Merawat Keragaman Didiskusikan di Forum Warek Tiga PTKIN

UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dimotori oleh Wakil Rektor 3, bidang Kemahasiswaan dan Kerjasama menggelar Seminar Kebangsaan bertajuk “Merawat Keragaman Ke-Indonesiaan Kita” dan Koordinasi Forum Bidang Kemahasiswaan PTKIN pada Selasa, (16/06/2024), bertempat di Gedung Pusat Administrasi Umum Lantai 2 UIN Sunan Kalijaga. Seminar Kebangsaan kali ini menghadirkan Narasumber Dosen Pascasarjana UNUSIA Jakarta, Kepala Makara Art Center UI, Dr. Ngatawi AL-Zastrouw, S.Ag. M.Si, dan Dekan Fakultas Islam Nusantara, Unusia dan Ketua PBNU, Dr. Ahmad Suaedy, M. Hum.

Wakiol Rektor 3 UIN Sunan Kalijaga, Dr. Abdur Rozaki, S.Ag., M.Si., dalam sambutannya menyampaikan bahwa Wakil Rektor 3, bidang Kemahasiswaan dan Kerjasama se-PTKIN hadir bukan hanya untuk berdiskusi tentang keberagaman dan rapat forum, tetapi 2 hari ke depan ada workshop tentang Tracer Study yang merupakan hal yang sangat penting sehingga perlu saling memperkuat dan belajar bersama.

Sementara Rektor UIN Sunan Kalijaga Prof. Dr. Phil. H. Al Makin mengapresiasi kehadiran Narasumber Dr. Ahmad Suaedy yang telah memberikan inspirasi generasi muda untuk terus berkarya yang dibuktikan dengan riset secara konsisten yang terus dilakukan sampai hari ini. Riset terakhir adalah tentang Network Nusantara dari Timur; Ternate, Tidore, dan Papua.

Prof. Al Makin menekankan pentingnya kegiatan ini bagi UIN Sunan Kalijaga untuk merapikan semua network yang ada. Prof. Al Makin juga menjelaskan terkait konsep “Moksa” yang dalam pewayangan jawa diartikan sebagai meninggal, seperti Brawijaya moksa di Gunung Lawu. Moksa juga dapat diterjemahkan sebagai pembebasan, pencerahan. Menurut para sufi, moksa adalah terbebasnya dari berbagai halangan dalam diri. Dalam hal ini ada beberapa hal yang menjadi tujuan Bersama di forum ini yaitu: swaloka, nibbana (terbebas dari nafsu, keserakahan, kebencian, dan kebodohan), atau dalam wilayah sufi disebut dengan ma’rifat. Semua pimpinan linghkup PTKIN diharapkan dapat melakukannyua.

Prof. Al Makin menambahkan bahwa untuk mencapai level moksa terdapat banyak syarat, salah satunya anglaras atau harmoni dengan cara mengharmoniskan diri dengan alam sekitar, dengan manusia lainnya. Jiwa kita harus menjelma seperti air yang tenang, jernih, dan dalam sehingga bisa digunakan untuk bercermin diri, Salah satu untuk menciptakan jiwa tersebut adalah dengan berdiam diri melalui meditasi atau berzikir. Tentu saja ada jalan yang lain, tetapi bukankah gunung itu luas sehingga banyak jalan untuk mencapai puncaknya, ungkapnya puitis.

“Mari kita berdiskusi jalan mana yang dipilih untuk mencapai moksa?, bagaimana cara menyelaraskan? dan bagaimana kita mendiamkan air dalam hidup kita supaya kita tenang, jernih, dan dalam?. Jika kita diam dan tenang, maka akan dapat mendengar suara apapun. Selamat melakukan seminar, semoga kita sekalian dianugerahi ma’rifat” Tutup Al Makin sekaligus membuka kegiatan secara resmi.

