Prof. Dr. Nurdin, S.Ag., SS., M.A., Guru Besar Ilmu Perpustakaan Ketiga di Indonesia

Prof. Dr. Nurdin, S.Ag., SS., M.A., resmi dikukuhkan oleh Ketua Senat UIN Suka, Prof. Siswanto Masruri berdasarkan SK Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi RI nomor 22505/MPK.A/KP.05.01/2022. Bertempat di Gedung Prof. R.H.A. Soenardjo, S.H., kampus UIN Suka, 28/07/2022. Sidang Senat Terbuka kali ini dihadiri oleh Ketua Senat, Prof. Siswanto Masruri, Anggota Senat, Rektor UIN Suka, Prof. Phil Al Makin, para Wakil Rektor, Para Dekan, keluarga besar Prof. Nurdin, tamu undangan dan segenap sivitas akademika UIN Suka.

Pada pidato pengukuhannya, Prof. Nurdin yang memiliki nama lengkap Nurdin Laugu ini menyampaikan beberapa kegalauan akademik dalam beberapa tahun terakhir. Kegalauan pertama adalah bahwa kehadiran perpustakaan seakan-akan tidak terasa ataupun berdampak dalam bingkai peradaban umat manusia. Perpustakaan seolah hanya menjadi bagian struktural saat penilaian kelembagaan berlangsung, sekadar sebagai syarat sertifikasi ataupun akreditasi institusi, tidak menjadi bagian integral dan fundamental dalam kerangka membangun peradaban masyarakat saat ini. Padahal, tata kelola yang baik akan membangun akses yang baik untuk pengembangan pengetahuan dan komunikasi ilmiah sebagaimana terjadi di masa silam.

Kegalauan kedua adalah mengapa perpustakaan kurang memiliki daya tarik yang memungkinkan masyarakat, khususnya kaum akademisi, untuk memberikan rekognisi terhadap urgensi peran perpustakaan dalam perkembangan peradaban umat manusia tersebut. Kondisi ini dapat dilihat, misalnya pada 3 tahun terakhir sebelum pandemi 2020, minat kunjung perpustakaan, khususnya di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta berada di sekitar 5,5%, dari total jumlah mahasiswa dan pada masa pandemi turun menjadi 0,4% (Statistik Pengunjung). Kondisi serupa ditemukan di perpustakaan umum yang rata-rata sepi dari pengunjung. Hal ini tergambar dalam rilis UNESCO yang menyatakan bahwa minat baca orang Indonesia berada di peringkat kedua dari bawah di antara bangsa-bangsa di dunia, yaitu 0,001%.

Kegalauan ketiga adalah mengapa terminologi perpustakaan. mengalami proses stigmatisasi yang berujung pada penuaan sebelum waktunya. Pergerakan dan perkembangan kepustakawanan era milenium akhir ini melalui kondisi tersebut seakan telah menunjukkan degradasi akut kepercayaan diri di kalangan para praktisi dan akademisi perpustakaan. Mengacu pada ketiga hal tersebut, pidato Prof. Nurdin suami dari istri Verawati dan dua putri serta satu putra ini berupaya memberikan pandangan melalui kontekstualitas perpustakaan dalam peradaban.

Prof. Nurdin menyebutkan bahwa perpustakaan hadir merupakan kebutuhan karena menjadi penyangga pada setiap kepentingan masyarakat. Kepentingan masyarakat hadir bergantung pada situasi budaya dan derajat edukasinya. Budaya yang bergerak di atas pilar-pilar ilmu pengetahuan telah menunjukkan ke arah pencapaian peradaban gemilang, mulai dari Sumeria, Yunani, dan hingga Islam dan Barat. Sebaliknya, keterbatasan pada akses pengetahuan, advokasi, dan jejaringnya menunjukkan ke arah yang sebaliknya. Peradaban-peradaban besar menghilang karena lebih didominasi oleh kepentingan politik, ideologi, dan keluarga ketimbang pemihakan terhadap pengelolaan pengetahuan berbasis pendidikan dan kebebasan intelektual.

