Keluarga Besar UIN Suka, Kolega, Sahabat Karib, Berdoa Virtual untuk Prof. Minhaji
Keluarga besar UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Kolega, Sahabat Karib, dan keluarga AlmarhumProf. Drs. H. Akh. Minhaji, MA., Ph.D., bertemu secara virtual untuk mendoakan Almarhum, Selasa malam, 17/8/2021. Hadir juga pada doa bersama malam tersebut, Rektor UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta,Prof. Phil Al Makin, Ketua Senat UIN Suka,Prof. Dr. H. Siswanto Masruri, M.A., Kepala BPIP,Prof. K.H. Yudian Wahyudi, Menkopolhukam RI,Prof. Mahfud MD., dan Ahmad Hafandi sebagai sahabat karib Almarhum Prof. Minhaji sejak kecil hingga sukses memiliki karir yang berbeda-beda. Hadir pula Staf khusus Presiden Joko Widodo,Dr. Hj. Siti Ruhaini Dzuhayatin, MA.
Doa bersama berlangsung khidmat dipandu Dr. Shofiyullah, dipimpin Kyai Malik Madany, memohon kepada Allah SWT ampunan dan maghfirah, serta tempat yang termulia di sisi Allah SWT untuk Almarhum Prof. Akh Minhaji. Usai doa bersama para pimpinan dan sahabat karib Almarhum berkenan menyampaikan kalimat-kalimat kenangan budi baik dari almarhum Prof. Minhaji yang bisa dijadikan suri tauladan bagi kita semua.
Baca juga: Prof Minhaji, Guru Besar Ilmu Fiqih UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Berpulang
Prof. Al Makin antara lain memohonkan kepada Allah SWT, agar almarhum Prof. Minhaji mendapatkan tempat yang semulia-mulianya di sisi Allah. Diampuni semua dosa dan diterima semua amal baik almarhum.
Prof. Minhaji adalah guru, bapak, manager sekaligus intelektual muslim yang teguh dan gigih dalam mengembangkan keilmuan Islam.“ Kita bisa meneruskan semua yang beliau wariskan di UIN Suka. Mari ingat yang baik baik dan teruskan warisan yang luar biasa dari Prof. Minhaji,"kata Prof. Al Makin.
Dalam Buku IAIN Modernisasi Islam di Indonesia. Dikupas sejarah pembentukan pembibitan dosen, program dari Menteri Agama RI, Munawir Sjadzali. Prof. Minhaji salah satu yang ikut program pembibitan dosen dalam rangka modernisasi Islam bersentuhan dengan pendidikan Barat. Selain Prof. Minhaji program ini juga melahirkan Prof. Yudian Wahyudi, Fuad Jabali (UIN Jakarta), Dr. Siti Ruhaini. Buku yang lain yang ditulis oleh Caroll berisi wawancara dengan Prof. H.M. Amin abdullah, Prof. Yudian, dan Prof. Minhaji. Dari buku ini dapat dipahami betapa kita bersyukur memiliki Prof. Minhaji sebagai pilar intelektual dalam pengembangan akademik UIN Sunan Kalijaga.
Ilmu kombinasi pendidikan pesantren dan madrasah dengan perspektif Barat. Prof. Minhaji adalah salah satu pilar yang bertumpu pada kajian usul fiqih, dan fiqih, juga metodologi studi Islam, masa depan UIN Suka dan peran sains dan Teknologi bagi kemajuan umat Islam. Kita harus bersyukur memiliki Prof. Minhaji mahir berbahasa inggris dan perancis tapi tak lepas dari bahasa Arab, juga tradisi kearifan lokal Madura. Prof Mihaji menjadi ilmuwan yang tetap kuat iman, santri berfikir rasional, menjadi pengkaji fiqih dan usul fiqih tetapi sadar akan metodologi Barat untuk kemajuan umat Islam. Prof. Minhaji juga pribadi yang lugu dan humoris.
Dr. Ruhaini, merasa sangat kehilangan, namun harus tetap semangat meneruskan warisannya. Dr. Ruhaini juga terkesan support Prof. Minhaji terhadap PSW. Mensintetis dan analisis tentang kesetaraan gender yang khas dalam Islam dan untuk Indonesia. Berkat Prof. Minhaji PSW UIN Suka menjadi resort center bagi studi gender di Indonesia. “Ini warisan beliau“, kata Dr. Ruhaini. Dan tantangan bagi UIN Suka bagaimanamengontekstualisasi nilai-nilai kesetaraan dan hak asasi manusia sebagai cerminan moderasi Islam di indonesia. Tantangan Prof. Mminhaji membawa kita aktif melahirkan kejian kajian unggul dan khasanah kajian Islam yang khas Indonesia. Prof. Minhaji juga sangat memperhatikan dan peduli terhadap pengembangan keilmuan Islam. Saat di OKI mengingatkan diskursus Islam dan hak asasi manusia dapat merefleksi di negara-negara OKI. Kepemimpinan beliau sangat berkesan yakni kejujuran keterusterangan dan komutmen yang tinggi. Doakan beliau menjadi bagian dari jiwa yang mutmainah dan disediakan surganya allah, demikian harap Dr. Ruhaini.
