Indonesian
Consortium for Religious Studies (ICRS) menyelenggarakan kegiatan Unconference
internasional bertajuk “Polarization and Its Discontent in the Global South:
Mitigation Measures, Strategies, and Policies” pada 24–25 April 2025 di
Gedung University Club Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Kegiatan ini
menjadi bagian dari inisiatif global Ford Foundation terkait riset polarisasi
dan penguatan demokrasi.
Berbeda
dari konferensi konvensional, Unconference merupakan forum berbasis
partisipasi yang memberikan ruang kepada peserta untuk menentukan arah diskusi,
berbagi pengalaman, serta membangun kolaborasi lintas isu dan negara. Kegiatan
ini diikuti oleh akademisi, peneliti, aktivis, dan pembuat kebijakan dari
berbagai negara di Global South seperti Indonesia, Kolombia, Brasil, Afrika
Selatan, Malaysia, dan Inggris.
Dalam sesi
Clusters Introduction dijelaskan tentang empat klaster utama pembahasan:
- Fatimah Husein membahas Gender dan
Keadilan Sosial
- Dicky Sofjan membahas Agama dan
Polarisasi Politik
- Zainal Abidin Bagir membahas Polarisasi dan
Keadilan Lingkungan
- Leo Chrysostomos Epafras membahas Inklusi Digital
dan Komunitas Adat
Sesi
pleno diisi oleh tokoh-tokoh internasional seperti Daniel Medina
(Institute for Integrated Transitions, Kolombia), Ana Evangelista
(Institute of Studies on Religion/ISER, Brasil), Nicholas Adams dan David
Cheetham (University of Birmingham, UK), Nurhuda Ramli (IMAN
Research, Malaysia), serta sejumlah akademisi dan aktivis lokal.
Salah
satu agenda menarik dalam klaster Gender, Polarisasi, dan Keadilan Sosial
adalah pemutaran film dokumenter "Three Voices" (2023), yang
menampilkan tiga perempuan Muslim Indonesia dari organisasi keagamaan berbeda
dalam membahas perjuangan menghadapi ketimpangan gender. Film ini menjadi
pemantik diskusi tentang peran narasi keagamaan dalam memperkuat atau
mengurangi polarisasi berbasis gender.
Dalam
klaster Polarisasi dan Keadilan Lingkungan, ICRS bersama CERAH
Foundation dan ISER Brasil memaparkan hasil riset kolaboratif mengenai narasi
lingkungan, energi hijau, dan ketimpangan antara kebijakan nasional dan
kebutuhan komunitas lokal.
Sementara
itu, klaster Inklusi Digital dan Komunitas Penghayat menyoroti temuan
riset tiga tahun ICRS yang menunjukkan bahwa komunitas adat dan penghayat
kepercayaan menghadapi tantangan besar dalam mengakses dan berpartisipasi dalam
ruang digital, baik karena keterbatasan infrastruktur maupun diskriminasi
sistemik.
Unconference
ini tidak menghasilkan resolusi resmi, namun melahirkan jaringan kolaborasi
antar peserta dari berbagai negara yang akan terus berlanjut pasca acara. Seusai
sesi terakhir, para peserta tak langsung bubar. Mereka berkerumun, bertukar
kartu nama, rencana proyek kolaborasi, atau sekadar bertanya: “Apa yang bisa
saya bantu untuk komunitasmu?” Inilah semangat sejati dari forum semacam ini:
menjembatani dunia yang tercerai, bukan dengan jargon, tapi dengan empati.“Kami
tidak hadir untuk sepakat, tapi untuk saling memahami, tidak ada rekomendasi
resmi yang kami keluarkan” ujar Dr. Dicky Sofjan, dosen ICRS dan salah satu
penggagas acara ini.
ICRS,
sebagai konsorsium interdisipliner dari UGM, UKDW, dan UIN Sunan Kalijaga,
berkomitmen untuk mendorong dialog kritis dan penelitian kolaboratif lintas
budaya, agama, dan negara demi membangun masyarakat yang lebih adil, inklusif,
dan harmonis. (humasuinsk)