Orasi Ilmiah Rektor Pada Dies Ke-69 UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Yang terhormat, Ketua dan Sekretaris Sidang Senat Terbuka, Para Anggota Senat, Para Wakil Rektor, Dekan, Direktur Pascasarjana, Kabiro, Tendik, dosen, mahasiswa semua unsur.
UIN Sunan Kalijaga untuk bangsa, UIN Sunan Kalijaga mendunia
Saya ucapkan terimakasih, semua ucapan, semua doa, harapan untuk UIN Sunan Kalijaga lewat medsos, wa grup, langsung, atau media lainnya. Terimakasih. Saya bersyukur. Luar biasa. Kita harus bersyukur. Wajib disyukuri.
Semoga kita semua selamat, aman terhindar dari semua bala’ dan penyakit. Dunia aman, manusia aman, alam seisinya ramah.
Saya yakin lebih banyak lagi doa yang tidak tercantum, tapi saya ingin mengucapkan terimakasih pada baliho dan karangan bunga sebagai berikut (maaf jika ada yang terlewat):
- Wapres RI, KH Prof. Ma’ruf Amin.
- Menko Polhukam, Prof. Mahfud MD
- Dr. HC. Hj. Megawati
- Ketua BPIP Prof. K H. Yudian Wahyudi
- Wakil Ketua DPRRI, Dr (hc) A. Muhaimin Iskandar
- Menteri Desa Transportasi, A. Halim Iskandar
- Gubernur Jatim Khofifah IP.
- Gubernur DKI. Anies Baswedan, Ph.D
- Dubes SA dan OKI, Dr. KH Agus Maftuh
- Dubes Ny. Hj. Safira Machrusah
- Sekjen Kemenag Prof. Dr. Nizar
- Dir. PD Pontren, Dr. Waryono
- Kakanwil Kemenag Sulawesi Selatan, Dr. Khoironi
- Ikasuka Kab. Tanggamus Lampung, H. Am. Syafi'I, Mag.
- Ketua Umum PBNU, Prof. Dr. KH A. Said Aqil Siradj
- Sekjen PBNU, KH Dr. A. Helmi Faisal
- KAFADA. Ikasuka FDK
- IKFA. Ikasuka FADIB
- Badan Wakaf Indonesia
- Ikasuka Kab. Purworejo
- Ikasuka Prop. NTB. Bpk. Fauzan Kholid
- Ikasuka Jawa Tengah
- Ikasuka Jawa Timur
- Ikasuka Sumut
- BMI Bekasi
- Bank Mandiri
- Bank BPD
- KIJ PSW UIN Suka
- Rektor dan Civ. Akad. IAIN Cirebon
- Dr. Nihayatul Wafiroh, FPKB DPR RI
- H. Ardi Seman, DPRD Sleman
- H. Umi Zahrok, FPKB DPRD Jatim
- Sahlan Masduki, Asisten Deputi Pendidikan Keagamaan Menko PMK
- Interclean, Rekanan Cleaning Service.
- Rektor UIN Lampung/Ketua Ikasuka Prop. Lampung. Prof. Dr. Mukri
- Warek I UIN Maliki Malang, Prof. Dr. Zainudin
- Syaiful Bahri Anshori, MA. Ketum Ikasuka
- Nur Nadhifah, FPKB DPRRI
- Dr. Ruhaini Dzuhayatin Ahli Utama KSP
- A. Anfasul Marom, Fotoing
- Warek 1 UIN Mataram, Prof. Masnun Tahir
- Bupati Sleman, Sri Purnomo
Sukarno Presiden pertama RI pada Dies IAIN Sunan Kalijaga yang ke-5, tertanggal 16 Juni 1965 mengatakan seperti ini:
Kesyukuran saja itu menjadi bertambah besar lagi, karena saja merasa, bahwa saja – baik selaku Presiden/Pemimpin Besar maupun selaku pribadi – mempunjai hubungan jang erat sekali dengan I.A.I.N., bahkan saja merasa bangga dan bersjukur bahwa saja termasuk salah seorang kerabat I.A.I.N dan berhutang budi kepadanja.[1]
Jelas sekali pada kata-kata ini bahwa Sukarno merasa dekat dan bahkan berhutang budi. Perlu ditelisik lebih lanjut bagaimana hutang budi itu. Saya kira karena peran IAIN menghubungkan antar kelompok dan organisasi dalam Islam, terutama misalnya antara NU dan Muhammadiyah. Islam Indonesia banyak interpretasi dan kelompoknya, IAIN diharapkan mampu menjadi tali silaturahim. Banyak kepentingan dan banyak keinginan, IAIN harus mampu menjadi wadah bersama, saling rangkul, saling memahami, saling mengangkat. Mungkin, bisa jadi Sukarno juga merasa bahwa persatuan nasionalisme, patriotisme dan agama ada di IAIN. Cinta negara dan menjaga tradisi keagamaan ada pada kampus ini.
