Urgensi Saintifikasi Halal
Oleh Dr. Fathorrahman, S.Ag., M.Si. (Wakil Katib PWNU Yogyakarta, Wakil Dekan Kemahasiswaan dan Kerjasama Fak.Saintek UIN Sunan Kalijaga)
Seiring dengan diterbitkanya keputusan kepala Badan Penyelenggara Pengelola Jaminan Produk Halal (BPJPH) kementrian agama nomor 40 tahun 2022 tentang penetapan label halal pada tanggal 10 Februari 2022, maka otoritas pemrosesan halal mengalami desentralisasi. Lembaga Pemeriksa Halal (LPH) menjadi lembaga yang dianggap paling bertanggung jawab untuk menentukan halal tidaknya pangan, kosmetik, obata-obatan, dan lainnya. Karena, LPH diberikan kepercayaan penuh untuk melakukan pengujian dan kelayakan berdasarkan kerja keilmuannya.
Di samping itu, penguatan peran LPH sebagai ujung tombak penentuan kehalalan menjadi indikasi peralihan paradigma (shifting paradigm) kajian kehalalan yang selama ini hanya menjadi kuasa wacana kaum agamawan. Setidaknya, melalui LPH, meminjam cara pandang Irwandi Jaswir, Ahli Bioteknologi International Islamic University Malaysia, kajian kehalalan tidak lagi menekankan siapa yang paling benar atau salah. Akan tetapi, dibutuhkan uji keilmuan (experimental sciences) untuk menemukan solusi atas berbagai permasalahan kehalalan.
Oleh karena itu, ketika ilmuwan atau saintis diberikan proporsi memadai dalam mengkaji dan meneliti aspek kehalalan, setidkanya ada dua pertanyaan penting yang harus direfleksikan. Pertama, bagaimana penguatan kewenangan infrastruktur seperti laboratorium dalam melakukan uji kehalalan? Kedua, bagaimana posisi tawar dan independensi saintis dalam mendiseminasi dan mengimplementasi hasil uji kehalalan di ruang publik?
Laboratorium Halal
Untuk mengoptimalkan pengujian halal, keberadaan laboratorium halal mempunyai peranan yang sangat penting untuk menjamin integritas, keamanan, kesehatan, dan kehalalan sebuah produk. Dengan posisi yang sangat penting tersebut, seharusnya para pegiat uji kehalalan yang banyak bergulat di dunia laboratorium, menjadi kunci penentu kelayakan dan kepatutan sebuah produk yang diteliti. Apalagi, dalam proses kajian dan penelitiannya memerlukan berbagai sarana dan bahan yang mahal agar menghasilkan temuan yang lebih mumpuni dan terpercaya.
Di samping itu, laboratorium tidak sekedar representasi sebagai kerja senyap yang fokus dengan daya uji. Akan tetapi, laboratorium juga dapat direpresentasikan sebagai ruang konsolidasi keilmuan agar antar pengkaji dan peneliti memiliki persenyawaan (chemistry) yang dialektis dalam menentukan hasil uji kehalalan. Sebab, antar para pegiat uji keilmuan yang mempunyai disiplin yang berbeda bisa saling menopangi lintas perspektif yang digunakan untuk memperkaya khazanah kajian halalnya.
Dalam konteks Indonesia, tak dipungkiri bahwa hasil analisis laboratorium, seringkali dijadikan sebagai dokumen pendukung bagi keputusan fatwa. Terutama fatwa yang dikendalikan lembaga keulamaan yang selama ini menempati peran sentral. Dalam hal ini, ketika penentu fatwa memiliki nalar keilmuan yang obyektif dan cara pandang yang rasional, maka keterlibatan ulama dan pihak lain akan selaras dengan kerja keilmuan yang benar-benar ingin memastikan sebuah produk dikategorikan halal atau tidak.
