PUDARNYA ETIKA POLITIK

Oleh : Dr. Hamdan Daulay, M.Si. M.A. (Ketua Program Magister KPI UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta).

Sungguh menarik pendapat Prof. Ahmad Syafii Ma’arif dalam buku Etika Politik (2015: 66) tentang realitas elit politik yang cenderung dengan budaya bohong dan korup. Kebohongan dan budaya korup terjadi karena hilangnya rasa malu. Ketika elit politik tidak lagi memiliki rasa malu, nilai etika pun semakin pudar. Orientasi yang ada dalam pikiran mereka hanya kekuasaan. Ketika rasa malu sudah tidak ada, kekuasaan pun diraih dan dipertahankan dengan menghalalkan segala cara. Dalam kondisi seperti ini, mata dan telinga mereka pun seolah “buta” dan “tuli”, sehingga mereka tidak peduli lagi dengan berbagai kritik yang muncul di tengah masyarakat.

Elit politik dalam mempertahankan jabatan politik, begitu lihai memainkan retorika politik dengan berbagai cara yang serba apologis untuk membela diri. Banyak pilihan kata yang dipakai elit politik dalam rangka pembelaan diri, agar mereka seolah kelihatan bersih dan membela kepentingan rakyat. Retorika politik dengan model eufemisme dalam upaya membela diri sudah biasa dilakukan elit politik. Ada politisi yang mengatakan, “tidak ada dinasti politik, karena mereka dipilih langsung oleh rakyat”, “korupsi adalah musuh bersama”mari kita berantas korupsi sampai ke akar-akarnya” dan berbagai retorika lain yang menggambarkan seolah elit politik tersebut bersih dari praktik korupsi dan dinasti politik. Namun tragisnya, banyak pejabat yang begitu semangat menyampaikan retorika anti korupsi, justru ditangkap KPK karena kasus korupsi.

Persoalan lebih lanjut dari retorika politik yang penuh kebohongan, menurut Deliar Noor (2003: 127), membuat etika politik tercerabut dari akarnya. Artinya begitu sulit mendapatkan nilai kejujuran dari ucapan dan tindakan elit politik. Mereka cenderung memakai bahasa eufemisme yang penuh kepura-puraan, dengan berbagai topeng kepalsuan. Setiap kata yang mereka ucapkan tidak lagi dipikirkan nilai kejujurannya, dan bagaimana efeknya bagi masyarakat. Lebih memprihatinkan lagi, mereka menutup mata dan telinga dari berbagai kritik yang disampaikan masyarakat yang jujur. Justru mereka mabuk dengan puja puji dari penjilat politik yang menyesatkan dengan memberi informasi yang penuh kepalsuan. Bahkan para penjilat politik ini bisa membayar lembaga survey yang mengatakan mayoritas masyarakat puas dengan kebijakan politik pemerintah.

Retorika Politik

Kalau dikaitkan dengan teori komunikasi, maka dalam komunikasi politik seorang politisi hendaknya harus bisa memahami dengan baik bagaimana pesan yang jujur harus disampaikan, dan bagaimana efek pesan tersebut bagi masyarakat. Jangan sampai karena retorika yang penuh kebohongan, membuat citra diri semakin terpuruk di tengah masyarakat. Dampak berikutnya dari retorika politik yang penuh kepalsuan dan kebohongan, akan menimbulkan kebencian dan kemarahan masyarakat.

Tokoh politik yang baik seharusnya mampu memilih pesan yang komunikatif (dengan mengutamakan kejujuran) walaupun dirasakan pahit untuk mengucapkannya. Sebab kata-kata yang jujur dari seorang tokoh/pemimpin justru sangat dihargai oleh masyarakat. Pemimpin yang secara jujur mau mengakui kesalahannya, lebih dihormati masyarakat dibanding dengan tokoh yang penuh dengan retorika kebohongan dan topeng-topeng kepalsuan.

Budaya bohong dalam komunikasi politik di tanah air menjadi semakin sulit dihindari ketika perilaku tersebut mendapat dukungan dari masyarakat. Cara pandang masyarakat yang menganggap biasa kebohongan elit politik membuat semakin subur praktik politik kebohongan dan kepalsuan. Ketika kebohongan sudah dianggap hal yang biasa, maka sangat sulit menegakan kejujuran. Bahkan kalau muncul tokoh politik yang jujur akan dianggap aneh dan akan dijadikan musuh bersama. Dalam kondisi seperti ini sulit mengharapkan civil society mampu melakukan kontrol sosial secara maksimal kepada rezim penguasa.

Dilihat dari aspek komunikator (aktor politik), Ramlan Surbakti (2007: 132) menjelaskan ada empat faktor yang mempengaruhi perilaku politik seorang aktor politik. Pertama, lingkungan sosial politik tak langsung, seperti sistem politik, sistem ekonomi, sistem budaya, dan media massa. Kedua, lingkungan sosial politik langsung yang mempengaruhi dan membentuk kepribadian aktor, seperti keluarga, agama, sekolah, dan kelompok pergaulan. Ketiga, Struktur kepribadian yang tercermin dalam sikap individu. Keempat, faktor lingkungan sosial politik langsung berupa situasi, yaitu keadaan yang mempengaruhi aktor secara langsung ketika hendak melakukan suatu kegiatan, seperti keadaan keluarga, kehadiran orang lain, suasana kelompok, dan ancaman dengan segala bentuknya.

Perilaku aktor politik saat ini tidak bisa lepas dari empat faktor tersebut, sehingga tokoh politik yang muncul belum tentu lahir dari mereka yang lebih berkualitas. Apalagi dari aspek lingkungan dan sistem politik yang muncul dengan maraknya kebohongan politik, membuat semakin sulit menemukan tokoh politik yang jujur. Padahal kejujuran politik harus bisa diaktualisasikan dengan satunya kata dengan tindakan. Kualitas seorang tokoh politik bukanlah pada kehebatannya bermain retorika yang penuh kebohongan, melainkan pada nilai kejujuran pada setiap kata yang diucapkan. Semakin jujur seorang politisi, semakin dihormati, sebaliknya semakin banyak kebohongan politisi akan dibenci dan dicaci oleh masyarakat.

Kolom Terkait

Kolom Terpopuler