arab (dan umumnya negara-negara muslim atau rumpun agama semit) adalah tafsir atas teks agama yang dikonstruksi secara patriarkis untuk menegakkan dominasi laki-laki atas perempuan.
Sebab itulah, diperlukan kajian gender Islam atau gender al-Qur’an untuk menafsirkan kembali ayat-ayat yang bias gender tersebut (historis-kontekstual-parsial). Misalnya, menelaah keseluruhan bunyi ayat, menghubungkan ayat satu dengan yang lainnya dalam al-Qur’an, melihat asbab nuzul, memahami maqasid al-syar’i, mencermati konteks mikro dan makro ayat, dan lain-lain. Reinterpretasi tersebut dilakukan agar didapatkan penafsiran yang lebih humanis dan adil gender dalam Islam atau dalam perspektif al-Qur’an.
Karya-karya Sastra Arab kontemporer banyak menyuarakan kritik dan gugatan atas ketimpangan pola relasi gender dan subordinasi perempuan yang dilanggengkan dengan dalih agama. Kritik yang dimunculkan berasal dari sastrawan Arab laki-laki dan perempuan yang disuarakan melalui berbagai media genre sastra, baik puisi, cerpen, prosa, maupun drama. Salah satu analisis atas karya-karya sastra kontemporer Arab adalah Žižek. Dia adalah filsuf kontemporer yang dilahirkan di Ljubljana, Slovenia.
Pemikirannya Žižek bercorak pembebasan yang lebih humanis. Contoh karya sastra Arab kontemporer yang bercorak pembebasan: Perempuan tidak pernah terlahir dari tulang rusuk laki laki. Laki lakilah yang terlahir dari rahim perempuan. Dari analisis pembacaan Žižek terhadap karya-karya sastra Arab Kontemporer, Prof. Yulia dapat mengungkap bahawa, Pembacaan Žižekian terhadap Karya-karya Sastra Arab Kontemporer menjadi upaya penegakan otonomi perempuan dalam agama, demikian papar Prof. Yulia.
Sementara itu dalam pidato Guru Besarnya, Prof. Saifuddin Zuhri menyampaikan analisanya terhadap konten-konten hadis di media sosial. Disampaikan, di era digital, media sosial dengan beragam bentuknya mengambil peran sebagai “aktor” yang mampu memenuhi kebutuhan masyarakat virtual terhadap pemaknaan agama. Dengan ragam versi yang tergantung pada kualitas dan kuantitas penguasaan agama masing-masing pengelola akun. Keterlibatan aktor virtual menjadikan kajian hadis yang selama ini dikaji dalam ruang spesifik telah bergeser ke ruang publik. Ada bentuk pemaknaan dalam media sosial yang menggeser bentuk interpretasi hadis yang dikenal dengan sebutan syarh.
Prof. Saifuddin Zuhri melakukan pelacakan akum yang menyebarluaskan pemaknaan hadis dengan menggunakan nelusuran tagar hadis (#hadis dan #hadits), hingga ditemukan beberapa akun. Seperti; akun yang berafiliasi dengan lembaga akademik, baik perguruan tinggi atau laboratorium studi hadis, seperti @pusatkajianhadis (PKH Bogor, 7451 pengikut), @hadispedia (El-Bukhori Institute, 13 ribu pengikut). akun umum seperti @ quotes_quran_hadits (106 ribu pengikut), @hadistrasul (110 ribu pengikut). Dari akun-akun tersebut, Prof. Saifuddin menganalisis dalam 4 hal. Metode syarah yang dipakai; sifat konten hadis; variasi meme yang dibuat; serta akun Instagram yang mengunggahnya.
