Spirit Hijrah dan Penyatuan Kalender Islam
Prof. Dr. Susiknan Azhari
(Guru Besar Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta)
Keinginan untuk melakukan hijrah telah lama terbesit dalam hati Rasulullah saw. Namun selalu memperoleh rintangan dari kaum Quraisy Mekah. Berbagai literatur tentang sirah nabi menyebutkan bahwa perjanjian Aqabah satu dan dua menjadi modal besar bagi Muhammad untuk melakukan perubahan strategi dakwah. Dalam “Hayatu Muhammad” karya Muhammad Husain Haekal dan “ar-Rahiq al-Makhtum” karya Syekh Shafiyurrahman al-Mubarakfuri dituturkan ketika perjanjian Aqabah kedua, Rasulullah bersama pamannya Abbas ibn Abdul Muthalib mendatangi jamaah haji Yatsrib dari kaum Khajraj dan ‘Aus di Bukit Aqaba pada tengah malam pada hari Tasyriq. Pada kesempatan itu Abbas yang pertama kali berbicara : “Saudara-saudara dari Khajraj dan ‘Aus. Posisi Muhammad di Tengah kami sudah sama-sama tuan ketahui. Kami dengan mereka yang sepaham telah melindunginya dari gangguan masyarakat kami sendiri. Dia adalah orang terhormat di kalangan masyarakatnya dan mempunyai kekuatan di negerinya sendiri. Tetapi dia ingin bergabung dengan tuan-tuan juga. Jadi kalau memang tuan-tuan merasa dapat menepati janji seperti yang tuan-tuan berikan kepadanya itu dan dapat melindunginya dari mereka yang menentangnya, maka silahkanlah tuan-tuan laksanakan. Akan tetapi, kalau tuan-tuan akan menyerahkan dia dan membiarkannya terlantar sesudah berada di tempat tuan-tuan maka dari sekarang lebih baik tinggalkan sajalah.”
Selanjutnya pihak Yatsrib menjawab : “Kami sudah mendengarkan semua yang tuan sampaikan. Sekarang silahkan Rasulullah menyampaikan apa yang tuan inginkan. Setelah membacakan ayat-ayat al-Qur’an dan memberi semangat. Rasulullah menjawab : “Saya minta ikrar tuan-tuan akan membela saya seperti membela istri-istri dan anak-anak tuan-tuan sendiri”. Akhirnya kedua belah pihak bersetuju dan berkata : “Kami berikrar mendengar dan setia di waktu suka dan duka di waktu bahagia dan sengsara, kami akan berkata yang benar di mana saja kami berada, dan kami tidak takut kritik siapa pun atas jalan Allah”.
Dalam perjalanannya, ikrar bersama ini memperoleh tantangan dari Kaum Quraishy Mekah. Mereka beranggapan jika Muhammad berhasil melakukan hijrah ke Yatsrib maka mereka akan terancam dari aspek politis dan ekonomis. Akhirnya mereka mengadakan pertemuan di Dar an-Nadwa membahas semua permasalahan dan solusinya. Berbagai usul muncul untuk mencegah agar Muhammad tidak melakukan hijrah ke Yatsrib, yaitu dimasukkan kurungan besi dan ditutup rapat-rapat, diusir, dan dibunuh. Pendapat terakhir yang disetujui dan mereka segera mengambil langkah-langkah untuk mengeksekusi. Tetapi Allah menyelamatkan dan memerintahkan Rasulullah untuk hijrah ke Yatsrib bersama Abu Bakar.
Penggalan kisah perjalanan hijrah nabi Muhammad dari Mekah menuju kota Yatsrib (Madinah al-Munawwarah) di atas menggambarkan untuk melakukan perubahan memerlukan pengorbanan dan komitmen yang tinggi. Semangat ini sangat relevan bagi upaya penyatuan kalender Islam. Pihak-pihak terkait perlu melakukan “hijrah” demi kemaslahatan dan kepentingan yang lebih besar. Semua pihak perlu membuka diri dan mengevaluasi. Apakah persoalan perbedaan dalam memulai dan mengakhiri Ramadan akan diwariskan terus-menerus dari generasi ke generasi berikutnya?. Dengan kata lain ketidakpastian kalender Islam yang selama ini dipedomani masihkah relevan untuk dipertahankan?. Kalender Islam merupakan hasil ijtihad yang senantiasa memerlukan penyempurnaan dan mengkreasi teori baru yang lebih baik.
Kasus perbedaan dalam menentukan awal Muharam 1439 H tahun ini sebagai bukti perlunya “hijrah” untuk mewujudkan kalender Islam yang mapan. Saudi Arabia, Kuwait, Qatar, Uni Emirat Arab, Yordania, dan Turki menetapkan awal Muharam 1439 H jatuh pada hari Kamis 21 September 2017 (Al-Madinah dan ICOP), sedangkan Aljazair, Bahrain, dan Mesir menetapkan awal Muharam 1439 H jatuh pada hari Jum’at 22 September 2017 (Al-Ayyam dan Al-Ahram). Di kawasan ASEAN, khususnya yang tergabung dalam MABIMS juga terjadi perbedaan. Indonesia menetapkan awal Muharam 1439 H jatuh pada hari Kamis 21 September 2017 sebagaimana tertera dalam Taqwim Standar Indonesia. Singapore, Malaysia, dan Brunai Darussalam menetapakan awal Muharam 1439 H jatuh pada hari Jum’at 22 September 2017.
Perbedaan ini terjadi karena Indonesia masih berpegang pada Visibilitas Hilal MABIMS (2,3, 8). Kalender Islam 2017 yang dikeluarkan Majelis Ugama Islam Singapore (MUIS) menggunakan Taqwim MABIMS. Malaysia menurut salah satu sumber menyebutkan adanya kesalahan teknis. Pada awalnya kalender Islam 2017 yang dikeluarkan oleh Jabatan Kemajuan Islam Malaysia (JAKIM) menetapkan awal Muharam 1439 H jatuh pada hari Kamis 21 September 2017. Namun setelah dikaji ulang oleh para ahli dalam Panel Pakar Falak JAKIM dilakukan perubahan awal Muharam 1439 H jatuh pada hari Jum’at 22 September 2017. Hal ini dinyatakan oleh Tan Sri Dato’ Haji Othman bin Mustapha dalam jumpa pers.
Patut dicacat Brunai Darussalam merupakan satu-satunya negara anggota MABIMS yang menetapkan awal Zulhijah 1438 jatuh pada hari Kamis 24 Agustus 2017 karena pada hari Selasa 22 Agustus 2017 hilal tidak teramati di Brunai Darussalam sehingga Idul Adha 1438 jatuh pada hari Sabtu 2 September 2017 berbeda dengan anggota MABIMS dan Saudi Arabia yang menetapkan Idul Adha 1438 jatuh pada hari Jum’at 1 September 2017. Akibatnya pada hari Selasa 20 September 2017 usia bulan Zulhijah 1438 di Brunai Darussalam masih berumur 28 hari. Dengan demikian tidak mungkin awal Muharam 1439 H jatuh pada hari Kamis 21 September 2017. Di sisi lain Taqwim Hijriah 1993-2020 M/ 1414-1442 H yang dibuat bersama anggota MABIMS menetapkan awal Muharam 1439 H jatuh pada hari Jum’at 22 September 2017. Kondisi ini menggambarkan komitmen anggota MABIMS mulai “luntur” dan melupakan kesepakatan yang telah dicapai. Oleh karena itu spirit hijrah perlu ditumbuhkan kembali demi terciptanya kebersamaan yang autentik.
Wa Allahu A’lam bi as-Sawab.