Lembaga Penjaminan Mutu (LPM) UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta mengundang empat mahasiswa pemohon Presidential Threshold yang dibalut dalam kegiatan bincang santai di Ruang LPM, Gedung Pusat Administrasi Umum (PAU) Lt 1 pada Jumat (10/1/2025). Dalam kesempatan tersebut, Ketua LPM, Prof. Dr. Eva Latipah, memberikan apresiasi setinggi-tingginya kepada empat mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga, yakni: Enika Maya Oktavia, Faisal Nasirul Haq, Rizki Maulana Syafei, dan Tsalis Khorirul Fatna, yang berjuang untuk perubahan politik dan demokrasi di Indonesia melalui pengajuan permohonan terkait Presidential Threshold ke Mahkamah Konstitusi.
"Gen Z sering disebut sebagai generasi strawberi atau generasi rebahan, namun keempat mahasiswa ini telah membuktikan bahwa tekad yang kuat dapat menghasilkan potensi luar biasa yang mampu memberikan dampak besar bagi masyarakat, bahkan bangsa," ujar Prof. Eva. Sebagai akademisi yang konsen di bidang Sosiologi, Prof. Eva juga meyakini bahwa di balik stereotif Gen Z tersimpan potensi besar yang jika dikonversi ke arah yang positif akan memberikan dampak yang luar biasa. Menurutnya, Gen Z adalah generasi yang inklusif, terbuka, dan menerima dengan tangan terbuka terhadap berbagai perbedaan.
Dalam kesempatan tersebut, Prof. Eva beserta tim LPM, mengulik lebih jauh mengenai siapa mereka, dan bagaimana mereka dapat melakukan hal monumental tersebut. Enika, kelahiran Pati, Jawa Tengah, sekitar kelas 5 SD pindah ke Sampit, Kalimantan Tengah mengikuti orangtua yang juga bekerja di sana. Setelah, SMA, melalui jalur SPANPTKIN, ia daftar kuliah di UIN Sunan Kalijaga dengan pilihan pertama Prodi Hukum Tata Negara dan pilihan kedua, Prodi Hukum Keluarga Islam. Sementara, Rizki, kelahiran Negeri Pasundan, Tasikmalaya, lulus jenjang menengah atas pada tahun 2018, mondok di sebuah pesantren di Solo, dan pada 2021 memilih untuk kembali melanjutkan studinya ke jenjang Sarjana dengan mengikuti tes jalur CBT 2 di UIN Sunan Kalijaga, Prodi Hukum Tata Negara. Sementara Faisal, lahir di Makkah Arab Saudi 2001 silam, bersamaan dengan ayahnya yang menempuh studi di Ummul Qura Madinah pada saat itu, sembari menunaikan ibadah haji. Menurutnya, memilih UIN Sunan Kalijaga karena terinspirasi dengan para gurunya di Madrasah Aliyah. Pada saat itu, ia memilih Prodi Sosiologi sebagai pilihan pertama dan Ilmu Hukum sebagai pilihan kedua. Pilihan kedualah yang diterima, Prodi itu pulalah yang membawanya bergabung dengan Komuninats Pemerhati Konstitusi, sebelum akhirnya mendapat atensi nasional karena merubah arah demokrasi Indonesia.
Enika mengungkapkan bahwa sebelumnya tidak kenal secara personal dengan pemohon lainnya, hanya ke-4 nya tergabung dalam Komunitas Pemerhati Konstitusi (KPK). Perjalannya sebagai pemohon bermula dari bersama kedua rekan lainnya dari KPK masuk final debat Bawaslu 2023 dengan tema Presidentian Threshold. Begitu juga dengan ketiga pemohon lainnya aktif dalam berpartisipasi dalam Debat dan Lomba Karya Tulis Ilmiah (LKTI). Seperti halnya ia mengenal Faisal bermula dari sebuah famplet ucapan selamat atas keberhasilan Faisal memenangkan LKTI. Menurutnya, permohonan tidak beda jauh dengan 32 lainnya, isunya mirip. Yang berbeda adanya pengangkatan fakta sosiologis, fakta politik hukum baru dari Pilpres 2024. Sehingga menurutnya, itu momen yang pas untuk pengajuan permohonan.
Enika UU memulai perjuangannya setelah merasa "gabut" di awal Januari 2024. Ia mengajak teman-temannya untuk menulis draft permohonan terkait Presidential Threshold ke Mahkamah Konstitusi Enika mengungkapkan, proses ini bermula dari rasa penasaran tentang UU No. 7 Tahun 2017 terkait dengan Pemilu. Mereka mengajukan gugatan dan mempertanyakan pengabaian terhadap 32 putusan sebelumnya yang ditolak oleh DPR. "Kami ingin bertanya mengapa DPR menolak 32 putusan sebelumnya. Alhamdulillah, legal standing kami diterima oleh tujuh hakim MK, meskipun dua hakim menolaknya," ungkap Enika.
Sementara Rizki mengungkapkan pentingnya momentum dalam perjuangan ini. Menyikapi ajakan Enika, menurutnya itu adalah momentum. “Saya sering ikut debat, beberapa kali mengalami kekalahan. Sementara kesempatan untuk menang itu ada, tapi momentumnya tidak tepat” kenangnya. Melalui permohonan ini, ia merasa memiliki kesempatan untuk memberikan kontribusi yang lebih besar bagi masyarakat. Dengan pengalaman yang dimilikinya dalam praktik peradilan semu, pelatihan debat, dan juga beberapa kali mengikuti Lomba Karya Tulis Ilmiah, Rizki merasa bahwa perjuangan mereka di Mahkamah Konstitusi adalah cara yang tepat. Ia tidak ingin 2 periode yang dirasakannya sebagai pemilih untuk dipaksa memilih dengan figur yang itu-itu saja dirasakan kembali di periode berikutnya. Ia mengajak semua elemen, khususnya Gen Z, untuk ikut terlibat dalam mengawasi dan memastikan agar setiap keputusan yang diambil oleh lembaga-lembaga negara dapat mencerminkan kepentingan rakyat.
