Agama dan Perdamaian
Oleh : Prof. Al Makin (Rektor UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta)
Mungkin ini kabar baik. Setelah perang dunia II hingga sekarang hampir bisa dikatakan tidak ada perang skala nasional, perang saudara, atau antar negara yang hanya karena agama. Dua agama berbeda berseteru hingga terjadi peperangan rasanya tidak ada. Agama setelah Perang Dunia II bukan penyebab konflik bersenjata.
Bisa ditarik kesimpulan, bahwa konflik bersenjata skala besar dari Afghanistan, Irak, Vietnam, negara-negara Balkan sampai Ukrania saat ini bukan karena semata agama. Agama tidak berpartisipasi, atau tepatnya penyebab, dalam melepaskan peluru dan rudal.
Bahkan ketika negara-negara Asia dan Afrika melawan penjajahan Eropa tidak semata-mata karena agama. Mereka melawan penjajahan karena penderitaan. Agama memang berperan dalam pemberontakan dan perlawanan terhadap penguasa asing. Namun faktor utamanya adalah penindasan dan penguasaan tanah air.
Agama bisa jadi berperan dalam memompa semangat sebagaimana juga terjadi di Nusantara dengan istilah perang sabil di Aceh atau di Jawa, tetapi agama bukan satu-satunya, dan faktor utama dalam perang nasionalisme dan revolusi.
Agama adalah faktor kedua atau ketiga, faktor utamanya adalah penderitaan dan ketidakadilan, karena tanah, ekonomi, dan kekuasaan dipegang bangsa asing. Tema utama perang sebelum Perang Dunia II adalah pembebasan tanah dari penjajahan.
Ini mungkin kabar buruknya. Walaupun agama masih erat dipegang, mungkin di sebagian Afrika, Asia, dan Amerika Latin, agama tidak serta merta menyelesaikan konflik. Konflik tetap ada. Agama juga tetap di sana dan di sini. Agama tetap berperan dalam mengangkat sentimen kelompok dan setiap saat bisa diangkat untuk mempertajam perbedaan kepentingan. Agama bukan satu-satunya pembawa perdamaian.
Dipeluk atau tidak dipeluk, ada atau tidak ada, dipatuhi atau tidak dipatuhi, agama bagi manusia, konflik tetap berkecamuk. Ukraina jelas bukan konflik agama. Bahkan persoalan panjang tidak pernah selesai di Israel dan Palestina juga tidak semata-mata agama, dan agama juga tidak satu-satunya jalan penyelesaian.
Agama bukan satu-satunya jalan perang, juga bukan satu-satunya jalan perdamaian. Agama beririsan dan mungkin agama bersilang dengan sisi kehidupan manusia dalam konflik dan perdamaian.
Idealnya, agama mengajarkan perdamaian. Agama digunakan untuk mendamaikan manusia. Agama mengobati luka. Agama memaafkan. Agama mengajarkan persaudaraan antar manusia. Tetapi sejauhmana agama berperan masih ada faktor sosial, ekonomi, politik, dan banyak lagi. Agama salah satu saja.
Rusia dan Ukraina adalah persoalan invasi wilayah. Perebutan wilayah dan otoritas selalu memicu konflik baik dalam negeri atau antar tetangga. Tetapi seringkali di Indonesia agama dikait-kaitkan.
Beberapa kelompok mengaitkan kepahlawanan Putin dengan sentiment Kristen Orthodoks atau dengan Islam, karena salah satu kekasih Putin konon bertradisi Muslim. Faktor lain dukungan emosional ke Putin mungkin karena Putin dijadikan simbol oposisi dengan adidaya dunia, Amerika Serikat. Ada beberapa kelompok yang memanfaatkan sentiment anti-kemapanan dunia. Amerika terlalu kuat dan terlalu dominan menguasai panggung politik dunia. Amerika dianggap bertanggungjawab, atau setidaknya terlibat, dalam banyak konflik dunia.
