Dr. Shofiyullah: Salut sama Mas Menteri
Dr. Shofiyullah menjadi Narasumber dalam Webinar IHM (13/3)
Isu kreatif yang kemudian berkembang secara tidak benar bahwa Kemendikbud, Nadien Makarim akan menghilangkan frasa agama dalam penyusunan peta pendidikan nasional, menggerakkan Mas Menteri (panggilan akrab Kemendikbud) untuk segera mengklarifikasinya. Dalam siaran persnya belum lama ini Nadien Makarim menjelaskan, sebelumnya pihaknya menyampaikan, berencana untuk mempertimbangkan masuknya frasa agama dalam penyusunan Peta Jalan Pendidikan Nasional 2020-2035. Namun kemudian isu yang berkembang menyebutkan bahwa Menteri Nadien Makarim akan menghilangkan frasa Agama tersebut.
Nadien Makarim menjelaskan, tidak benar yang beredar di media sosial, tentang penghilangan kata agama dari Peta Jalan Pendidikan. Terutama mengenai kabar yang menyatakan bahwa Kemendikbud akan menghapus mata pelajaran agama. Jelas isu ini tidak benar dan tidak akan pernah Kemendikbud menghapus mata pelajaran agama, tulis dia. Kendati begitu, pihaknya menyampaikan apresiasi atas sejumlah masukan dari berbagai pihak mengenai isi dari peta jalan pendidikan nasional tersebut. Kemendikbud menyampaikan apresiasi setinggi-tingginya atas masukan dan atensi berbagai kalangan bahwa kata “agama” perlu ditulis secara eksplisit untuk memperkuat tujuan Peta Jalan Pendidikan tersebut. “Jadi, kami akan pastikan bahwa kata ini akan termuat pada revisi Peta Jalan Pendidikan selanjutnya," kata Mas Menteri.
Kendati Kemendikbud sudah melakukan klarifikasi, namun isu pendidikan akhlak dengan melepaskan payung agama memantik diskusi para ulama NU. Baru baru ini, Institut Hasyim Muzadi (IHM) menyelenggarakan Webinar Nasional bertajuk Revitalisasi NU Menuju Pengabdian Abad Dua Seri Ke 15-Akhlak Mulia Tanpa Agama? Wakil Dekan Bidang Kemahasiswaan dan Kerja-sama, Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam, Dr. KH. Shofiyullah Muzammil, yang juga aktif sebagai Koordinator Bidang Litbank IHM dan Pengasuh Pesatren Mahasiswa Al-Ashfa Yogyakarta turut menjadi narasumber dalam Webinar ini bersama dua narasumber lain, yakni; KH. Muhammad Nafi’ (Pengasuh Pesatren Mahasiswa Al-Hikam Malang), dan Prof. Dr. Rochmat Wahab (Ketua Dewan Pakar IHM).
Menurut Dr. Shofiyullah, diskusi dengan tema ini dirasa penting untuk memberi pemahaman kepada seluruh elemen bangsa Indonesia bahwa betapa pentingnya pemahaman keagamaan dalam membentuk akhlak mulia/ akhlak kharimah. Dapat diibaratkan bahwa akhlak Kharimah merupakan buah dari pohon agama. Sehingga selain disebutkan secara eksplisit dalam peta pendidikan di Indonesia, juga dalam pelaksanaannya nilai-nilai agama harus hadir disetiap proses pembelajaran. Jangan sampai mengesampingkan nilai-nilai agama yang akan berdampak meskipun bangsa ini menjadi negara maju tetapi akan timbul banyak kekacauan (Chaos), kata Dr. Syofiyullah.
Dalam presentasinya di hadapan para pemerhati pendidikan seluruh Indonesia dalam Webinar kali ini Dr. Shofiyullah menyampaikan apresiasinya atas kepekannya para ulama menanggapi draft visi pendidikan 2020 – 2035 yang seolah mengesampingkan pentingnya agama, dan lebih terbawa arus hedonism-materialism-aportunism. Sehingga dari kepekaan tersebut lahirlah revisi draft Visi Pendidikan 2020 – 2035 menjadi “ Membangun Rakyat Indonesia untuk menjadi pembelajar seumur hidup yang unggul, terus berkembang, sejahtera, dan berakhlaq mulia dengan menunguhkan nilai-nilai agama, budaya Indonesia, dan Pancasila.”
Lebih jauh Dr. Shofiyullah memberikan masukannya dalam upaya mengembangan dunia pendidikan di negeri ini. Menurutnya, Indonesia harus bisa melepaskan diri dari problem laten dan dualisme sistem pendidikan nasional. Problem laten itu adalah: ukuran pintar anak bangsa yang condong ke bidang eksakta saja. Bidang sosial/PMP, akhlak/perilaku dikesampingkan. Kecerdasan diukur dari kecepatan berpikir linier, meskipun sudah ada empat kategori kecerdasan (kecerdasan jamak/multiple quotient). Kecerdasan intelektual, kecerdasan emosional, kecerdasan spiritual, kecerdasan transendetal. Sementara dualisme sistem pendidikan itu adalah: Pendidikan yang dikelola Kemedikbud (PAUD, SD, SLTP, SLTA, PT umum) dan pendidikan yang dikelola Kementerian Agama (RA,MI, MTs, MA, MA’Had Aly- PTKIN) dengan merk yang berbeda. Kemendikbud merk Sekolah, Kemenag merk Madrasah. Kedua merk itu telah berimplikasi luas pada kehidupan sosial kemasyarakatan, bahkan lulusan institusi pendidikan di bawah Kemendikbud seolah memiliki kasta lebih tinggi di banding lulusan pendidikan yang dikelola Kemenag. Stikma sosial itu berlangsung sejak jaman kolonial. Sehingga tidak dapat disalahkan jika Kemendikbut yang bertanggungjawab melahirkan para ahli yang cerdas, kritis, logis, dan empiris alpa dalam mendudukkan frasa agama sebagai hal yang sangat penting bagi masa depan bangsa dan negara yang lebih baik, karena menterinya dipegang oleh seorang Mas Menteri, bukan Gus Menteri, demikian Dr. shofiyullah berkelakar.
Oleh karenanya, pihaknya berharap para pemangku kebijakan bidang pendidikan lebih arif lagi dalam mengembangkan kecerdasan semua anak bangsa. Artinya; empat kecerdasan harus bisa dikembangkan secara seimbang, bukan hanya condong dalam hal mengembangkan kecerdasan linier saja. Sementara kedua merk dagang pendidikan (yang dikelola Kemendikbud dan kemenag) harusnya bisa saling bekerja-sama, saling memberi dan melengkapi kekurangan dalam rangka menyeimbangkan pola pendidikan yang melahirkan generasi masa depan yang cerdas, kritis, logis, empiris sekaligus memiliki akhlak mulia yang berladaskan nilai-nilai agama yang kuat, untuk mencapai Indonesia yang Maju, Baldatun, thayyibatun, Wa Robbun Ghafur. (Weni)