Pemohon lainnya adalah Faisal, menegaskan bahwa perjuangan mereka adalah upaya untuk membangun mekanisme demokrasi yang lebih baik. Bagi Faisal, perjuangan ini bukan sekadar kepentingan pribadi, tetapi merupakan akumulasi dari perjuangan seluruh rakyat Indonesia yang menginginkan perubahan dalam sistem pemilu yang lebih adil dan transparan. Mekanisme Presidential Threshold yang selama ini diterapkan dinilai telah memberi peluang yang sangat terbatas bagi calon presiden, yang pada kenyataannya dimanfaatkan oleh partai-partai besar untuk menguasai jabatan-jabatan publik dengan cara yang tidak selalu mencerminkan kehendak rakyat. Faisal menyatakan bahwa, melalui permohonan ini, mereka berusaha untuk membuka ruang bagi lebih banyak calon yang memiliki kapasitas untuk memimpin negara, tanpa harus terkekang oleh aturan yang hanya menguntungkan segelintir pihak. Dorongan lainnya adalah Kominitas Pemerhati Konstitusi yang memiliki banyak draft kajian tentang Presidential Threshold.
Mereka semua sepakat bahwa proses yang dijalani adalah langkah akademik yang serius. Prosesnya tidak mudah, namun mereka berkomitmen menggeluti hal tersebut dengan serius dan totalitas. Mereka mengajukan kepada MK untuk melakukan sidang melalui teleconference dan disikapi dengan bijaksana, walaupun sempat ada kekhawatiran dianggap tidak serius. Rizki yang saat itu KKN di Ciamis mengungkapkan perjuangannya menghadapi sidang online di tengah koneksi internet yang sangat terbatas, menyelesaikan draft permohonan di tengah-tengah kesibukannya menunaikan trudharma pengabdian. Hal yang sama dihadapi Faisal yang saat itu KKN di Gunung Kidul. Ia yang dipercaya sebagai sekretaris, memiliki tanggung jawab untuk menyelesaikan berbagai administrasi. “Siang hari, saya maksimalkan untuk kegiatan KKN, berupaya melakukan program yang sudah didesain secara mandiri dan kelompok untuk memberikan manfaat yang maksimal untuk masyarakat, sementara malah hari dimanfaatkan untuk mencermati draft permohonan” ungkapnya. Sementara Enika yang sudah melakukan KKN lebih dulu melalui KKN Konversi di Guwosari menjadi problem solving bagi teman-temannya dengan mengeksekusi hal-hal teoretis maupun teknis untuk kelancaran misi akademik mereka.
Adapun terkait pembagian tugas, Enika menjelaskan bahwa dalam pembuatatan permohonan ada strukturnya, yakni identitas pemohon, kewenangan mahkamah, legal standing, dan pokok permohonan. “Untuk legal standing kami ramu dengan legal standing yang dapat mendukung kerugian konstitusional. Sementara pokok permohonan dibantu KPK yang menganalisis 32 putusan sebelumnya, mencari celah agar permohonan ini tidak dapat ditolak lagi. Sementara jika ada bagian yang belum pernah dipelajari di bangku akademik, mereka manfaatkan statusnya sebagai digital native untuk berselancar di internet.
Adapun legal standing yang mereka tekankan bahwa sebagai pemilih adalah subjek demokrasi, bukan objek demokrasi. Mereka mengkritik paradigma yang berlaku, di mana hanya partai politik dan calon legislatif yang dianggap sebagai pihak yang memiliki hak untuk mengajukan gugatan terhadap Undang-Undang Pemilu. Menurut mereka, hal ini sudah tidak relevan lagi dengan perkembangan demokrasi yang semakin inklusif.
Menarik yang disampaikan oleh Enika, bahwa untuk melakukan hal besar tersebut bersama teman-temannya tidak membutuhkan biaya besar. Pengajuan permohonan dilakukan secara online dan gratis, begitu juga dalam proses persidangan. Enika membagikan pengalaman bagaimana tantangan menjalani sidang secara daring. Mereka yang terbiasa dalam panggung debat sempat ditegur oleh MK karena dalam paparan dan intonasinya dianggap seperti layaknya kompetisi debat. Sementara saat 2 pemohon mengikuti sidang luring, juga sempat digerogoti oleh rasa khawatir menghadapi meja persidangan. Namun kegigihan dan idealisme, permohonan mereka tentang Presidentian Threshold dikabulkan oleh MK setilah 30 an pemohon lainnya ditolak.
Langkah yang mereka ambil memberikan pelajaran penting tentang pentingnya keberanian dalam memperjuangkan hak, menguji sistem yang ada, dan berjuang demi kemajuan bersama. Bukan hanya sekedar akademisi atau aktivis, mereka telah menunjukkan bahwa mahasiswa dapat menjadi pionir dalam perjuangan perubahan sosial yang lebih besar. Mereka tidak hanya sekadar berusaha mengubah nasib pribadi, tetapi juga memperjuangkan agar generasi mendatang bisa merasakan dampak positif dari sistem demokrasi yang lebih adil. (tim humas)