Saya teringat guru saya Prof. Baroroh Baried pengajar kuliah Orientalisme, yang mengenalkan saya kritik terhadap akadamik Barat oleh Edward Said, dan mengaitkan dengan banyak sosok Snouck Horgrounje, Theodor Noldeke, Richard Bell, dan bahkan beliau dengan fasihnya ucapkan judul-judul buku dalam Bahasa Belanda, Perancis, Jerman, apalagi Inggris. Konon, yang menemui Sukarno di IAIN adalah Ibu Baroroh Baried. Begitu teringat Sukarno ke IAIN teringat pula Ibu Baroroh Baried. Al-Fatihah untuk beliau.
Kembali pada harapan Sukarno:
Saja turut mendo’akan, bahkan mengandjurkan, agar I.A.I.N. terus ditumbuhkan dan diperkembang, dan sesuai dengan tingkat pembangunan semesta kita, I.A.I.N. harus tumbuh dan berkembang diseluruh Nusantara kita, agar dengan demikian pula ditiap-tiap Daerah Tingkat 1 harus ada satu I.A.I.N. [2]
Kutipan ini menerangkan peran kampus tertua yang menjadi inspirasi daerah-daerah dan propinsi-propinsi lain. Bahwa IAIN Sunan Kalijaga adalah nenek moyang dari semua PTKI. Ini merupakan beban moral dan juga sekaligus modal dasar kita untuk berkembang.
Ketika saya pertama kali ke Gorontalo, tahun 2012, saya disambut luar biasa. Mereka semua mengingat peran Prof. Iskandar Zulkarnain. Gubernur, Sekda, para pejabat propinsi, kabupaten, apalagi pejabat IAIN Sultan Amai Gorontalo. Semua adalah murid-murid dan punya ikatan kuat dengan kampus kita UIN Sunan Kalijaga. Mereka menyambut saya karena saya adalah murid dari Prof. Iskandar. Mereka merasa saya adalah penerusnya.
Saya tanpa ragu memberi ceramah berkali-kali. Dan seperti langganan, setiap ada acara baik bedah buku baru saya, atau worksop peningkatan kapasitas di IAIN saya selalu hadir. Bahkan saya selaku Ketua LP2M telah mengirim KKN ke Gorontalo Utara, Wakil Bupatinya Thoriq Modanggu masih berstatus mahasiswa S3 UIN kita tercinta.
Ketika saya ke Lampung berjumpa dengan Prof. Mukri dan banyak kawan pejabat dan dosen tentu mereka senang sekali. Prof. Yudian Wahyudi yang menjadi Kepala BPIP saat ini disambut sebagai guru mereka. Luar biasa. Saya sudah keliling nusantara dan rata-rata saya gunakan kata kunci, passwords, UIN Sunan Kaljaga. Mereka menyambut dengan penuh persahabatan. UIN kita layak untuk itu, dan kita harus menjaganya.
Di Aceh juga sama. Ada murid Prof. Minhaji di sana, KBA, atau Kamaruzzaman Bustaman Ahmad. Di seluruh propinsi Nusantara ini, kata Amin Abdullah dan integrasi dan interkoneksi, menjadi buah bibir dan standar. Karya intelektual ini bahkan menjadi ukuran di Kementerian Agama, siapapun yang menjabat di sana. Tidak bisa kita melupakan kata kunci: bayani, irfani, burhani. Tidak bisakita melupakan historisitas dan normatifitas. Kita juga familiar dengan profan dan sacral.