Prof. Yudian Wahyudi, terkesan saat bersama menjadi peserta pembibitan dosen, program dari Menteri agama Munawir Sjadzali. Saat itu, peserta pembibitan dosen berangkat ke Mc. Gill, Kanada. Tahun 1990 Prof. Minhaji berangkat duluan. Prof. Yudian tertahan dan berangkat tahun berikutnya. Sebagai angkatan I, Prof. Minhaji banyak membantu dalam kesuksesan angkatan berikutnya, termasuk Prof. Yudian.
Prof. Minhaji itu dermawan, selalu menjamu makan bersama setiap tamunya yang berkunjung. 1997 Prof. Yudian mencalonkan diri menjadi ketua persatuan mahasiswa Indonesia di Montreal, Kanada. Prof. Yudian merasa minoritas, namun Prof. Minhaji menelpon untuk mendukungnya. Sebagai sesama berasal dari UIN Sunan Kalijaga hingga Prof. Yudian bisa terpilih.
Pihaknya juga sangat terkesan sebagai keluarga. Saat akan berangkat ke Kanada, Prof. Yudian akan mengajak anak dan istri. Harus ada jaminan komitmen bank 4500 dolar kanada. Untuk menyiapkan dana itu, Prof. Yudian Yudian mencanangkan 10 sahabat yang dianggap bisa membantu. Tapi 10 orang itu tak satu dolar pun mau meminjamkan. Namun Pak Minhaji dengan kedermawanannya meminjamkan 7000 dolar Kanada, untuk bank statement supaya bisa membawa anak dan istri.
Jasa Prof. Minhaji ini sangat berarti bagi Prof. Yudian. “Uang dapat dikembalikan tapi jasa pak Minhaji merupakan amal jariyah yang tak terputus,"demikian aku Prof. Yudian. Prof. Yudian juga menuturkan, angkatan pembibitan dosen yang berangkat bersamaan dengannya ke Kanada, banyak yang kurang pembekalan pengetahuan dan pengalaman. Tetapi berkat catatan pengalaman perjalanan pendidikan beliau memberikan bekal petunjuk yang luar biasa bagaimana belajar di Kanada.
Satu lagi pengalaman religius Prof. Yudian. Jika waktu itu Prof. Minhaji tidak mundur sebagai Rektor, Pak Yudian tak akan pernah menjadi Rektor yang juga selanjutnyamengantarkan Prof. Yudian menjadi Ketua BPIP. Jasa Pak Minhaji tak akan pernah hilang ataupun tertukar. Ini bukti Pak Minhaji orang yang tulus ikhlas. Ia percaya Pak Minhaji menjadi salah satu yang dijanjikan Jannah oleh Allah SWT. Karena jasa jasa Pak Minhaji, Prof. Yudian mengabadikan nama Pak Minhaji menjadi nama gelanggang olah raga di kampus UIN Suka.
Sementara itu, Prof. Mahfud MD memberikan testimoni sebagai sahabat. bertiga, Prof. Mahfud MD, Prof. Minhaji dan Ahmad Hafandi bertemu sebagai sahabat tahun 1971. Sampai saat ini masih saling berkomunikasi hangat. Tahun 1971 sd 1974 berteman, tidur bersama, belajar bersama sekolah bersama di Pendidikan Guru Agama. Tahun 1975 bertiga bersama ke Jogja untuk menempuh pendidikan tinggi, 3 tahun satu kamar lagi, baru setelah kuliah berpisah tapi masih satu kampung dan satu masjid yang sama menjadi takmir masjid al Mustaqim. “Kami bertiga berbeda cita cita, namun bisa tercapai semua, Minhaji jadi Guru Besar , saya jadi hakim dan Guru Besar juga, Hafandi di bank indonesia sampai eselon I. Hingga sekarang bertiga masih bersahabat karib. Dan betul Minhaji itu jujur, disiplin, setia kawan, suka berdiskusi dan sangat kritis”, ungkap Prof. Mahfud.
