Pembangunan Insfrastruktur yang Berbudaya

Oleh: Dr. Fathorrahman Ghufron (Wakil Dekan 3, bidang Kemahasiswaan dan Kerja- sama Fakultas Sains dan Teknologi, UIN Suka)

Dalam sebuah konferensi tentang “Culture and Infrastructure: New Ethnographic Projects in Indonesia and Beyond” yang di laksanakan di Australian National University (ANU) pada tanggal 14 April 2016 membahas tentang keterkaitan infrastruktur dan karakter budaya di Indonesia.

Poin penting yang dibahas detail dalam konferensi di ANU tersebut adalah bagaimana perumusan kebijakan pembangunan infrastruktur yang dilakukan oleh pihak-pihak terkait, baik pemerintah dan swasta tidak hanya merepresentasikan kehendak techno-politik maupun bisnis perusahaan. Tetapi, pembangunan infrastruktur harus melibatkan karakter budaya yang seturut dengan kearifan mengakomodasi kepentingan lokalitas.

Urgensi penekanan dimensi budaya dalam pembangunan infrastruktur perlu dirumuskan, sebab selama ini infrastruktur yang dicanangkan oleh pemerintah bersifat top-down baik dalam model kebijakan pelaksanaan maupun skema alokasi anggaran. Menjadi wajar, bila setiap pembangunan infrastruktur yang dikendalikan pemerintah pusat seringkali menemui persoalan sosial yang sangat krusia dan bahkan menuai protes berkepanjangan. Padahal, secara antropologis daerah memiliki pengalaman hidup dan eksperimentasi keilmuan yang indigeneus dalam mendesain model pembangunan infrastruktur yang ramah lingkungan dan sadar kearifan lokal.

Oleh karena itu, merespons pentingnya kesinambungan kebijakan pembangunan infrastruktur dengan dimensi kebudayaan, maka dalam pembangunan infrastruktur di Indonesia harus memperhatikan karakter budaya kita. Hal ini penting dilakukan agar pembangunan infrastruktur bertemu dalam ruang imajinasi yang sama, bahwa keberadaan infrastruktur tidak sekedar memfasilitasi kepentingan material. Akan tetapi, mengutamakan pula berdayanya masyarakat dalam mengusung laku budayanya dan nilai-nilai kearifan lokal.

Imajinasi etnografi

Dalam hal ini, melibatkan pelaku kebudayaan dan nilai-nilai kemasyarakatan, baik di wilayah struktural maupun kultural dalam pembangunan infrastruktur secara komprehensif tentulah sangat penting. Sebab, pelaku kebudayaan dan masyarakat suatu daerah memiliki imajinasi tersendiri bagaimana menentukan estetika, keyakinan lokalitas, etika jalan, dan postur wilayah yang menunjang bagi pembangunan infrastruktur yang mencerminkan karakteristik keadabaan Indonesia.

Meminjam istilah Paul Willis dalam buku “The Ethnographic Imaginaton” yang menggambarkan etnografi sebagai lubang jarum dan imajinasi adalah benang yang melalui lubang jarum tersebut, maka demikian halnya dengan infrastruktur, yaitu membangun berbagai lubang jarum yang mengaitkan anyaman berbagai sarana infrastruktur namun penuntunnya harus mengikuti bentuk benang yang harus digunakan.

Sebab, sebagaimana disadari bersama bahwa fungsi infrastruktur untuk memberikan kemudahan akses perjalanan sehari-hari setiap orang, demikian pula karakter budaya orang Indonesia yang tidak sekedar merefleksikan nilai-nilai adi luhung, tetapi karakter budaya mereka juga menegaskan laku keseharian yang terjadi di sekitar mereka. Oleh karena itu, infrastruktur yang menghubungkan laku keseharian setiap orang dalam mengakses setiap ruas jalan demi terciptanya berbagai kemudahan dalam mewujudkan kebutuhan materiel maupun immateriel mereka, seharusnya melibatkan nilai-nilai budaya masyarakat di daerah.

Artikel ini sudah dimuat di SKH. Kedaulatan Rakyat, Edisi Kamis, 17/2/2022.

Kolom Terkait

Kolom Terpopuler