Rektor UIN Sunan Kalijaga Teken MoU dengan Yayasan Bani KH. Abdurrahman Wahid dalam Simposium BestFest Beda Setara
Rektor UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Prof. Noorhaidi Hasan, menandatangani nota kesepahaman (MoU) Tridharma bersama Yayasan Bani KH. Abdurrahman Wahid, yang diwakili oleh Alissa Wahid selaku Direktur Jaringan Gusdurian. Penandatanganan MoU ini merupakan bagian dari rangkaian kegiatan Simposium BestFest Beda Setara dengan tema “Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan,” yang dilaksanakan pada Kamis (14/11/2024) di Convention Hall UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Turut hadir dalam kegiatan tersebut sejumlah tokoh penting, antara lain: Direktur Pendidikan Tinggi Islam Kementerian Agama Ahmad Zainul Hamdi; Koordinator Seknas Jaringan GUSDURian Jay Akhmad; Kepala Bidang dan Ketua Tim HDI KUB Kanwil Kemenag DIY Nur Ahmad Ghozali, Ketua PWNU DIY KH Ahmad Zuhdi Muhdlor, serta sejumlah tokoh agama dan kepercayaan.
Acara dibuka dengan Tari Tepuk Riang Gembira dari Grup Tari Tiara Karang Jati, kumpulan ibu-ibu lintas agama yang memiliki ketertarikan terhadap tari. Kegiatan ini dilanjutkan dengan doa lintas iman yang dipimpin oleh berbagai tokoh agama, termasuk Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, Konghucu, dan Kepercayaan Penghayat, menggambarkan semangat dan misi dari gerakan yang diinisiasi oleh Jaringan Gusdurian ini.
Sementara itu, Rektor UIN Sunan Kalijaga Prof Noorhaidi Hasan dalam sambutannya menyampaikan bahwa ia menyambut baik kerja sama yang ditawarkan oleh Jaringan Gusdurian. Karena menurutnya,”Beda Setara” merupakan DNA UIN Sunan Kalijaga, Kampus PTKIN tertua yang lahir dari rahim Kementerian Agama dengan tugas utama mengawal kerukunan Indonesia sebagai prasyarat persatuan dan kesatuan. Sejak awal, para tokoh UIN Sunan Kalijaga telah berperan aktif dalam memperjuangkan kerukunan antar umat beragama dan mengedepankan prinsip “beda setara.” Salah satu tokoh penting, Prof. Mukti Ali, yang diangkat sebagai Menteri Agama pada era Soeharto, memperkenalkan konsep “Trilogi Kerukunan Beragama,” sebuah gagasan yang tetap relevan hingga kini. UIN Sunan Kalijaga juga telah lama berperan aktif dalam dialog lintas agama, melahirkan berbagai gagasan, pemikiran, dan tokoh yang berpengaruh. Keberadaan Program Studi Perbandingan Agama di Fakultas Ushuluddin, yang merupakan program studi pertama di Indonesia di bidang ini, menjadi bukti nyata komitmen UIN Sunan Kalijaga terhadap kebebasan beragama dan berkeyakinan.
Lebih lanjut Figur yang juga pernah menjabat sebagai Dekan Pascasarjana UIII ini juga menuturkan bahwa Mahasiswa UIN Sunan Kalijaga saat ini berasal dari berbagai latar belakang agama, termasuk romo dan pendeta yang menempuh studi di kampus ini. Program Kajian Lintas Iman, yang berkembang sejak ia menjabat sebagai Direktur Pascasarjana, menggambarkan sikap terbuka universitas terhadap keberagaman. Selain itu, sejumlah dosen di kampus ini juga berasal dari latar belakang agama yang berbeda.
Guru Besar dalam bidang Politik Islam Kontemporer ini juga menegaskan bahwa tema simposium ini sangat penting, mengingat UUD NKRI 1945 dengan tegas menjamin kebebasan dalam bernegara tanpa memandang latar belakang apapun. Selain itu, Indonesia juga telah mengadopsi undang-undang Hak Asasi Manusia dalam kerangka hukum nasional. Namun, mengingat keragaman agama, suku, bahasa, dan budaya yang ada di Indonesia, tantangan dalam mempertahankan kebebasan beragama dan berkeyakinan selalu muncul dalam bentuk konflik. Oleh karena itu, simposium ini sangat relevan untuk mengingatkan semua elemen tentang makna kebebasan beragama serta pentingnya menjaga warisan dan pemikiran Gus Dur, tokoh bangsa yang dikenal sebagai bapak pluralisme yang berdiri di depan mengawal kebebasan beragama dan berkeyakinan.