Sukarno melanjutkan:
Apa sebab saja mengandjurkan demikian? Karena I.A.I.N adalah salah satu alat Revolusi, salah satu alat Nation & Character building kita. Bahkan alat atau dapur untuk melahirkan putera-puteri Indonesia jang mempunjai ketjintaan dan pengabdian tertinggi kepada Tuhan Jang Maha Esa, kepada Ibu-Bapak, kepada Tanah Air dan Bangsa, dan kepada tjita-tjita Revolusi kita.[3]
Inilah sanad UIN Sunan Kalijaga untuk bangsa dalam tagline kita. Sudah diucapkan Sukarno.
Lalu UIN mendunia juga sudah diprediksi Sukarno sebagai berikut:
Tugas kita bersama pada waktu ini ialah mendjadikan Indonesia mertju-suar paling tinggi didunia, mertju-suarnja Amanat Penderitaan Ummat, mertju suarnja peradaban ummat manusia jang tertinggi, djuga mertju-suarnja Ummat Islam diseluruh dunia.[4]
Jadi tagline kita UIN Sunan Kalijaga untuk bangsa dan UIN Sunan Kalijaga mendunia mendapatkan legitimasi dari pidato Bung Karno sendiri Ketika HUT IAIN yang ke lima.
Saatnya kita gali dan kita sebarkan spirit UIN Sunan Kalijaga, tapi jangan lupa konsolidasi di dalam.
Di dalam kita harus solid. Saling mendukung. Saling bekerjasama. Saling mengangkat. Saling memahami. Saling mengalah. Bukan saling menjatuhkan. Bukan saling mencari kelemahan dan celah untuk menjatuhkan. Lupakan itu. Itu bukan tradisi UIN Sunan Kalijaga.
Tradisi kita adalah saling memaklumi. Saling mengalah demi teman dan demi stabilitas politik dan stabilitas akademik. Akademik akan lancar, jika 4 tahun ke depan kita semua berkomitmen untuk menjaga stabilitas politik. Kita semua, semua unsur, semua dosen, semua tendik, semua mahasiswa, tidak hanya Rektor, Warek, Dekan, Direktur Pascasarjana tapi semua elemen.
Ingat kampus kita adalah modal dasar kita untuk maju. Mari saling mencari kelebihan, mencari kekuatan kita masing-masing lalu kita berinovasi apa yang bisa kita sumbangkan. Bukan mencari kelemahan dan kesalahan orang lain. Tetapi mencari kelebihan. Mencari bakat masing-masing. Mencari peran masing-masing. Mana yang mungkin. Mari saling dukung. Bukankah itu yang dilakukan Sunan Kalijaga dahulu kala.
Mari kita kembali pada Sunan Kalijaga, nama kita. Nama itu mistis dan sekaligus banyak mitos. Dalam buku saya Keragaman dan Perbedaan (236-242) saya terangkan begini. Kalijaga atau Kaliyuga merujuk pada zaman kali, yaitu perubahan dan akomodasi, dari unsur India ke unsur Timur Tengah, dari Hindu-Buddha ke Islam.
Dalam buku itu saya terangkan juga bahwa, zaman Kali sudah disebut dalam Negarakertagama 43: 1
Menurut kabaran sastra raja Pandawa memerintah sejak zaman Dwapara
Tahun saka Lembu gunung indu tiga (3179) beliau pulang ke Buddhaloka
Sepeninggalnya datang zaman Kali, dunia murka, timbul hura-hara
Hanya Bhatara raja yang faham dalam nam guna, dapat menjaga jata (Muljana 2006, 367)
Negarakertagama juga menyebut lagi di 44; 1:
Tatkala Sri Baginda Kertanegara pulang ke Budhabuana
Merata takut, duka huru hara, laksana zaman Kali kembali
Raja bawahan bernama Jayakatwang berwatak terlalu jahat
Berkhianat, karena ingin berkuasa di wilayah Kediri (Muljana 2006, 368)
Tepatnya peralihan yang halus dan akomodatif dalam kasus Kaliyuga. Bukan perubahan mendadak. Tentu perang tetap ada dan sejarah mencatatnya pula.
Lihat unsur masjid di Kota Gedhe Mataram dan Demak menawarkan tiga atap bersusun menandakan adanya unsur syariah, makrifah, hakekat. Unsur ini juga bisa ditafsirkan sebagai bhurloka, bhuwarloka, dan swarloka dalam Hindu. Atau dalam Buddha, kamadhatu, rupadhatu, arupadadhatu. Begitu juga gawangan, gapura, penuh dengan ukiran-ukiran sebelum Islam. Lihat juga masjid Kudus yang rapi menyimpan bentuk pura.
