Dengan Santri NKRI, Tidak Ada Lagi Penggolongan Santri, Priyayi dan Abangan
Rektor UIN Sunan Kalijaga menyampaikan pidato pada upacara Hari Santri Nasional
Rektor UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Prof. Drs. K.H. Yudian Wahyudi, M.A., Ph.D., mengatakan, sejarah mencatat bahwa para satri telah mewakafkan hidupnya untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia dan mewujudkan cita-cita kemerdekaan. Para santri kala itu, dengan caranya masing-masing bergabung dengan seluruh elemen bangsa menyusun kekuatan sampai ke daerah-daerah terpencil, mengatur strategi, mengajarkan arti kemerdekaan, kebinekaan dan kedaulatan bangsa Indonesia. Dicetuskannya Resolusi Jihad 22 Oktober pada masa perjuangan merebut kemerdekaan, oleh pendiri NU, K.H. Hasyim Asy’ari telah membakar semangat patriotisme dan nasionalisme, menggerakkan santri, pemuda dan masyarakat Indonesia, bahu-membahu melawan pasukan kolonial. Sebuah perjuangan panjang nan heroik hingga puncaknya 10 November 1945 yang dikenal dengan Hari Pahlawan. Para tokoh Santri seperti K.H. Hasyim Asy’ari, K.H. Ahmad Dahlan, K.H. Ahmad Hasan, Syech Ahmad Suropati, Bung Tomo dan banyak pejuang-pejuang Santri tak terhitung jumlahnya telah berkontribusi yang besar dalam menjaga keutuhan NKRI. Sehingga ditetapkannya Hari santri Nasional Tanggal 22 Oktober 2015 adalah untuk selalu mengingat dan menauladani semangat jihad Keindonesiaan para Santri.
Hal tersebut disampaikan Prof. Yudian Wahyudi dalam sambutannya selaku Inspektur pada upacara memperingati Hari santri Nasional UIN Sunan Kalijaga, bertempat di halaman Gedung Prof. K.H. Saifuddin Zuhri, kampus setempat, Senin, 23/10/17. Lebih lanjut Prof. Yudian menyampaikan, dengan lahirnya Hari Santri Nasional melalui terbitnya Keppres Nomor 22 tahun 2015, semangat jihad para santri hendaknya terus digelorakan sampai sekarang, dalam rangka memperjuangkan kesejahteraan, keadilan, semangat menyatukan Indonesia dalam keragaman suku, agama, budaya, melekat nilai-nilai untuk saling menghargai, menjaga toleransi, dan saling menguatkan tali persaudaraan sebagai satu bangsa Indonesia.
Dengan lahirnya Hari Santri pula, kata Prof. Yudian, maka tidak ada lagi kelompok yang terpisah pisah antara santri, abangan dan priyayi, seperti yang di istilahkan dalam teori santri hasil risetnya Prof. Clifford Geertz yang dilakukan pada masa perjuangan kemerdekaan Indonesia. Sekarang ini yang dinamakan santri adalah menyatu menjadi santri NKRI dengan ciri-cirinya yang bisa dibaca sebagai berikut; Santri abangan, Abangan Santri, Santri Priyayi, Priyayi Santri.
Santi Abangan adalah; santri yang ikut berjuang untuk menyantrikan nusantara dengan cara menggunakan pola pikir atau standar abangan, dengan tokoh utamanya adalah Sunan Kalijaga. Abangan Satri adalah; orang-orang Islam abangan yang dihasilkan oleh upaya-upaya santrinisasi yang dilakukan Sunan Kalijaga. Mereka adalah yang dulu dikenal dengan Islam KTP. Santri Priyayi adalah; santri yang dulu pernah mondok di pesantren sekarang mendapat kekancingan SK. dari Pemerintah sebagai PNS. Jadi sebutan priyayi saat ini bukan didapat dari anugerah kraton tetapi dari SK. Pemarintah. Dosen, pegawai birokrasi, tenaga kependidikan dan lain-lain yang dulu pernah mondok di pesantren adalah satri priyayi. Priyayi Santi adalah; PNS yang bekerja di institusi Islam, yang karena lingkungannya, ia menjadi taat menjalankan Islam (Islamnya menjadi baik), seperti tegak shalatnya, tertib bersedekah, menjunjung tinggi kejujuran dan lain-lain.
Keempatnya ini menjadi satu kesatuan sebagai Santri NKRI, dengan garis tegas tidak anti Pancasila. Demikian tegas Prof. Yudian Wahyudi, dan mengajak seluruh masyarakat Indonesia untuk tidak memakai lagi teori santri dari Prof. Clifford Geertz. Dengan lahirnya Hari Santri, teori santri Clifford Geertz, otomatis gugur. Melalui momentum Hari Santri pula Rektor mengajak untuk ikut serta menggelorakan Program “Ayo Mondok” yang dicanangkan Pemerintah untuk memperkuat eksistensi Pesantren sebagai kawah candradimuka untuk melahirkan ulama masa depan (Weni Hidayati- Foto: Doni TW-Humas).