Namun, sebaliknya ketika keterlibatan ulama dan pihak lain justru menggunakan cara pandang normatif yang kaku, atau bahkan cara pandang yang politis dalam menindaklanjuti hasil laboratorium, besar kemungkinan daya uji apapun yang dilakukan dilaboratorium, maka antara proses dan hasil analisisnya akan berseberangan. Padahal, dalam sebuah riwayat dielaskan bahwa “Sesungguhnya yang halal itu jelas dan yang haram itu jelas. Di antara keduanya terdapat perkara-perkara yang syubhat (samar-samar) yang tidak diketahui oleh orang banyak….”
Oleh karena itu, untuk memanifestasikan pesan hadis tersebut, diperlukan kedewasaan dan kesahajaan berbagai pihak untuk menghormati keberadaan laboratorium sebagai ruang ijtihad saintifik dalam melakukan uji halal yang tegas dan jelas sesuai prinsip-prinsip keilmuannya.
Apa yang ditegaskan dalam keputusan BPJPH di atas, dengan memberikan kewenangan penuh kepada LPH dalam melakukan uji kehalalan, terutama LPH yang dilaksanakan di berbagai Perguruan Tinggi, seperti yang terjadi di Fakultas Sains dan Teknologi UIN Sunan Kalijaga maupun lembaga riset lainnya, maka masa depan uji kehalalan secara saintifik akan selaras dengan prinsip-prinsip keilmuan dan risalah kenabian.
Indepensi saintis
Dalam kaitan ini, ilmuwan dan saintis harus mempuyai posisi tawar yang siginifikan dalam mendiseminasi dan mengimplementasi hasil uji kehalalan. Sebab, ketika hasil uji kehalalan yang sudah dilakukan melalui penelitian yang serius namun masih diintervensi oleh kuasa agamawan atau pihak lain bisa jadi, hasil kajiannya akan mengalami reduksi atau bahkan berubah.
Hal ini seperti yang terjadi dalam kasus vaksin astrazeneca yang menuai kontroversi dan penolakan dari beberapa kaum agamawan. Bahkan, di tubuh Majelis Ulama antara pusat dan daerah terjadi perbedaan fatwa (dissenting fatwa) apakah vaksin astrazeneca ini halal atau tidak. Padahal, ketika kaum ilmuwan melakukan uji laboratorium terhadap bahan astrazeneca yang digunakan sebagai salah satu penangkal virus covid-19, tentunya sudah mempertimbangkan kadar bahan yang akan digunakan.
Akan tetapi, lantaran wacana halal hanya menubuh pada satu pihak seperti agamawan, yang oleh masyarakat dianggap mempunyai otoritas yang paling layak, dan tidak mengalami proses relasi kuasa yang obyektif, maka disadari atau tidak, hasil uji kehalalan yang dilakukan para ilmuwan kadangkala mengalami ganjalan epistemologis yang kadang berakhir pada kegagalan penerapan.
Oleh karena itu, ketika pemerintah sudah melukakan desentralisasi kewenangan dalam pemrosesan kehalalan, di mana ilmuwan dan saintis mempunyai otoritas setara dengan berbagai pihak, seharusnya hasil kerja dan penelitian ilmuan harus dihargai dan didukung. Ini penting dilakukan, agar dunia kehalalan yang dewasa ini sudah menjadi kecenderungan global dan tidak hanya menjadi kuasa pengetahuan masyarakat agama tertentu, diperlukan kesadaran sistemik dari berbagai pihak, agar mematuhi hasil kerja ilmiah yang dilakukan dengan landasan obektifitas dan verifikasi keilmnuan yang memadai.
Kendati demikian, masukan dari pihak lain untuk memperkaya hasil kajian kehalalan oleh ilmuwan, tentu sangat dibutuhkan. Meskipun masukan tersebut harus dilandasi oleh argument dan dasar pemikiran yang ilmiah dan rasional.
Artikel ini telah tayang pada laman kompas.id, bagian Opini edisi 11/10/2022