Ketokohan dan kepahlawanan Kalijaga atau Kaliyuga mengulang, repetisi, kepahlawanan dan keelokan cerita lama dalam relief Candi Borobudur, Gandavyuha, Mahayana Trantrayana Buddhisme. Kisah Sudana mencari kalyanamitra, atau kalyanamitata. Dengan bimbingan Manjusri ia menemui teman-teman atau sahabat baik, membawanyanya ke Boddhisattwa Samantabhadra.
Kisah ini diulang lagi dalam kepahlawanan Sutasoma, kitab klasik Majapahit, dengan penuh adegan dan drama. Bak cerita Gautama dalam Avadana dan Lalitavistara.
Kisah kependekaran, kenakalan dan akhirnya bertobat. Itulah Kisah Sunan Kalijaga. Perampok yang menjadi wali.
Dalam kitab Pararaton juga begitu, Ken Arok dibesarkan perampok dan akhirnya menjadi raja. Bahkan perannya diabadikan sebagai nenek moyang Singasari dan Majapahit. Begitu juga dalam kisah Dewaruci, Bima berjuang untuk tirta, atau air suci atas bimbingan Durna. Guru itu awalnya akan mencelakakan, namun sang Bima menjalani semua cobaan. Akhirnya sang Durna bisa masuk dalam diri sendiri, Dewa Ruci dan mencari pencerahan.
Pertapaan dan pertobatan Sunan Kalijaga, atau Kaliyuga tentu masih menyimpang tradisi tua sebelumnya yang diseralaskan. Kepahlawanan kuno hadir Kembali. Bonang bisa dilihat sebagai Manjusri mencari kesucian dan pencerahan.
Dalam susunan peta kota kabupaten-kabupaten di Jawa, unsur beringin masih utuh. Bahkan itu juga masih diilhat di Yogyakarta dan kerajaan lain. Beringin adalah pohon suci. Dalam candi banyak digambarkan pohon bersulur-sulur yang dijaga burung Kinara dan Kinnari.
Raden Sahid yang menjadi Sunan Kalijaga tentu berguru pada Bonang, ini mempunyai perpadanan dalam kisah Sudana yang menemukan Manjusri. Juga Ken Arok yang bertobat. Atau Sutasoma atau Gautama yang menemukan pencerahan. Cerita selalu berulang dalam banyak sejarah dan mitologi penuh makna dan pelajaran bagi manusia.
Dalam serat Babad Demak disebutkan, bahwa Raden Sahid atau Kalijaga bertemu dengan Yudhistira, tokoh mahligai pewayangan Jawa India. Sang tokoh tidak mau meninggal. Sunan akhirnya memberi jimat kalimasada. Kalimat sahadat. Inilah makna akomodasi unsur wayang dalam keislaman, sebuah narasi keselarasan, harmoni seperti Yin dan Yang dalam Taoisme.
Demak merupakan transformasi dari Majapahit, yang merupakan unsur-unsur sebelumnya dijadikan unsur baru keislaman. Tetapi penuh dengan akomodasi.
Dalam tradisi popular Sunan Kaljaga dianggap mengarang gundul-gundul pacul, ilir-ilir, dan kidung rumekso ing wengi. Bahasa dari ketiganya berbeda. Gundul-gundul pacul lebih pada dolanan dan kekinian. Ilir-ilir juga mudah difahami. Sedangkan kidung rumekso ing wengi lebih klasik. Tentu dalam ilmu sejarah perlu testemoni naskah asli, atau manuskrip zamannya. Nusantara terkenal kurang menjaga ini. Otentisitas dari karya-karya itu tentu masih perlu bukti yang lebih nyata.
Kalijaga adalah salah satu dari wali sanga atau sembilan. Bisa jadi sangha unsur lain, bukan sanga sembilan. Sangha dalam arti dewan, dalam tradisi Buddha. Sangha hadir dalam kerajaan di Jawa tempo dulu. Begitu juga kehadiran Sunan Kalijaga yang tembus waktu dan zaman banyak unsur mitologinya: Demak, Pajang, Cirebon dan Mataram. Keempat kerajaan yang berlainan ruang dan waktu.
