Perayaan Maulid Nabi Muhammad Saw. di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Senin (15/9/2025), berlangsung dengan nuansa berbeda. Jika biasanya peringatan Maulid identik dengan seremoni dan ritual keagamaan, kali ini kampus tersebut menjadi tuan rumah Bincang Syariah Goes to Campus bertajuk “Mawlid for Earth: Sharia and Eco Wisdom”.
Kegiatan yang digelar di Masjid Kampus UIN Sunan Kalijaga ini terselenggara atas kerja sama dengan Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat (Bimas) Islam Kementerian Agama RI. Program serupa dijadwalkan akan hadir di Universitas Indonesia, Depok, dan UIN Alauddin Makassar.
Acara dihadiri Wakil Rektor Bidang Administrasi Umum, Perencanaan, dan Keuangan, Dr. Mochamad Sodik; Direktur Urais dan Bina Syariah Kemenag RI, Dr. Arsyad Hidayat; Kasubdit Hisab, Rukyat, dan Syariah Kemenag RI, Ismail Fahmi; serta mahasiswa dan penyuluh agama dari berbagai daerah di DIY.
Dalam sambutannya, Dr. Mochamad Sodik menegaskan, bahwa tema yang diusung mengajak umat Islam meneguhkan kembali relasi dengan alam. Selama ini, kata Dr. Sodik, umat lebih banyak berbicara soal ḥablum minallāh (hubungan dengan Allah) dan ḥablum minannās (hubungan dengan sesama), tetapi kerap melupakan ḥablum minal ‘ālam (hubungan dengan alam semesta).
“Maqāṣid al-syarī‘ah perlu diperluas dengan memasukkan dimensi ḥifẓ al-bī’ah (perlindungan lingkungan) sebagai salah satu tujuan fundamental syariat. Seluruh nabi pada hakikatnya adalah figur pecinta lingkungan. Oleh karena itu, komitmen keberagamaan seseorang patut dipertanyakan apabila ia tidak menunjukkan kepedulian terhadap kelestarian alam,” ujarnya.
Ia juga mengingatkan, bagaimana Nabi Sulaiman bisa berdialog dengan hewan, sebuah pesan simbolis bahwa manusia seharusnya mampu membangun relasi harmonis dengan seluruh ciptaan. “Mulai hari ini, ekologi harus menjadi prioritas. Antropologi, teologi, dan ekologi tidak boleh dipisahkan. Ini adalah panggilan Profetik. Mahasiswa dan dosen bisa melanjutkan tema ini melalui riset dan kajian,” tambahnya.
Dalam kesempatan yang sama, Direktur Urais dan Bina Syariah Kemenag RI, Dr. Arsyad Hidayat, menekankan pentingnya implementasi ekoteologi sebagai salah satu protas Kementerian Agama. “Dunia sedang menghadapi krisis lingkungan yang sangat kompleks, banjir, kerusakan hutan, erosi, degradasi. Ini perlu penanganan khusus,” katanya.
Kehangatan acara semakin terasa ketika penulis dan aktivis gender Kalis Mardiasih berperan sebagai host dan filsuf sekaligus dosen Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam UIN Sunan Kalijaga Dr. Fahruddin Faiz tampil sebagai narasumber utama. Keduanya berjalan seirama, menghadirkan suasana diskusi yang santai namun sarat makna. Interaksi yang cair membuat audiens larut dalam alur percakapan yang menggugah kesadaran.
Kalis dengan gaya bertutur yang komunikatif berhasil menjembatani gagasan-gagasan filosofis Faiz, sehingga pesan yang disampaikan lebih mudah dipahami dan menyentuh. Sementara Faiz, dengan kedalaman analisisnya, memperlihatkan betapa pentingnya mengaitkan peringatan Maulid Nabi dengan isu ekologi. Sinergi keduanya menjadikan diskusi ini bukan sekadar perbincangan akademis, tetapi juga refleksi spiritual yang relevan dengan tantangan zaman.
