Zaken Kabinet, Mungkinkah? (Yulianta Saputra, Dosen Prodi Ilmu Hukum FSH UIN Sunan Kalijaga)

Rencana Prabowo Subianto sebagai presiden terpilih periode 2024-2029 untuk membentuk zaken kabinet -kabinet yang diisi oleh para teknokrat di luar struktur partai politik- telah menarik atensi publik. Gagasan ini sekilas terlihat sebagai ikhtiar yang terpuji untuk meningkatkan efisiensi serta mereduksi dominasi elite partisan dalam pemerintahan.

Zaken kabinet asal mulanya berasal dari bahasa Belanda yang berarti kabinet kerja (business cabinet). Zaken kabinet itu sendiri merupakan terminologi suatu kabinet yang mana jajaran menterinya sebagian besar diisi oleh kalangan ahli dan professional non-partai.

Prinsip pertama dan utama dari zaken kabinet dapat diidentikan dengan meritrokasi, yakni bermaksud menempatkan sosok-sosok yang tepat di tempat yang tepat pula (the right man on the right place). Oleh karenanya, zaken kabinet itu, sejatinya dapat dikatakan merupakan lawan dari bentuk kabinet koalisi.

Kalau kabinet koalisi hakikatnya adalah sebuah kabinet yang orang-orangnya diisi oleh sejumlah sosok-sosok titipan dari partai koalisi, maka zaken kabinet tentu tidaklah demikian. Adapun fungsi dan tujuan dari zaken kabinet dimaksudkan guna menghindari terjadinya malfungsi kabinet, menjauhkan diri dari terjadinya praktik korupsi di kabinet, dan memaksimalkan kinerja para menteri anggota kabinet.

Tuntutan pembentukan zaken kabinet sesungguhnya wajar belaka. Terlebih apabila mengingati bahwa bentuk zaken kabinet tersebut sejatinya bukan barang baru di negeri ini. Bangsa ini sudah punya pengalaman tatkala era pemerintahan Orde Lama di bawah kepemimpinan Presiden Soekarno.

Dalam catatan histori, kabinet ini tepatnya pernah muncul antara medio tahun 1957 hingga 1959, pasca-negara mengalami beberapa ketidakstabilan. Kabinet itu adalah kabinet Djuanda dan notabene menjadi zaken kabinet yang memiliki masa jabatan dari 9 April 1957 sampai dengan 5 Juli 1959.

Kabinet Djuanda ini mempunyai program kerja yang simpel walakin efektif dalam menjaga kestabilan negara. Kabinet ini punya lima Program dalam kerjanya, lima program kerja tersebut disebut dengan pancakarya. Adapun kelima program kerja tersebut ialah membentuk Dewan Nasional, normalisasi Keadaan Republik Indonesia, melanjutkan Pembatalan Konferensi Meja Bundar (KMB), perjuangan Irian Barat dan mempergiat Pembangunan.

Beberapa menteri ahli dalam zaken kabinet bentukan Djuanda, misalnya seperti menteri perdagangan Soenarjo yang kompeten dalam bidang ekonomi perdagangan, menteri sosial Johannes Leimena nan mumpuni dalam bidang gerakan sosial, menteri pendidikan Prijono yang kapabel dalam pendidikan ataupun menteri negara A.M Hanafi nan amat lihai dalam lobi-lobi internasional.

Namun demikan, sayangnya tatkala Soekarno mengeluarkan dekrit Presiden, kabinet zaken bentukan Djuanda bubar. Ihwal ini lantaran kabinet Djuanda dibentuk dengan Undang-Undang Dasar Sementara (UUDS) 1950. Dengan berlakunya Sistem Pemerintahan dan Demokrasi yang baru di Indonesia, yakni demokrasi terpimpinnya Soekarno, maka bubarlah pula kabinet Djuanda yang jua notabene menandai berakhirya sistem demokrasi parlementer di Indonesia.

Membangun sebuah zaken kabinet dengan prinsip meritokrasi murni dalam lanskap politik Indonesia kontemporer naga-naganya amat muskil direalisasikan. Musababnya, sistem multipartai di parlemen serta konfigurasi koalisi yang ada menuntut konsekuensi keterlibatan kader parpol koalisi dalam pemerintahan.

Di samping itu pula, ada kekhawatiran bahwa zaken kabinet menjadikan kesukaran untuk mendapatkan dukungan politik dari DPR yang didominasi oleh partai-partai politik. Sistem demokrasi Indonesia nan berbasis pada koalisi partai politik membuat kabinet non-partisan menghadapi tantangan dalam ihwal dukungan legislatif.

Zaken kabinet lebih gampangnya hanya bisa dibangun dalam sistem presidensial tanpa multipartai, seperti masa Orde Baru di mana hanya ada "single majority" Golkar dalam pemerintahan. Itu pun bukan zaken kabinet murni karena konstan saja para teknokrat profesional yang direkrut ke kabinet harus 'berlebel' Golkar.

