WhatsApp Image 2025-09-15 at 11.19.11.jpeg

Selasa, 16 September 2025 11:08:00 WIB

0

Menantang Tuhan dengan Tangan Kita Sendiri: Catatan dari Maulid Bernuansa Ekoteologi

Yogyakarta — “Merusak alam adalah menantang Tuhan.” Kalimat itu menghentak ruang diskusi di UIN Sunan Kalijaga. Dalam perayaan Maulid Nabi yang biasanya bernuansa ritual, para narasumber memilih jalur berbeda: menjadikan momen ini sebagai panggung untuk menggugat kesadaran ekologis umat. Pesannya tegas, tajam, dan tak bisa dielakkan: krisis lingkungan bukan sekadar persoalan teknis, melainkan krisis spiritual.

Dr. Fahruddin Faiz menyajikan logika yang hampir tak terbantahkan. Alam, katanya, bukan sekadar sumber daya yang bisa kita eksploitasi, melainkan theophany—manifestasi kehadiran Tuhan itu sendiri. Maka setiap perilaku destruktif, mulai dari polusi hingga penebangan liar, bukan hanya soal melukai bumi, tetapi juga bentuk penantangan terhadap Sang Pencipta. Perspektif ini mengubah cara pandang: ekologi bukan lagi wilayah sains belaka, tapi juga ranah iman.

Diskusi itu juga mengupas akar masalah: mentalitas konsumtif. Kita hidup dalam budaya "pakai-buang," dari sampah plastik hingga sampah digital yang terus menumpuk. Faiz mengutip dengan pedas: “Alam semesta cukup untuk memenuhi kebutuhan semua manusia, tapi tidak akan pernah cukup untuk memenuhi keserakahan satu orang saja.” Sebuah kalimat yang menelanjangi wajah kita sebagai konsumen modern yang tak pernah kenyang.

Namun, narasi itu tidak berhenti pada kritik. Para narasumber menawarkan jalan keluar melalui Fiqh al-Biah, sebuah kerangka hukum Islam tentang lingkungan. Konsep ini berpijak pada tiga prinsip utama: I’tibar (melihat alam sebagai tanda-tanda Tuhan), Intifa’ (memanfaatkan sumber daya secara berkelanjutan), dan Islah (memperbaiki kerusakan yang sudah terjadi). Fiqh al-Biah menegaskan bahwa menjaga lingkungan bukan sekadar pilihan moral, tetapi kewajiban syar’i yang menyatu dengan maqasid syariah.

Dari sini muncul ajakan praktis: mengurangi sampah, menanam pohon, hingga mengubah pola hidup konsumtif. Pesan moralnya jelas: spiritualitas sejati harus diwujudkan dalam tindakan ekologis nyata.

Catatan ini menegaskan satu hal: memperbaiki bumi berarti memperbaiki diri. Pertarungan melawan krisis iklim sejatinya adalah pertarungan melawan keserakahan. Dan di medan itu, imanlah yang seharusnya berdiri paling depan.(humassk)