Ngatawi dalam paparannya bertajuk Strategi Budaya Merawat Keberagaman Bangsa antara lain menyampaikan, Keberagaman adalah sunnatullah dan menjadi khittah dari bangsa Indonesia. Kenyataan inilah yang diyakini oleh para pendiri bangsa sehingga menerima keberagaman sebagai kenyataan dan menjaganya dalam satu spirit kebangsaan yang tercermin dalam bentuk negara NKRI yang berdasar Pancasila. Menjaga keberagaman yang ada di NKRI berarti menjaga ciptaan Allah. Dengan demikian menjaga NKRI yang beragam sebagai cerminan dari spirit nasionalisme merupakan wujud pengamalan ajaran Agama. Keberagaman Indonesia itu sendiri dipengaruhi oleh faktor genetik yang beragam, terjadinya hubungan dengan penduduk lain di kawasan Asia dan afrika sejak zaman pra sejarah melalui jalur perdagangan dan faktor geografis (letak geografis yang menjadi jembatan persimpangan dunia) dan faktor iklim yang membentuk perbedaan cara hidup yang menghasilkan suatu konstruksi budaya. Keberagaman melahirkan spirit integrasi sebagai strategi mempertahankan kehidupan.

Di sisi lain, sebagai negara yang derajat keberagamaan tinggi, memiliki potensi konflik yang sangat tinggi. Potensi ini muncul dalam sepanjang sejarah kehidupan masyarakat nusantara yang akhirnya menjadi bangsa Indonesia; mulai konflik antar suku, antar kerajaan, sampai konflik antar agama. Potensi ini tetap ada sampai sekarang.

Namun potensi konflik yang ada, justru menimbulkan kekuatan integrasi tercermin dalam lintasan sejarah nusantara. Berbagai konflik yang ada selalu berujung pada terjadinya integrasi, dan hal itu dibuktikan dengan keberadaan NKRI yang masih eksis hingga saat ini. Kekuatan integrasi ini terlihat dalam berbagai nilai dan konstruksi budaya masyarakat Indonesia seperti tercermin dalam budaya toleransi, Kesetaraan, tradisi Pela Gandong, Gotong Royong. Tercermin dalam prasasti Talang Tuo 684 dan Sri Karuhun 824), Sintuwu Maroso (Poso), Izakod Bekay Izakod Key (Merauke), Pameleon Bolon Sipaha Lima (Batak Parmalim), Alek Tau (Batak)Ngacau Gellamai (Bengkulu) dan sebagainya.

Sementara itu menurut Ngatawi, strategi integrasi untuk merawat keberagaman dapat dilakukan melalui eksplorasi dan aktualisasi tradisi dan nilai-nilai kearifan yang sesuai dengan realitas kekinian, menggali sejarah Nusantara dan menjadikannya sebagai referensi alternatif dalam menghadapi kenyataan dengan melakukan pembacaan ulang untuk mencari spirit dan makna dari sejarah tersebut, serta menumbuhkan perasaan damai dan bahagia bagi seluruh warga bangsa sehingga mereka merasa nyaman berada dalam keberagaman dalam bingkai NKRI yang berdasarkan Pancasila.

Sementara itu Ahmad Suaedy dalam presentasinya bertajuk Merawat Keragaman Indonesia: Tantangan dan Prospek antara lain menyampaikan, Indonesia ada karena keragaman. Namun keragaman itu bukan given melainkan suatu proses menjadi. Ada dua arus besar penyeragaman yang menjadi tantangan keberagaman di Indonesia, yakni: ideologi identitas agama & universalisasi liberalisme. Indonesia harusnya berada di tengah-tengahnya agar keberagaman tetap terawat. Tantangan keragaman juga bukan hanya menghadap ke dalam melainkan keluar (dunia global).

Maka tantangan Bangsa Indonesia yang paling krusial adalah bagaimana keragaman nusantara ini menjadi sistem pengetahuan dan bukan sekadar fakta. Sistem pengetahuan yang melingkupi fakta yang ada, bahwa keberagaman nusantara terbentuk dari 1.340 Suku bangsa; 715 bahasa daerah; 17.-000 pulau lebih dan apa yang menjadi landasan kehidupan bersama dalam sejarah bangsa nusantara, yang kemudian dikembangkan menjadi sistem pengetahuan yang terbentuk dari tinjauan agama, kebudayaan, dan Filosofi/rasionalitas secara seimbang. Sehingga keragaman Indonesia dapat dipelajari secara komprehensif dalam dunia akademik dan dapat berimbas pada pembangunan dan pemberdayaan masyarakat, yang membawa keberkahan dan kebahagiaan seluruh masyarakat Indonesia. (tim humas)