Berdasarkan pada pokok bahasan di atas, perpustakaan dapat dilihat dalam empat pilar, yaitu sebagai pusat literasi, infrastruktur pengetahuan, komunikasi ilmiah, dan agen peradaban. Pertama, sebagai pusat literasi, perpustakaan merupakan ruang komunal awal yang digunakan sebagai tempat bersama untuk membangun literasi masyarakat melalui kemampuan dasar literasi berupa membaca dan menulis, yang berkembang hingga lahirnya berbagai jenis literasi, seperti literasi informasi, literasi media, dan literasi digital. Kedua, perpustakaan sebagai infrastruktur pengetahuan menunjukkan urgensi kehadiran perpustakaan sebagai salah satu mata rantai atau sistem fundamental dalam tradisi pengembangan ilmu pengetahuan. Perpustakaan dari periode awal pengetahuan manusia sudah menjadi bagian penting dalam pengelolaan ilmu pengetahuan melalui penataan, diseminasi, dan preservasi pengetahuan masyarakat.

Ketiga, perpustakaan sebagai komunikasi ilmiah dalam menyangga peradaban muncul sebagai ruang dialektika yang memfasilitasi elemen-elemen dasar pengetahuan di samping dirinya sebagai salah satu elemen pengembangan ilmu pengetahuan. Komunikasi ilmiah tersebut memfasilitasi dan mendorong proses evaluasi terhadap kualitas pengetahuan agar dapat dimanfaatkan maksimal oleh masyarakat. Terakhir, perpustakaan sebagai agen peradaban memainkan peran penting dalam melihat peradaban sebagai ruang-ruang kontestatif, ruang dialektika, dan ruang konstruktif, yang terus-menerus berkembang dinamis. Peradaban membutuhkan penciptaan secara berkelanjutan karena peradaban adalah sebuah posisi pencapaian tinggi yang sementara sedangkan perkembangan masyarakat di sisi lain terus berubah dan berevolusi menuju ke tahap tuntutan yang lebih tinggi. Pada titik ini, perpustakaan sebagai agen peradaban melalui posisinya sebagai pusat literasi dan repositori pengetahuan akan membantu proses dinamisasi suatu peradaban. Perpustakaan selalu menjadi pintu terbuka untuk pengetahuan, pendidikan sepanjang hayat, dan akses menuju inovasi setiap generasi, sebagai industri produsen suku cadang peradaban, yang berujung pada lahirnya sebuah peradaban emas.

Prof. Nurdin Laugu melanjutkan pendidikan sarjana dengan merantau di UIN Sunan Kalijaga, saat itu masih IAIN Sunan Kalijaga, mengambil program studi Bahasa dan Sastra Arab. Kemudian mendapatkan beasiswa sarjana dan memulai pendidikan sarjana lagi dengan jurusan Ilmu Perpustakaan di Universitas Indonesia. Pada tahun 2003, Prof. Nurdin menjalani studi magister di Leiden University dengan minat studi Ilmu Perpustakaan, dan lanjut studi Doktoral Kajian Budaya dan Media dengan minat studi Ilmu Perpustakaan di Sekolah Pascasarjana UGM. Prof. Nurdin Laugu merupakan sosok yang patut diteladani atas semangat belajar. Sejak tahun 1997 dimana Prof. Nurdin memulai mengambil studi dengan bidang yang berbeda, yakni Ilmu Perpustakaan, hingga saat ini dikukuhkan di tahun 2022, hanya ada sebanyak tiga Guru Besar dalam Bidang Ilmu Perpustakaan. Yakni, Prof. Sulistyo-Basuki, Ph.D., Prof. Dr. Jonner Hasugian, M.Si dari USU, dan kemudian disusul oleh Prof, Nurdin Laugu, S.Ag., SS., M.A.. Seluruh prestasi berhak mendapatkan apresiasi, termasuk pencapaian bersejarah yang diraih olehProf. Dr. Nurdin, S.Ag., SS., M.A., ini.