Tidak penting kita berdebat apakah Sunan Kalijaga nyata atau tidak, mitos atau tidak, karangan atau tidak, sekedar cerita atau tidak. Apakah ia benar-benar mengarang kidung, ilir-ilir, gundul-gundul pacul atau orang setelahnya mencari legitimasi kebesarannya. Yang penting mari kita amati kidung yang sudah saya baca dalam video tersebut, kita ambil pelajaran darinya.
Pagupakaning warak sakalir,
nadyan arka myang segara asat,
temahan rahayu kabeh,
apan sarira ayu,
ingideran mring widadari,
rineksa malaikat,
sakathahing rasul,
pan dadi sarira tunggal,
ati Adam uteku Baginda Esis,
pangucapku ya Musa.
Napasingun Nabi Isa luwih,
Nabi Yakub pamiyarsaningwang,
Yusuf ing rupaku mangke,
Nabi Dawud swaraku,
Hyang Suleman kasekten mami,
Ibrahim nyawaningwang,
Idris ing rambutku,
Bagenda Ali kulitingwang,
Abu Bakar getih daging Umar singgih,
balung Bagenda Usman.
Sahabat kita Dr. Fakhruddin Faiz dosen Filsafat Ushuluddin dalam video Youtube Masjid Jenderal Sudirman memberi tafsir yang menarik. Sunan Kalijaga dalam kidung itu menarik perhatian keutamaan para nabi. Adam adalah penghuni surga, turun ke bumi, kita tiru hatinya. Sis adalah pengembang ilmu pengetahuan. Nafas adalah Ruh, atau itulah awal mula Yesus, atau logos atau kalam Tuhan. Yusuf tentu rupawan kita harapakan kita seperti itu. Sulaiman mempunyai mukjizat bisaberbicara dengan burung dan hewan-hewan, itu kesaktian. Dan lain-lain. Keutamaan para nabi dan sahabat disebut, dengan harapan kita mewarisi keutamaannya.
2500 tahun lalu Marcus Arealius, kaisar Romawi kuno, kaisar terakhir dari lima kasiar Besar Romawi, penganut faham Stoicisme, juga sama, menyebut orang-orang sekitarnya, untuk mengambil keutamaan dari para guru.
Saya sendiri akan mencoba mereka kidung tentang keutamaan para rektor dan tokoh sebelum saya. Saya beri judul kidung rumekso ing kampus.
Ing kelap-kelaping langit, gonjang-ganjinging bawana,
Cuilanipun kito Yogya, inggih meniko dusun Sapen,
Griyo para waskito, para resi saking sakatahinng tlatah Nuswantara
Cinarito ingsung saking Aceh Muin Umar
Adab asor begawanpit-pitan inggih Simuh
Bimo Werkudoro kadoso Atho Mudzar
Manah jembar linuwihinggih Amin Abdullah
Mukti rezeki Musa Asyarie
Percoyo awakiro inggih Minhaji
Tegesipun waskito meniko Machasin
Gatotkoco otot kawat balung wesi, Yudian Wahyudi
Kyai nrimo manahprasojomenika Sahiron
Para waskita tepa slira agungipun Mukti Ali
Para yiswa maosseratan Hasby Ash-Shiddiqiey
Para resi kahyangan ingkang linuwih, mboten saged kasebat sedoyo, pengestinipun
Kaca brenggolo ingsun samia hayengkuwung
Samia sedoyo handerbeni, tulung tinulung sedaya
UIN Sunan Kalijaga kangge bangsa,
UIN Sunan Kalijagahambawana
Oleh :Rektor UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Prof. Dr.Phil. Al Makin, M.A.
[1]Lihat: https://museum.or.id/amanat-penderitaan-rakjat/?fbclid=IwAR3Q9OglMVHTFlOkJSJpKnR_QTtlj7zgFqBcJ7cDIEHEW_cpnA3lgEYEOFo. Terima kasih Dr. Moch Nur Ichwan atas diingatkannya pada link ini.
[2]Lihat: https://museum.or.id/amanat-penderitaan-rakjat/?fbclid=IwAR3Q9OglMVHTFlOkJSJpKnR_QTtlj7zgFqBcJ7cDIEHEW_cpnA3lgEYEOFo