Demokratisasi Halal
Oleh: Prof. Phil Al Makin (Rektor UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Dalam jangka waktu tiga dekade ini, kelas menengah Muslim di Indonesia tumbuh pesat. Peran sosial dan politik disertai dengan melonjaknya kebutuhan ekonomi masyakarat kelas menengah terus mengemuka. Pasar global dan pasar lokal bertemu, kaum Muslim sebagai produsen dan konsumen diharapkan berperan secara sehat dan adil.
Situasi pasar diuntungkan dengan meningkatnya permintaan dan adanya barang (demand and supply). Kemampuan membeli dan tuntutan barang merupakan akibat dari kondisi ini. Halal menjadi sektor tersendiri dalam pasar ekonomi.
Perlu dicatat bahwa kata halal di sini tidak hanya merujuk pada kata Arab klasik dalam istilah hukum berkait dengan ibadah (ritual) dan muamalah (aktifitas). Halal (boleh atau sah) tidak hanya lawan kata haram (tidak boleh) sebagaimana dibahas panjang lebar dalam kajian Fiqh klasik (hukum Islam) atau Hadits (sabda Nabi Muhammad SAW).
Kitab klasik seperti Safinah al-Naja, Fathul Qarib (Taqrib), Subul al-Salam, Bulugh al-Maram, Kitab Sahih Bukhari dan Muslim, memaknai halal dari segi arti klasik tadi. Halal dan haram adalah pembagian sederhana yang esensial dari hukum Islam, asal muasalnya.
Tetapi halal dalam konteks sekarang dalam kehidupan ekonomi global kini adalah produk yang berkembang di pasar dan bagaimana mengaturnya menurut landasan hukum negara dan pasar ekonomi. Arti halal sudah berkembang dan melampui makna asal, dan sudah menjadi jargon bisnis, sosial, dan bahkan politik. Halal merupakan produk dan usaha bisnis yang sudah dimodifikasi dari makna tradisional ritual Muslim. Halal adalah komodifikasi hasil kreatifitas kolektif dalam percaturan pasar bebas.
Halal yang sudah menjadi produk menghasilkan banyak profit ekonomi tampaknya perlu mendapat perhatian dari segi kebijakan dan regulasi yang lebih baik untuk mencapai keadilan dalam pasar yang lebih demokratis. Betul halal perlu diupayakan untuk perubahan prosedur, untuk menghindari monopoli dan dominasi.
Pada era Reformasi, sebagaimana juga politik yang serba terukur dan mudah dievaluasi, sertifikat halal adalah kepentingan bersama dimana semua proses harus transparan, adil, dan sesuai dengan kadiah-kaidah pemerataan. Regulasi dan peraturan tentang halal perlu tindakan afirmasi: pemerataan otoritas.
Mari kita lihat data yang ada. Dengan jumlah penduduk Muslim sebesar 267 juta mencapai 87 persen dari total penduduk Indonesia, secara ekonomi Tanah Air ini menjanjikan industri dan bisnis produk halal yang menguntungkan.
Menurut website di Kementrian Keuangan Republik Indonesia yang menyitir Global Islamic Economic Report 2020/2021 pada tahun 2019 produk halal telah dikonsumsi masyarakat kita senilai 144 milyar dolar Amerika. Itu meliputi makanan, farmasi, kosmetik, dan pariwisata.
Indonesia menempati urutan ke-enam dari seluruh negara-negara di dunia dalam konsumsi produk halal. Tidak salah lagi, Menteri Keuangan mengingatkan ini. Ketika Ibu Menteri hadir dan presentasi seminar di Fakultas Keuangan dan Bisnis Islam, UIN Sunan Kalijaga tahun lalu juga menyebut kembali potensi ini.
Dalam berbagai kajian sosial dan humaniora praktek keagamaan tidak lepas dari faktor diluar ritual seperti ekonomi, sosial, politik, dan bahkan wisata. Proses itu disebut sebagai komodifikasi. Proses itu menunjukkan adanya kreativitas dari orang-orang beriman untuk kembali memodifikasi segala sesuatu yang digunakan berupa benda-benda dan kegiatan untuk dikaitkan dengan keimanannya. Di Indonesia komodifikasi halal tentu bukan barang asing lagi.
Proses sertifikasi halal merupakan pekerjaan rumah bagi masyarakat dan negara. Pasar dalam ekonomi liberal tidak boleh terlalu dikekang. Tetapi negara masih bertanggungjawab atas regulasi. Halal merupakan produk dalam pasar, negara juga diharapkan membuat aturan dan mendistribusikan otoritas agar terjadi demokratisasi proses dan adanya produk halal.
Jika proses sertifikasi halal yang merupakan kebutuhan dipusatkan pada Lembaga tertentu, tanpa desantralisasi, bisa saja terjadi dominasi. Bahkan bisa berakibat pada monopoli pasar. Maka desentralisasi dengan menyebar otoritas pada beberapa lembaga tidak hanya di satu Lembaga merupakan proses desentralisasi yang sehat.
Maka sertifikasi halal hendaknya melibatkan demokratisasi dan desentralisasi sebagaimana juga politik selama reformasi ini. Otoritas sertifikasi halal hendaknya melibatkan cek dan keseimbangan sehingga terjadi komunikasi yang wajar dan baik.
Demokratisasi halal artinya proses sertifikasi melibatkan pihak-pihak yang lebih banyak dan luas yang mudah bisa diaudit. Otoritas juga disertai audit dan review. Proses check and balance merupakan indikasi utama dalam proses demokrasi. Halal perlu sentuhan demokrasi.
Lambang halal yang baru, menggantikan lambang lama dalam bentuk lingkaran dan tulisan Arab halal yang sederhana, diharapkan merepresentasikan desentralisasi dan demokratisasi. Lambang baru itu menyerupai gunungan wayang. Walaupun dalam huruf Arab tetapi ditulis dengan gaya semi Kufi.
Makna gunungan tentu banyak, tidak hanya merujuk pada pagelaran budaya, tetapi juga ritual-ritual kendurian, kubah masjid, dan juga candi-candi Hindu dan Buddha. Artinya bentuk gunungan merupakan bentuk yang sangat umum bisa dijumpai dalam tradisi Indonesia.
Kementrian Agama Kembali mengeluarkan kebijakan sertifikasi halal dengan otoritas pada BPJH (Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal) di tahun 2022. Jika ini berjalan lancar otoritas akan didistribusikan kepada badan halal di masing-masing Perguruan Tinggi Agama Islam dengan pembagian kerja wilayah, karena Indonesia memiliki kurang lebih 58 PTKI tersebar di seluruh provinsi di Indonesia. Tentu ini ijtihad baru dan terobosan baru demi desentralisasi dan demokratisasi halal.
Jika dibandingkan dengan negara-negara lain seperti Malaysia, Arab Saudi, Mesir, dan bahkan secular negara-negara lain, pemerintah Indonesia sewajarnya mempercepat peran negara dalam regulasi produk halal.
Negara-negara Muslim sangat ketat dalam regulasi halal. Bahkan negara sekuler seperti Perancis, Australia, dan Kanada mempunyai perhatian pada produk halal. Mayoritas Muslim di Indonesia perlu mendapat haknya dalam regulasi dan kebijakan halal yang lebih demokratis dan desentralistis.
(Artikel ini sudah dimuat di halaman RMOL.ID, 14 Maret 2022, Pukul 13.18 WIB).