Soal Panggilan Professor dan Pencantuman Gelar-Gelar Lainnya ( Al Makin Rektor UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta))
Lain ladang, lain ilalang; lain lubuk, lain ikannya. Lain adat, lain budaya. Lain tanah, lain tanamannya. Kata pepatah lama Melayu, dan rasanya tepat untuk melihat fenomena gelar Profesor dan gelar-gelar lainnya.
Di negeri-negeri bule sana, atau di Barat, seperti Amerika, Australia, Eropa, nama orang, nama panggilan, adalah hal terindah di telinga pemiliknya. Konon, Napoleon Bonarpate (1769-1821) selalu menghafal nama-nama sekelilingnya, dan menyebut nama pertamanya: Gerard, Dennis, Joseph, Jean, Anne, Maurice, dan lain-lain. Orang kuat Perancis itu bahkan menulis nama-nama penasihat, Menteri, dan para jendralnya di kartu kecil yang dibawanya untuk tidak lupa nama-nama sekitarnya. Baginya, semua terasa musik mengalun bagi yang mempunyai nama.
Sama halnya di Amerika, bahkan para presiden di sana biasa dipanggil dengan nama depan oleh teman-teman dekatnya: Bill, Ronald, John, Gerard, George, Barack, Joe, Donald, dan lain-lain. Setinggi apapun kedudukan orang, nama pertama disebut menunjukkan keakraban, kedekatan, dan kesetaraan. Menyebut nama tanpa gelar dan embel-embel Mr. atau Sir tetap sopan. Makanya, orang Indonesia yang baru belajar bahasa bule, kadang mencantumkan Sir dan Mr setiap menyebut teman bulenya. Malah kagok dan wagu.
Mertua, orangtua, paman, bahkan kakek dan nenek sudah biasa dipanggil nama pertama oleh anak, cucu, dan keponakan. Hi Hillary, what’s up? Frank, are you okey? Begitu di negeri-negeri bule.
Tetapi, tidak di Indonesia. Di hampir semua bahasa serumpun dengan Melayu dan Jawa rasanya tidak elok menyebut nama orang tanpa embel-embel di depan. Paling tidak Pak atau Bu. Ya Pak, Ya Bu, Ya Bibi. Paman, nenek, datuk, uda, guru, bang, bung, rung, brur, mang dan lain-lain. Anak kecil yang lebih muda dari kita pun dipanggil dik, tidak namanya langsung. Jika tidak bergelar minimal dilihat usia dan dipanggil: mbak, mbok, dik, adik, teh, aak, dan lain-lain. Ini soal rasa budaya saja.
Sampai era kini pun, panggilan lebih sering mengarah pada kedudukan, posisi, usia, peran, dan fungsi sosial. Nama akan hadir bagian kedua panggilan. Ya pak lurah. Inggih pak bupati. Siap pak RT. Benar pak RW. Siap laksanakan komendan. Bahkan dalam banyak kasus sudah lama pensiun pun, kedudukan akan tetap melekat setiap panggilan nama. Sudah lama tidak menjabat sebagai lurah pun, tetap dipanggil pak lurah. Oh yang itu pak lurah yang lama; sedangkan yang sono pak lurah yang baru. Begitulah kira-kira. Kalau di Barat mungkin semacam emeritus.
Gelar professor pun, dari segi sosiologis, kultural, antropologis, dan historis semacam itu. Bukan karena professor itu keren, hirarkis, feudal, atau masyarakat yang tidak setara. Ya bukan, ya iya. Memang masyarakat Indonesia, masih sangat hirarkis, berkasta, feudal, dan tidak setara. Tetapi itulah budaya. Bukan jelek atau baik, bukan benar atau salah, tetapi budaya adalah produk dan relasi sosial. Begitu kira-kira.
Sejak lama, menurut pengamatan sastrawan kesohor Pramudya Ananta Toer (1925-2006), orang Nusantara ini bisa dikatakan penyuka gelar-gelar panjang (baca: gila gelar). Coba lihat gelar ini: Sri Maharaja Sang Mapanji Jayabhaya Sri Warmeswara Madhusudana Awataranindita Suhtrisingha Parakrama Uttunggadewa. Lebih dikenal nama singkat, Jayabhaya. Ini sama dengan orang mencamtumkan gelar, Prof. Dr. drs. Kyai, haji, gus, ustaz disambung nama asli, masih plus BA, MBA, Lc dan seterusnya.
Tidak hanya dalam sosial dan professional, dalam keagamaan juga demikian adanya. Gelar kyai, haji, ustaz, romo, pendeta, pedanda, bhante, gus, datuk, tetua, dan lain-lain masih sangat umum dan lebih sebagai lanjutan penyebutan gelar-gelar lama yang sudah berabad-abad. Kursus dua sampai tiga minggu pun gelarnya dicantumkan dalam berbisnis untuk meyakinkan calon client. Sebetulnya cukup gelar terakhir dicantumkan, tetapi kurang gagah, maka semua gelar dari diploma sampai gelar professor dicantumkan. Plus gelar adat, keagamaan, sosial, dan semua yang pernah diraihnya, sebagaimana raja Jayabhaya tadi.
Pencamtuman gelar berlanjut dari era Hindu dan Buddha ke era politik Islam. Misalnya, Susuhunan Agung Hanyakrakusuma Senopati ing Ngalaga Ngabdurrahman (1613-1645). Ini gelar dari Sultan Agung. Begitu juga Diponegoro (1785-1855) masih meneruskan gelar yang berat-berat. Nama asli beliau adalah Raden Mas Muntahar. Kemudian dirubah lagi menjadi Raden Mas Antawirya. Raden dan Mas jelas gelar pangeran. Setelah berjuang dan melewati banyak rintangan dan mengukuhkan banyak hal, gelar beliau sangat panjang: Sultan Abdul Hamid Erucokro Kabirul Mukminin Sayyidin Paneteg Panatagama Kalifatu Rosulillah ing Tanah Jawa. Cukup panjang bukan?
Setelah kemerdekaan bangsa ini, bukan berarti budaya gelar ditinggalkan. Beberapa jenis energi di alam raya bisa berubah bentuk dan bertransformasi menjadi energi baru dalam menyesuaikan kondisi dan situasi. Begitu kira-kira kalau teori relativitas dalam budaya dan tradisi disusun. Pencantuman Raden, Sultan, Datuk, dan gelar-gelar yang lain mungkin tidak lagi relevan. Tetapi pemakain gelar keagamaan, akademik, sosial, dan stratifikasi politik masih relevan dan bermanfaat untuk meyakinkan yang mendengarnya.
Akankah kita memanggil nama Pak Lurah, Pak Bupati, dan Pak Gubernur dengan nama depan tanpa fungsi sosialnya? Tegakah kita memanggil nama langsung orangtua, mertua, paman, bibi, dan kakek, dan nenek kita? Jawabannya adalah soal unggah-ungguh budaya, bukan benar atau tidak.
Jika kita berpapasan dengan seorang jendral senior, tegakah kita memanggil nama depannya, tanpa fungsi sosialnya? Begitu juga jika seorang professor senior lewat di depan kita, akankah kita lewatkan gelar profesornya? (Tulisan ini sdh terbit di kompas,com pd tgl 02/8/2024)