Dijelaskan Prof. Saifuddin Zuhri, munculnya kajian serius dengan gaya milenial seperti
yang dihadirkan oleh @hadispedia merupakan satu hal yang diharapkan, yang menjadi bagian penting dari perkembangan living hadis di era new media. Sebagai akun yang digagas oleh El-Bukhori Institute, menurut Prof. Saifuddin Zuhri, akun @hadispedia sangat otoritatif dalam melahirkan pemahaman-pemahaman yang lebih kontekstual dan progresif yang berkiblat pada masa depan, bukan masa lalu. Dengan fokus pada kajian hadis, para pewaris langsung legasi KH. Ali Musthofa Ya’qub, yang terkumpul di ElBukhori Institute, diharapkan mampu merekontekstualisasikan hadis-hadis dalam ruang-ruang sosial kemasyarakatan pada masa kini.
Dengan munculnya banyak konten berkisar pada living hadis, Prof. Saifuddin Zuhri menyampaikan beberapa arahannya kepada para penggiat konten living hadis. Yang pertama, agar membuat meme yang berisikan gambar yang menarik dan relate dengan isi hadis yang mau disampaikan, judul yang menarik, serta memasukkan terjemah hadis. Kedua, agar mengisi caption dengan narasi teks Arab hadis, terjemah, status sanad, asbabul wurud, dan pandangan ulama. Ketiga, agar memberikan kontekstualisasi hadis; bagaimana memaknai hadis ini dengan masa sekarang. Kontekstualisasi penting dilakukan oleh penggiat living hadis, untuk memperlihatkan adanya ruang baru, audiens baru, dan masa yang baru yang sangat mungkin memiliki pergeseran pandangan dengan masa munculnya hadis tersebut. Dalam hal ini, kontekstualisasi tidak keluar dari nilai-nilai yang dimunculkan oleh teks. Keempat, membuat microblog. Yang berfungsi sebagai satu ikhtisar dari caption; disampaikan dengan kalimat kalimat yang pendek, bisa dimulai dari teks dan terjemah hadisnya lalu ikhtisar konten hadis yang telah ditunjukkan dalam caption. Microblog bisa ditutup dengan pesan utama dari hadis yang dikaji.
Dari kajian yang dilakukan, Prof. Saifuddin Zuhri juga mengungkap bahwa beragam bentuk living hadis di new media menunjukkan dampak dan implikasi. Di antaranya adalah, rational choice dan algoritma preferensi; hilangnya center dan periphery; serta perlunya reotorisasi ulama.
Namun ada hal positif yang perlu dilakukan dari kajian living hadis di new media. Era new media telah memungkinkan kajian hadis dan sosial budaya melangkah lebih jauh yang semakin memudahkan proses penyebaran, klarifikasi, bahkan menghasilkan pengetahuan-pengetahuan baru dari konten hadis. Bagi para pendakwah, media online menjadi media efektif penyampaian konten hadis dalam bentuk-bentuknya yang baru dan lebih variatif. New media telah mampu menghidupkan hadis dalam beragam ekspresi, dari meme, syarah, video dan lain sebagainya, yang hal ini memberikan ruang baru bagi kajian hadis untuk berkembang lebih jauh. Ruang baru ini patut kita syukuri dengan cara mengisi konten konten hadis yang tidak sekadar memindah pesan pemahaman semata, tetapi juga memberikan sentuhan-sentuhan konteks serta me-relate-kannya dengan apa yang terjadi masa kini. Sehingga kajian-kajian hadis lebih membumi, bervisi ke depan, demi kemajuan kemanusiaan dan pesan-pesan nilai universal agama Islam. Kehadiran hadis di new media menjadi jendela baru kajian hadis yang massif yang perlu diisi dengan konten-konten kreatif yang mendekatkan hadis dengan generasi Z yang kehidupan sehari-harinya tidak lepas dari teknologi. Konten ini harus mengusung pentingnya visi tawassuṭ, tawāzun dan tasāmuh di new media demi menghindarkan potensi pemahaman ekstrim dan radikal. Di samping itu, silent majority perlu juga berperan aktif dalam mengisi konten-konten hadis yang positif demi mengimbangi konten-konten yang radikal, kaku, yang ingin mengembalikan masyarakat muslim ke masa lalu, yang mengabaikan nilai-nilai agama yang berpihak kepada tujuan tujuan kemanusiaan, demikian tegas Prof. Saifuddin Zauhri. (Weni, Alfan)