Dari pengalaman persahabatan ketiganya itu dapat menggambarkan bahwa produk langgar/surau itu bisa menjadi pemimpin bangsa di bidangnya masing masing. Ini bukti bahwa mobilitas sosial umat Islam di Indonesia itu berjalan cepat. Dulu tahun 70-an tak terbayang santri itu bisa jadi profesor di semua bidang. Paling berkarir di IAIN, kementerian agama, kepala KUA itu sudah hebat sekali. Namun santri surau itu bisa bertemu di Montreal bahkan bisa mengajar di Harvard University. Tak terbayang ada profesor perempuan dari surau, dulu hanya satu, Prof. Zakiah Daradjat. Dulu banyak hal yang tidak boleh dilakukan umat Islam karena Islam dianggap udik, sekarang yang menguasai opini publik di Indonesia adalah orang orang surau, pesantren, madrasah. Rektor, pejabat tinggi tidak malu lagi mengatakan santri/muslim. Sekarang Islam berkembang pesat dan menduduki posisi di semua tempat. Inilah bukti cepatnya mobilitas umat Islam. Dulu hanya sedikit yang mau mengucap Assalamu Alaikum, dulu ditertawakan, sekarang umat lain bisa bebas mengucap Assalamu Alaikum. Dulu Assalamualaikum hanya ada di lingkungan surau. Sekarang santri bisa jadi menkopolhukam, dan menteri-menteri lain di banyak bidang.
Dulu orang Islam meskipun pintar banyak di batasi. Yang maju hanya mereka yang punya ijazah sekolah umum. Lalu dirumuskannya kebijakan dua menteri yakni Menteri Pendidikan dan Menteri Agama, agar tidak ada diskriminasi dalam pendidikan antara sekolah umum dengan madrasah dan agar mobilitas sosial umat Islam di Indonesia terbangun, tahun 1960. Dengan kebijakan itu, banyak lulusan madrasah yang dapat meneruskan ke perguruan tinggi umum.
Tahun 70 sudah banyak santri yang lulus sarjana. Tahun 80-an santri tidak lagi meneruskan kuliah ke Timur Tengah, tetapi banyak yang ke Barat. Sehingga keilmuan dan metodologi keilmuan Islam menjadi lebih kuat. Islam menjadi lebih terbuka.
Sekarang tidak hanya dalam pendidikan, namun dalil-dalil Islam sudah menjadi budaya. Ekspresi Muslim sudah sangat terbuka. Sudah banyak santri yang dapat menduduki posisi-posisi penting dalam negara. Banyak pemimpin negeri ini yang pinter ngaji. Inilah mobilitas umat Islam di Indonesia. Posisi umat Islam saat ini sudah sangat diperhitungkan baik dalam politik, intektual, profesional dan seterusnya. Oleh karena itu pihaknya berharap mobilitas ini jangan diganggu. Seperti yang selalu dinarasikan oleh para ekstrim yang menyampaikan bahwa seolah umat Islam di Indonesia didiskriminasi.
Seperti harapan Gus Dur, kalau Islam mau maju ndak perlu merengek-rengek merasa didiskriminasi. Yang perlu dilakukan umat Islam di negeri ini adalah bersama-sama membangun demokrasi yang semakin baik. Maka semua akan bersaing dalam kontestasi negara secara terbuka dan adil. Jadi seleksinya profesional. Seleksi demokratis berdasar kualitas.
Persahabatan dan proses meniti karir kami bertiga juga membuktikan bahwa isu Islamofobia di Indonesia itu tidak ada. Karena setiap ada aspirasi umat Islam selalu jadi pembahasan negara. Apa itu Islamophobia? Islam itu harus disingkirkan karena takut, atau disingkirkan karena dibenci atau dianggap kampungan. Tidak ada, Islam sudah melahirkan orang yang hebat-hebat. Jangan dirusak situasi ini dengan cara radikalisme atau narasi kebijakan anti Islam.
Maka yang paling tepat dipahami umat Islam di Indonesia adalah Ikutlah moderasi Islam, Islam wasatiyah, memasukkan semua nilai-nilai Islam dalam setiap sisi kehidupan berbangsa dan bernegara. Seperti garam yang tanpa kelihatan warnanya, tadi rasanya ada. Nilai nilai Islam, sikap sikap Islam terimplementasi dalam kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat. Itu sudah membuktikan Islam sebagai kekuatan politik, intelektual, profesional sudah diperhitungkan di negeri ini, Jelas Prof. Mahfud MD. (Weni/Ihza)