Dalam forum tersebut, Kalis menegaskan, bahwa krisis iklim hari ini menimbulkan keresahan yang terutama dirasakan kelompok rentan. “Mereka yang pertama kali kehilangan sumber air, bukanlah pihak yang merusak, tetapi justru mereka yang paling terdampak,” ujarnya. Peringatan Maulid, menurutnya, harus menjadi ruang untuk menyuarakan kepedulian terhadap bumi dan keberlanjutan kehidupan.
Sementara itu, Fahruddin Faiz menguraikan, bahwa dalam terdapat prinsip mendasar dalam relasi manusia dengan sesama, lingkungan, dan seluruh ciptaan Tuhan, yaitu keragaman, keseimbangan, dan keterkaitan. “Kesejahteraan kita wadahnya ada di ekosistem. Harmoni ini tidak hanya dengan sesama manusia, tetapi juga dengan semesta,” katanya.
Dalam Upaya mengelola Perbedaan, Rasulullah menjadi teladan. Piagam Madinah yang ditetapkan Rasulullah merupakan bukti kesadaran kolektif menghadapi perbedaan. “Dasar perbedaan bukan sekadar diterima, tetapi dikelola agar produktif menghasilkan kebaikan. Kita semua berada di kapal yang sama, saling terkait satu sama lain,” jelasnya.
Dalam konteks ekologis, Faiz mengingatkan bahwa Nabi Muhammad Saw. menaruh perhatian serius pada kelestarian alam. Dari menegur sahabat yang berlebihan menggunakan air saat berwudu, hingga pesan agar pepohonan dan lingkungan tetap dijaga bahkan dalam situasi perang.
Pesan tersebut, menurut Faiz, relevan untuk menjawab krisis ekologi hari ini. Ia juga turut mengutip ungkapan Mahatma Gandhi yang menegaskan, alam pada hakikatnya cukup untuk mencukupi kebutuhan seluruh manusia, namun tidak akan pernah sanggup menanggung kerakusan satu manusia. Bagi Faiz, tantangan terbesar umat saat ini terletak pada mentalitas konsumtif yang membuat manusia sekadar menjadi pengikut arus pasar. “Hidup hanya untuk mengonsumsi membuat kita disetir oleh produsen. Idealnya, kita membangun mentalitas produktif, yakni menciptakan sesuatu yang bermanfaat, bukan sekadar membeli dan mengikuti arus,” tegasnya.
Senada dengan itu, Kalis menambahkan bahwa kesadaran ekologis sebenarnya juga hidup dalam tradisi masyarakat lokal. Ia menyinggung praktik sedekah bumi dan sedekah laut yang meski kerap dianggap mitos, sesungguhnya merefleksikan dimensi religius sekaligus kedekatan manusia dengan alam. Tradisi tersebut menjadi ekspresi syukur serta bentuk penghormatan terhadap bumi sebagai sumber kehidupan.
Mengomentari pandangan tersebut, Dr. Fahruddin Faiz merujuk pemikiran Fandanasifa, seorang filsuf India, yang memandang bumi sebagai “ibu”, sebuah pandangan yang sekaligus selaras dengan filosofi Jawa. “Merawat alam dan bersyukur atas keberlimpahan yang diberikan alam adalah bahasa mereka untuk menunjukkan kesakralan. Mereka sudah memahami pentingnya alam, dan mereka membahasakannya sesuai level pemahaman mereka,” tutur Faiz.
Dalam fikih lingkungan, ia menjelaskan, bahwasanya terdapat prinsip-prinsip dalam memanfaatkan sumber daya alam, yakni mengetahui ilmunya, memanfaatkan secukupnya, dan memperbarui. Paradigma ini, kata Faiz, perlu menggantikan pandangan antroposentris yang menilai alam baru berguna jika disentuh manusia. Bahwasanya sebagai khalifah fil-ardh, manusia dituntut berjuang dan berkorban untuk yang dipimpinnya, bukan merusaknya,” tegasnya.
“Perilaku merusak alam adalah perilaku menantang Tuhan. Hancurnya semesta berarti hancurnya kita semua,” pungkasnya.(humassk)