Post-truth Pandemi
Oleh:Thoriq Tri Prabowo, M.IP.(Dosen Program Studi Ilmu Perpustakaan Fakultas Adab dan Ilmu BudayaUIN Sunan Kalijaga Yogyakarta)
Panicbuying,fenomena membeli segala sesuatu secara berlebihan sebagaimana yang terjadi pada fase awal diumumkannya covid-19 terjadi lagi. Belum lama ini jagat maya dihebohkan dengan aksi “brutal” pembelian produk yang dipercaya mampu mengobati atau bahkan menangkal covid-19. Gelombang kepanikan tersebar semakin luas karena adanya pemberitaan yang masif mengenai hal tersebut.
Padahal belum ditemukan riset spesifik yang menyatakan bahwa produk tersebut terbukti efektif dalam menangkal covid-19. Kepercayaan publik tersebut sebenarnya bukanlah hal baru dalam kultur masyarakat Indonesia. Pasalnya, sampai dengan saat ini masih banyak pihak yang menganggap bahwa pandemi yang terjadi ini merupakan konspirasi belaka. Asumsi pribadi tersebut kemudian dipercaya sebagai realitas yang tidak jarang mempengaruhi tindakan apa yang akan diambil oleh orang tersebut.
Gelombang Kecemasan
Pada fase awal diumumkannya covid-19 masker danhand sanitizermenjadi barang yang sangat dicari. Segelintir pihak melakukan penimbunan untuk mencari keuntungan. Belum lama ini beredar berita bahwa stok vitamin, produk susu kemasan, dan beberapa produk lainnya menjadi langka. Dugaan terkuat adalah adanya pihak yang melakukan penimbunan untuk mengambil keuntungan dari gelombang kecemasan publik seperti yang disebutkan di atas. Tidak mengherankan apabila berita bohong menjadi komoditas yang menggiurkan bagi oknum yang tidak bertanggungjawab, karenanya memang keuntungan finansial bisa diraih dengan mudah.
Fenomena yang disebutkan di atas ialah manifestasi dari fenomena post-truth yang sudah mengakar. Beberapa literatur meyebutkan bahwa istilah tersebut pertama kali digunakan pada 1992 oleh Steve Tesich dalam tulisannya yang berjudulThe Government of Liesdalam majalah The Nation. Tesich menuliskan bahwa “Kita sebagai manusia yang bebas, punya kebebasan menentukan kita ingin hidup di duniapost truth”. Post-truth yang dimaksud adalah fenomena bahwa fakta obyektif tidak lebih dipercaya ketimbang asumsi subyektif seseorang.
Seseorang yang sudah telanjur terkena post-truth dalam konteks sebelum pandemi mungkin tidak akan begitu meresahkan, namun di saat pandemi post truth bisa sangat membahayakan. Sebagai contoh seseorang yang meyakini pandemi sebatas konspirasi belaka bisa saja enggan mematuhi protokol kesehatan yang menjadi himbauan pemerintah. Apabila seseorang tersebut terjangkit virus covid-19 dalam kondisi meyakini bahwa ia hanya “dicovidkan”, maka keselamatan orang-orang sekitarnya akan terancam.
Contoh lainnya adalah ketika seseorang memercayai bahwa program vaksinasi yang tengah digalakkan pemerintah ialah tidak lebih dari akal-akalan elit global, kemudian ia mengkampanyekan gagasannya tersebut dalam media sosial (medsos). Bisa jadi beberapa orang yang membacanya juga kemudian turut memercayai dan menyebarkannya terus menerus. Dampaknya program vaksinasi yang tidak mudah dan tidak murah tersebut bisa saja terancam gagal. Sangat mudah menemukan contoh lain dari dampak dari post-truth tersebut di era ini, yang jelas terlihat ialah dampaknya yang sangat korosif.
Teori Konspirasi
Berdasarkan situs resmi penanggulangan covid-19 Indonesia diketahui bahwa per 08/07/2021 saja sudah terdapat 2,4 juta lebih kasus positif covid-19 di Indonesia. Apabila publik semakin memercayai narasi yang disebarkan oleh kelompok pecinta “teori konspirasi”, maka angka tersebut sangat mungkin bertambah dalam beberapa waktu dekat ini. Dampaknya, manusia tidak lebih sebatas angka-angka statistik semata di hadapan pandemi yang mematikan ini.
Post-truth ini menjadi semakin mengkhawatirkan pasca teknologi internet berkembang sangat pesat seperti sekarang ini. Asumsi pribadi yang sangat mungkin salah bisa tersebar begitu cepat dan juga merepresentasikan asumsi kolektif publik. Dampaknya, temuan-temuan ilmiah akan diabaikan. Dalam konteks ini penggunaan medsos sebagai kanal komunikasi masyarakat modern harus digunakan sangat bijak, utamanya saat tengah terjadi pandemi seperti sekarang ini.
Fenomena ini bisa terjadi karena siapa saja bisa memproduksi informasi di medsos tanpa adanya filter mengenai kualifikasi akademik atau keahlian. Seseorang yang berniat mengambil keuntungan atau bahkan dengan tidak sadar menyebarkan gagasannya yang berpotensi meningkatkan persebaran covid-19 perlu menggunakan nuraninya. Menanyakan kembali mengenai urgensi dan kemanfaatan informasi yang akan disebarkan menjadi filter dalam diri yang bisa saja akan menyelematkan banyak jiwa di kemudian hari. Membagikan informasi dan kecemasan yang tidak diperlukan saat ini sama saja membagikan virus.
Di sisi konsumen informasi, publik mungkin memang tidak dapat menghentikan narasi-narasi bermuatan post-truth yang tersebar, namun mereka dapat melakukan verifikasi untuk menemukan kebenaran yang hakiki. Di masa pandemi ini, memercayai berita yang berdasarkan temuan-temuan saintifik yang dikeluarkan oleh orang berkompetensi sama artinya dengan menyelamatkan dunia. Masing-masing pihak harus bahu membahu agar dunia lekas keluar dari virus yang mematikan ini. Mengambil keuntungan pribadi di tengah-tengah wabah sama artinya dengan membunuh diri dan orang terkasih secara perlahan.
Artikel dimuat pada Kolom Analisis Koran Kedaulatan Rakyat halaman 1 edisi Kamis, 15 Juli 2021.