Sementara itu, dalam sambutannya usai pengukuhan, Prof. Al Makin menyampaikan, pidato Guru Besar Prof. Nurdin Laugu disebut sebagai pidato ilmiah yang sangat baik, dengan tiga alasan utama. Yang pertama, memberi informasi yang benar-benar berbobot, kritik Pak Laugu adalah malas membaca dan tidak sadar sejarah; sejarah manusia, sejarah dunia, dan sejarah peradaban. Yang kedua, Kritis dan proporsional terkesan dari pidato ini. Banyak ungkapan-ungkapan kritis, tentang minat baca, relasi antara peradaban dan perpustakaan, dan bagaimana kita telah mengabaikan buku, bacaan, dan perpustkaan secara sistematis dan kolektif, bahkan secara nasional.

Ini sangat penting bagi bangsa Indonesia, yang minat bacanya rendah. Minat baca masyarakat Indonesia nomer dua dari bawah di dunia (UNESCO (Bustomi & Ardhi, 2022). Ini sungguh menyedihkan. Kita hanya tertarik pada leaflet, statemen bombastis, status-status medsos, video singkat di Tiktok, dengan menari-nari, sekedar pakaian seragam, upacara, guyonan tak mendidik, dan lain-lain yang menyenangkan dan menghibur. Jauh dari dalam, serius, dan dedikasi. Sayang sekali, kata Prof. Al Makin.

Yang ketiga, Pidato ini memberi referensi yang jujur dan jelas. Semua pernyataan mempunyai rujukan yang jelas. Itulah bedanya antara cendikiawan, scholars, atau ulama atau alim dengan orang-orang lain. Tidak ada ilmu tumbuh dan muncul dari diri sendiri. Semua ilmu tumbuh dari ilmu. Creatio ex creatio, begitu doktrin filsafat yang dipegang Ibn Sina, Al-Farabi, Ibn Rusyd dan lain-lain. Tiga hal itulah yang membuat pidato ini berbobot. Pihaknya yakin jika dibaca hati-hati akan banyak memberi hikmah dan kedewasaan, demikian imbuh Rektor.

Sayangnya kalau mau jujur, di kalangan mahasiswa juga dan mungkin juga para Dosen, tidak banyak update bacaan baru. Kita nyaman dengan tidak membaca. Membaca bagi saya pribadi, saya sampaikan berkali-kali itu seperti berzikir. Membaca menenangkan jiwa dan menambah pengetahuan demi kebijakan. Tanpa membaca kita tidak akan menjadi bijak.

Prof. Laugu pergi jauh ke negeri Sumeria, Mesir, Yunani, dan menunjukkan bahwa kemajuan masyarakat terdahulu juga dengan perpustakaan dan membaca. Ilmu pengetahuan juga hadir di semua peradaban maju. Tanpa pengetahuan akan hancur negeri atau bangsa. Bangsa kita saat ini sedang kecil minatnya pada pengetahuan. Kita semua minat pada ilmu-ilmu yang pragmatis membawa kesejahteraan sesaat. Informasi sesesaat, polling, survey kecil-kecilan, popularitas, dan retorika-retorika sederahana. Ilmu-ilmu serius kurang diminati. Jika kita ingin membangun peradaban tentu harus menyukai buku dan membaca. Tetapi sayang sekali tidak seperti itu adanya. Yang berceramah dimana-mana juga tidak berdasarkan buku dan bacaan, tetapi hanya guyon dan lucu-lucuan saja.

Koleksi perpustakaan nasional kita juga tidak terpelihara dengan baik. Bahkan mansukrip-masnuskrip kuno banyak disimpan di Leiden, London, New York, Cornell, Berlin dan lain-lain. Kita kurang menghargai karya buku. Kita terobsesi kemajuan materi, infrastruktur, jalan, gedung, sedangkan koleksi perpustkaan tidak menjadi prioritas. Pendidikan bukan prioritas, hanya yang langsung menyangkut pekerjaan dan peluang dagang yang menjadi prioritas. (Tim Humas)