Hikmah Ramadhan

Oleh : Prof. Dr .Phil. Al Makin.S.Ag., MA (Rektor UIN Sunan kalijaga Yogyakarta

Puasa kali ini sudah kedua kalinya dalam suasana yang sama, menghadapi covid-19. Suanana tidak senyaman ketika tidak ada bencana menular. Kehati-hatian dan kecemasan menghampiri siapapun. Tahun lalu kita sudah mempunyai pengalaman, berpuasa dalam suasana menahan diri, tidak berkerumun, tidak berjamaah secara ketat, tetapi menta’ti protokol Kesehatan. Kita harus menjaga jarak, memakai masker, dan mencuci tangan dengan cairan yang mengandung alcohol atau hand-sanitizer.

Begitulah puasa ini harus benar-benar belajar menahan diri, tidak hanya memegang makna simbolik tidak makan dan tidak minum. Itu hanyalah dasar dan berpuasa secara zahiriyah. Itu pelajaran pertama sebagai Muslim, menahan dari fajar hingga Magrib, untuk mentaati aturan, dan menahan lapar dan dahaga. Tetapi puasa dalam suasana covid-19 sesungguhnya mempunyai makna lebih dalam lagi: bagaimana puasa ini juga menguji kesabaran, daya tahan, dan ketaatan pada protokol kesehatan.

Puasa di Ramadan ini harus lebih dalam lagi ummat Islam untuk merenungkan diri dan mengingat-ingat relasi kita dengan alam semesta. Alam semesta itu nyata di sekitar kita, dalam diri kita, mengitari kita, bahkan manusia adalah bagian dari alam semesta. Meskipun Al-Quran menyebut manusia sebagai khalifah di bumi ini (Al-Baqarah ayat 30), bahwa Allah menjadikan manusia sebagai khalifah, tampaknya kita yang perpuasa tahun lalu dan tahun ini harus berfikir ulang makna dari tugas khalifah ini. Khalifah tidak hanya semata menguasai bumi, tidak semata mengatur alam, tidak juga hanya menyangkut kewenangan, pengelolaan, dan pemanfaatan alam. Tetapi khalifah di bumi adalah tanggungjawab manusia yang perlu direnungkan lagi. Peran ini sangat penting, karena hanya manusia yang bisa berperan sebagai khalifah. Hewan lain tidak diberi tugas dan amanah ini. Hanya manusia yang disebut sebagai khalifah. Apa maknanya?

Manusia adalah bagian dari alam ini, bukan semata-mata penguasanya. Unsur darah kita mengandung unsur zat yang sama dengan ledakan bintang milyaran tahun yang lalu saat big bang/ledakan besar. Unsur tulang kita sama dengan protein yang ada di alam ini, tulang sesama hewan, rambut, gading gajah, tanduk kerbau, dan bahkan bebatauan di alam liar atau unsur-unsur di planet lain yang jumlahnya milyaran hanya di galaksi Bima Sakti kita.

Manusia mengandung unsur alam. Alam ada di tubuh kita, di darah, tulang, dan semua zat-zat alam memenuhi tubuh kita. Alam adalah tempat, juga sekaligus unsur pembentuk manusia. Bahkan Perjanjian Lama dan juga dalam Al-Quran menyebut manusia terbentuk dari tanah (Surah Al-Mukminum ayat 12). Ini artinya kedudukan manusia sama dengan hewan, tumbuhan, bintang, planet, tidak lebih dan kurang. Manusia hanylah unsur alam. Namun tugas tambahannya yang menjadikan kita berat, yaitu menjadi khalifah.

Di Ramadan ini kita harus merenung lebih dalam lagi, relasi kita dengan alam. Kita bukan penguasanya, yang bisa sewenang-wenang. Covid-19 merupakan bukti bahwa alam juga bisa marah pada kita. Virus yang seharusnya di kelawar menyebar menyerang manusia. Kita harus panik dalam hal Kesehatan, ekonomi, politik, social, dan psikologis. Manusia tak berdaya menghadapi amukan alam.

Indonesia terletak dithe ring of fire, atau cincin api yang berisi lava dan lahar di ratusan gunung berapi. Lautan luas, pulau-pulau yang terancam tsunami. Gempa bumi yang sering terjadi di Indonesia. Ini mengingatkan bahwa Indonesia harus harmoni, dan selaras, menyesuaikan alam.

Ingat tidak selamanya manusia bisa merekayasa alam. Benar bahwa manusia mampu belajar tentang alam, mengenal hukum alam, dan mengenal melalui tanda-tanda alam. Tapi manusia jauh dari penguasa alam. Alam lah yang menjadikan manusia. Manusia hanyalah unsur tanah, satu unsur dari kekayaan alam.Ramadan ini hendaknya mengajarkan kita menahan diri tidak merusak alam, mengotori alam, dan melanggar hukum alam.

Yogyakarta terletak dalam lokasi geografis yang unik dan mengingatkan kemegahan alam. Kita lihat tugu Malioboro, lurus ke utara tampak dengan gagahnya Merapi mengintai kota kita. Tugu lurus ke arah selatan akan menjumpai Laut Selatan. Gambaran kesakralan tugu, keraton, Merapi dan Laut Selatan sudah menjadi bahan banyak puisi, novel, dan lukisan para seniman di Yogyakarta. Puasa, dalam arti menahan diri dan siap menjadi manusia seutuhnya ini, supaya mengingatkan kita pada lokasi alam Yogyakarta yang unik. Supaya puasa ini mengingatkan kita pada Merapi, Laut Selatan, Gunung Menoreh, hutan pinus, dan sawah menghampar di Bantul, kebun salak di Sleman, dan jalan berkelok di Wonosari. Inilah alam Yogyakarta, selama puasa ini mungkin kita menahan diri tidak melaluinya dan tidak sepenuhnya bisa menikmatinya. Selama ini kita tidak berkerumun. Selama pandemi ini kita menghindari bepergian. Itulah berpuasa yang sesungguhnya.

Rekaman murattal Al-Quran sudah mendayu-dayu di setiap sore, sebagaimana Ramadan-Ramadan yang telah lewat. Qori dengan surat-surat pendek sudah dibunyikan di corong musalla dan masjid. Taraweh di laksanakan. Puasa dijalankan. Pandemi ini tidak mengurangi ibadah kita. Covid-19 menambah cobaan, menguji kesabaran, dan sekaligus menandakan apakah Ramadan ini meloloskan kita untuk menjadi manusia yang lebih manusiawi.

Alam memberi kita pelajaran. Penyakit mengingatkan kita. Puasa tentu akan membawa hikmah.