Penarikan RUU Pemilu dari Prolegnas

Oleh: Gugun El Guyanie SH., LL.M Dosen Hukum Tata Negara/ Sekprodi HTN UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Sikap pemerintah yang membatalkan pembahasan RUU Pemilu, atau penarikan dari Prolegnas 2020-2024, menunjukkan bahwa pemerintah tidak serius membenasi sistem kepemiluan.

Pemerintah melalui Menkumham menyebut belum urgent untuk membahas RUU Pemilu. Padahal, ada banyak hal yang bisa dibenahi melalui RUU Pemilu.

Pertama, tentang kepastian hukum Pemilu serentak. Jika mengacu UU 7/2017, maka sangat tidak logis, dalam satu tahun ada Pemilu nasional dan enam bulan berikutnya pemilu lokal atau Pilkada. Ini akan mengancam kualitas demokrasi, keselamatan nyawa para penyelenggara, potensi benturan tahapan pemilu yang bisa melahirkan kecurangan.

Kedua, soal ambang batas pencalonan presiden (presidential Threshold), yang masih melanggengkan oligarki. Tanpa RUU Pemilu, ambang batas pencalonan presiden sangat menutup kesempatan generasi bangsa untuk tampil di panggung kepemimpinan politik nasional. Selain itu juga mencederai prinsip-prinsip Pemilu demokratis, yang menghambat prinsip kesetaraan dalam hak-hak untuk dipilih.

Ketiga, penarikan RUU Pemilu menunjukkan pemerintah dan DPR tidak memiliki arah politik hukum kepemiluan yang visioner. Semua UU pemilu dan turunannya, bersifat pragmatis jangka pendek. Tidak menjangkau arah politik hukum ius constituendum. Kepentingan sektoral partai politik yang dibajak kaum oligark, membuat politik hukum kepemiluan tak relevan dengan dinamika demokrasi Indonesia.

*Dimuat di laman republika.co.id, Rabu, 10 Maret 2021

Kolom Terkait

Kolom Terpopuler