Presiden yang didukung mayoritas tunggal akan leluasa menentukan susunan kabinet tanpa harus memusingkan perwakilan parpol koalisi. Menteri yang dipilih benar-benar mewakili kaum profesional non-parpol koalisi, mereka menduduki kursi menteri atas prestasi di bidangnya masing-masing, bukan atas kompensasi politik tertentu.

Jika Prabowo menghendaki kabinet yang seperti ini, di masa multipartai seperti sekarang, maka tentunya amat dibutuhkan mitra-mitra koalisi yang sungguh-sungguh taat, tunduk bahkan pasrah terhadap ‘otokrasi’ ala Prabowo.

Ada beberapa kritik tajam yang perlu dibahas terkait efektivitas dan kesinambungan konsep zaken kabinet dalam konteks politik Indonesia yang unik. Dalam konteks demokrasi, partai politik memainkan peran sentral sebagai jembatan antara kehendak rakyat dan kebijakan pemerintah. Mereka memberikan wadah bagi aspirasi masyarakat serta memastikan bahwa pemerintahan tetap akuntabel terhadap kepentingan publik. Dengan meminggirkan peran partai dalam pembentukan kabinet, zaken kabinet berpotensi melemahkan mekanisme representasi ini.

Sedangkan dalam demokrasi yang sehat, proses politik tidak bisa sepenuhnya didominasi oleh teknokrasi. Ia konstan membutuhkan elemen representasi yang kuat untuk memastikan bahwa kepentingan rakyat dari berbagai latar belakang sosial tetap terwakili.

Salah satu premis utama zaken kabinet adalah mengandalkan keahlian teknis untuk menghadapi tantangan kompleks dalam birokrasi pemerintahan. Akan tetapi, ada dilema lainnya yang kerap mencuat dalam teknokrasi, yakni ketidakmampuan teknokrat untuk beroperasi dalam konteks politik yang dinamis.

Padahal, sebagaimana dimafhumi bersama, pemerintahan bukanlah sekadar soal efisiensi, walakin jua tentang bagaimana kebijakan dibuat dan diterima oleh masyarakat. Profesionalisme yang terpisah dari sensitivitas politik acapkali kandas memahami kebutuhan dan tuntutan rakyat yang beragam, serta berisiko pada munculnya ketidakstabilan pergerakan rakyat dan bahkan dapat berisiko pada revolusi.

Sebagai amsal, kebijakan ekonomi yang terlalu berorientasi pada stabilitas makro, walakin mengabaikan dampak terhadap kelompok masyarakat miskin. .

Di Indonesia sendiri, sistem politik multipartai menghasilkan koalisi yang kompleks. Saban pemerintahan harus bergantung pada dukungan parlemen untuk menjalankan agenda-agenda penting. Dalam kasus zaken kabinet, partai politik yang merasa tersisih dari pengambilan keputusan mungkin akan lebih cenderung mengambil sikap oposisi yang keras di parlemen. Ini bisa berujung pada kebuntuan politik yang akan menyulitkan pemerintah dalam menjalankan agenda-agendanya.

Sebagai perbandingan, sistem zaken kabinet di beberapa negara Eropa, seperti Belanda, hanya berjalan efektif karena adanya kultur politik yang matang serta kesepahaman antara partai politik dan profesional. Atas kausa tersebut, sejatinya rencana zaken kabinet Prabowo Subianto yang menawarkan janji pemerintahan lebih profesional, niscaya ada risiko besar menyertainya.

Kendati begitu, membentuk kabinet merupakan hak prerogatif presiden. Dialah yang paling mafhum siapa yang pantas menjadi pembantu-pembantunya untuk melayani rakyat. Atas kausa tersebut, diharapkan tidak ada tekanan dalam konfigurasi apapun dan oleh siapapun termasuk dari partai-partai anggota koalisi.

Diinsyafi bahwa cita-cita pembentukan zaken Kabinet bukanlah sebuah ide untuk menyingkirkan peran parpol dalam pemerintahan. Parpol sebagai salah satu pilar nan krusial dalam sistem demokrasi modern tetaplah wajib secara aktif dan partisipatif dalam mengurus negara.

Jua disadari bahwasanya zaken kabinet jika berjalan hakulyakin akan lebih pro kepada rakyat Indonesia ketimbang kabinet berbasis kepentingan partai semata.

Bagaimanapun zaken kabinet ialah keniscayaan jika sebuah pemerintahan hendak mengelola negara secara maksimal. Penulis hakulyakin, zaken kabinet, jika berhasil kapabel mendorong Indonesia ke arah nan lebih progresif dan jua profesional dalam berbagai aspek pembangunan. (Artikel ini sebelumnya sudah dimuat di Surat Kabar “Solopos, edisi Jumat, 11 Oktober 2024 halaman 2)

Kolom Terpopuler