Etika Pancasila
Oleh: Prof. Al Makin, Rektor UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
PANCASILA hendaknya dipandang sebagai milik semua elemen bangsa dan untuk siapa saja dari bangsa ini. Pancasila tidak hanya sebagai kekuatan formal secara hukum bernegara, tetapi terbuka bagi siapapun dari berbagai elemen masyarakat.
Dengan begitu, Pancasila bisa diterjemahkan dalam tata laku dan tindakan siapa saja. Dan masyarakat manapun juga bisa merujuk dan memberi makna sesuai dengan budaya dan tradisinya. Pancasila terbuka.
Usaha kita adalah agar Pancasila tidak hanya dimiliki oleh kelompok tertentu, tetapi semua kelompok merasa memiliki. Pancasila tidak tertutup, tetapi terbuka dan sederhana. Pancasila hendaknya mudah difahami, dan semua merasa menafsirinya. Pancasila milik semua warga Indonesia.
Secara formal dan legal, Pancasila memang sumber hukum di negara ini, sebagaimana termaktub dalam UU 12/2011 pasal 2. Namun, hukum adalah sesuatu yang zahiriyah, harus bisa dibuktikan, harus tertulis, bisa disaksikan, dan berlaku secara sah di mata negara.
Penegakan hukum lebih pada masalah teknis dan tata aturan yang mengikat, yang melanggar akan menerima konsekwensinya setelah pembuktian. Hukum berkaitan dengan pelanggaran dan penegakan aturan.
Hukum adalah pelaksanaan formal dan resmi dengan sifat-sifat kenegaraan, pemerintahan, perkantoran, pengadilan, dan prosedur. Semuanya zahir, jelas, dan resmi.
Namun, ada sesuatu yang lebih praktis dan lebih mengikat kita, dan bisa diikuti oleh semuanya dalam keseharian dan kesederhanaan masing-masingm, yaitu etika. Tanpa harus diproses dan tanpa harus menunggu pelanggaran terjadi, etika ada di masing-masing individu dalam masyarakat.
Etika adalah sebuah rambu-rambu bagi siapa saja, antar orang, dan mereka dalam kesendirian dan kebersamaan dalam berbangsa. Etika mengikat secara batiniyah.
Persoalan etika sudah lama diajarkan dan dipikirkan oleh manusia kuno. Filosof Yunani kuno, Aristoteles, 2500 tahun yang lalu, secara khusus membahas ethos ini. Apa itu kebaikan, kebahagiaan, keadilan, dan nilai-nilai mulia yang dikembangkan.
Keutamaan laku dan sikap, serta nilai kebajikan yang mempengaruhi individu dan yang membawa masing-masing meraih kebahagiaan dan kebajikan bermasyarakat. Itulah etika yang hendaknya terkait dengan Pancasila, dan bagian utama darinya.
Dalam berbagai sastra kuno kita dalam berbagai bahasa daerah, terutama sumber utamanya adalah bahasa Sansekerta lama, misalnya genre babad atau serat, dan berbagai fragmen dari berbagai suku, terdapat berbagai rumusan etika. Tentu terlalu berlebihan, jika kita harus membaca secara harfiyah, adat yang berlaku di semua suku dan etnis di kepualauan Nusantara itu.
Namun, semangat akomodasi sudah lama dipikirkan oleh para ahli hukum lama kita, seperti Hazairin Harahap (1906-1975). Hukum adat, agama, dan negara saling berkelindan dan memperkaya. Etika ada di sana, tata laku yang mengatur agar anggota masyarakat menjadi warga yang baik untuk meraih kebahagiaan.
Etika lebih dari hukum, lebih dari sekadar formalitas dan tata aturan negara. Etika lebih luas mencakup kebahagiaan masyarakat dan individu. Etika mencakup sikap, perilaku, dan tindakan kita. Etika terkait dengan laku batin.
Etika Pancasila sudah lama juga menjadi bahan perbincangan cerdik dan cendikia kita, era Orde Baru hingga Reformasi. Namun implementasi dan pengembangan tampaknya perlu perenungan lebih mendalam lagi. Bagaimana kita membuat etika Pancasila itu menjadi sederhana dan mudah difahami.
Berbagai tulisan dari para pengamat dan peneliti menggagas pembumian sekaligus penterjemahan dalam nilai-nilai Pancasila dari segi keseharian. Usaha itu akan menjaga agar Pancasila tetap hidup dalam tindakan masyarakat kita.
Etika itu bermula dari pendidikan kita. Para siswa sekolah dasar, menengah, atas dan perguruan tinggi selama ini terlalu ditekan dengan proses pembentukan untuk menghafal materi, dan terus dicetak untuk mengejar profesi formal yang dipandang bergengsi.
Imajinasi mereka, mimpi mereka, dan pandangan hidup mereka, ditunjukkan pada benda-benda formalitas. Mereka akan mengejar hal-hal zahiriyah. Tetapi pengajaran etika, keutamaan batiniyah, tampaknya sering dilupakan.
Prestasi siswa di berbagai bidang sastra, sains, teknologi, komunikasi, dan lain-lain, tertuju pada persaingan bagaimana memenangkan perlombaan. Namun, sikap, laku, dan tindak tanduk tidak dibicarakan. Etika belum menjadi titik tekan. Apa yang membentuk dan laku utama, tampaknya masih dianggap sampingan, bukan utama.
Etika Pancasila bisa mengisi kekosongan ini. Etika pembentukan pribadi, seperti kejujuran, dan sikap adil dalam berfikir dan bertindak perlu digarap secara Pancasilais dan serius. Sumber etika bisa berupa realitas kehidupan, lewat perenungan dan penelitian, serta kesepakatan-kesepakatan dari berbagai wacana dan pergulatan (Sila ke dua berupa kemanusiaan, dan Sila ke empat yaitu permufakatan bersama).
Menurut hemat para komentator, cendikia, dan para guru bangsa yang masih menyertai kita, para pemimpin generasi kini masih jauh dari ideal dalam hal etika. Tidak perlu diungkap seberapa persen dari kita yang benar-benar berpegang pada nilai-nilai kejujuran.
Berita di koran dan indeks penyelewengan dan penyimpangan kita tidak perlu diulang-ulang. Bahkan sentimen keagamaan dijadikan bahan untuk memperkuat posisi, sudah bukan rahasia lagi.
Etika Pancasila perlu disederhanakan lagi agar menjadi bahan pengajaran, rambu laku, perilaku, sikap, dan aturan yang rasional berdasar kehidupan nyata. Etika Pancasila juga menjadi sumber kebahagiaan, bukan idealisme utopis berdasar ketakutan atau ancaman.