Asumsinya, Rusia bukan satu-satunya yang menyeret konflik. Amerika banyak terlihat ada, dan mungkin berperan, dalam banyak persoalan di dunia. Rusia mungkin diharapkan sebagai satu-satunya yang bisa mengimbangi kondisi dunia yang tidak seimbang. Jelas konflik Ukraina bukan agama, bukan disebabkan agama, dan rasanya tidak adil agama masih dibawa. Kita lihat di beberapa kelompok kecil saja di Tanah Air masih memandang ini, jika ada.
Perang karena agama terbesar terjadi seribu tahun yang lalu, yang terkenal dengan Perang Salib di Timur Tengah. Citra perang Salib adalah Kristen dan Islam di Timur Tengah. Tentara Salib dan tantara Islam berprang di beberapa medan di masa pemrintahan berganti-ganti, Turki, Seljuk, Mesir, Suriah melawan tantara Frankis, yang terdiri dari Inggris, Perancis, Jerman, dan lain-lain. Mulainya mungkin dari agama, namun perkembangan selanjutnya jauh lebih rumit.
Jika ditelisik lebih lanjut tidak semua tentang Perang Salib karena agama. Ada banyak faktor seperti politik, wilayah, sosial dan ekonomi tetap mempunyai andil. Bahkan dalam beberapa episode Perang Salib antar penguasa Kristiani juga terjadi konflik. Di dalam tantara Salib terjadi dinamika. Begitu juga antar penguasa Muslim juga saling bersaing dan beraliansi dengan penguasa Kristiani. Jadi Islam lawan Kristen dalam Perang Salib juga tidak selamanya tepat.
Realistis saja, memegang faktor agama dalam konflik dan perdamaian bukan jaminan. Tetapi mungkin usaha dari para pemuka agama untuk berkomunikasi tentang perdamaian adalah usaha yang bijak. Agama bisa dijadikan alat bersama dalam berkomunikasi untuk meredam kesalahfahaman.
Agama bisa menjadi pemicu perdamaian dengan disengaja dan diatur dalam program dan proyek bersama. Salah satunya adalah dokumen Frutelli Tutti, persaudaraan antar manusia, atau ukhuwwah basyariyyah. Dokumen persaudaraan antar manusia itu hendaknya melampui umat yang beragama.
Agama tidak dijadikan dasar untuk saling mencurigai, membenci, dan bermusuhan. Agama hendaknya dijadikan alasan untuk bersahabat, bersaudara, berkawan, berteman walaupun beda agama.
Dokumen itu dideklarasikan oleh Paus Franciscus dari Vatikan dan Imam Besar al-Azhar Ahmad Tayeb. Ajakan perdamaian itu patut didukung. Jika kita perhatikan para pemuka agama di Indonesia seperti KH Ahmad Shiddiq dari Jember juga pernah menuturkan tentang ukhuwah seperti itu. Kyai Hasyim Muzadi juga pernah menyinggung ini. Hamka juga pernah membahas perdamaian dalam banyak kesempatan. Mukti Ali, Driyarkara, Mangunwijaya, Teha Sumartana, dan Munawwir Sjadzali juga aktif dalam beberapa gagasan dan proyek kerukunan antar umat beragama. Semua dalam konteks Indonesia.
Bedanya antara pemimpin Vatikan dan Azhar dengan Indonesia adalah skala yang diperbesar dan konteks yang tidak sama. Nahdlatul Ulama maupun Muhamamdiyah, bahkan Katolik, Kristen, Hindu Buddha, Konghucu di Indonesia sudah mempratekkan persaudaraan antara umat beragama di negeri ini. Sudah lama. Maka, ajakan darimanapun untuk merayakan persaudaraan dan perdamaian atas nama agama atau yang lainnya harus disambut dengan gembira. Perang bisa jadi tetap berlanjut, tapi umat beragama tidak boleh berhentik bersaudara.
Artikel ini sudah dimuat di RMOL.ID, edisi 29 Maret 2022.
Baca juga: Tarawih Spesial di UIN Sunan Kalijaga