“Kami berharap kerja sama ini dapat terus berlanjut sebagai komitmen UIN Sunan Kalijaga dalam mengawal kerukunan umat beragama dan menegaskan posisi perguruan tinggi untuk berdiri di garda terdepan dalam menjalankan tugas kemanusiaan seperti ini,” pungkasnya.
Sementara itu, Direktur Jaringan Gusdurian Indonesia. Alissa Wahid menyampaikan orasi ilmiah dengan tema “Kebebasan Beragama, Berkeyakinan dan Imajinasi Indonesia”. Ia menegaskan kedekatan UIN Sunan Kalijaga dengan Jaringan Gusdurian. Banyak pendiri Gusdurian, termasuk Sinta Wahid, adalah alumni kampus ini. Alissa juga mengucapkan terima kasih kepada pimpinan UIN Sunan Kalijaga atas kerjasama yang terus terjalin dengan baik.
Mengawali paparannya, Anak sulung Presiden ke-4 itu mengungkapkan bahwa Indonesia sering dipandang sebagai negara yang harmonis dengan keberagaman yang terjaga, sebagai model keharmonisan sosial. Namun, realitasnya, prinsip Bhinneka Tunggal Ika belum sepenuhnya tercermin dalam kesetaraan bagi seluruh warga negara. Meskipun hak beragama dijamin oleh konstitusi, laporan dari Setara Institute menunjukkan adanya peningkatan pelanggaran terhadap kebebasan beragama dan berkeyakinan sejak tahun 2015. Peningkatan tersebut seringkali bertepatan dengan periode pemilu dan pilkada, di mana sentimen agama cenderung dimanipulasi untuk kepentingan politik.
Lebih lanjut, ia mengutip ungkapan Gusdur, bahwa perdamaian tanpa keadilan adalah ilusi. Menurutnya, damai dan harmoni hanya dapat tercapai melalui prinsip keadilan; jika tidak, kedamaian tersebut akan bersifat semu. Beberapa faktor yang mendasari pernyataan tersebut antara lain perkembangan paham keagamaan, desentralisasi pemerintahan, demokrasi dan mayoritarianisme, dan penegakan hukum. Agama sering digunakan untuk kepentingan kekuasaan, sementara eksklusivisme dianggap tidak terlalu bermasalah karena gerakannya yang halus, sehingga kita belum mampu menanggulanginya. Hal ini menyebabkan tingginya tingkat intoleran antar umat beragama.“Setiap warga negera punya hak konstitusi, tidak penting dari kota kecil, orang kecil, anak kecil, dipastikan pemenuhan hak warga negara bisa didapatkan secara utuh, siapapun kita, beda setara, Gusdur telah meneladankan, saatnya kita yang melanjutkan” pungkasnya.
Sementara itu, Koordinator Sekretariat Nasional Jaringan Gusdurian, Zay Akhmad, dalam sambutannya menekankan pentingnya kampanye kebebasan beragama dan berkeyakinan, yang tidak hanya terbatas pada toleransi, tetapi juga pada penegakan hak konstitusi. Ia berharap simposium ini menghasilkan strategi dan rekomendasi untuk memperkuat kebebasan beragama.
Menurutnya, penyelenggaraan kegiatan simposiun di UIN Sunan Kalijaga sudah sangat tepat. "Kami ingin terus melibatkan sivitas akademika kampus, tidak hanya sibuk dengan kuliah dan penelitian, tetapi juga aktif dalam pengabdian kepada masyarakat sebagai bagian dari Tridharma Perguruan Tinggi, sekaligus sebagai bentuk kepedulian dan partisipasi dalam menyuarakan kebebasan beragama dan berkeyakinan," pungkasnya.
Peluncuran Simposium BestFest Beda Setara dengan tema Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan dibuka secara resmi ditandai dengan alunan angklung yang dimainkan bersama-sama oleh Rektor UIN Sunan Kalijaga, Direktur Jaringan Gusdurian, Koordinator Sekretariat Nasional Jaringan Gusdurian, serta para Tokoh Agama. Angklung, alat musik tradisional asli Indonesia, menjadi simbol pentingnya menghargai perbedaan dan bekerja sama di tengah keragaman.
.