Yogyakarta — “Merusak alam adalah menantang Tuhan.” Kalimat itu menghentak ruang diskusi di UIN Sunan Kalijaga. Dalam perayaan Maulid Nabi yang biasanya bernuansa ritual, para narasumber memilih jalur berbeda: menjadikan momen ini sebagai panggung untuk menggugat kesadaran ekologis umat. Pesannya tegas, tajam, dan tak bisa dielakkan: krisis lingkungan bukan sekadar persoalan teknis, melainkan krisis spiritual.
Dr. Fahruddin Faiz menyajikan logika yang
hampir tak terbantahkan. Alam, katanya, bukan sekadar sumber daya yang bisa
kita eksploitasi, melainkan theophany—manifestasi
kehadiran Tuhan itu sendiri. Maka setiap perilaku destruktif, mulai dari polusi
hingga penebangan liar, bukan hanya soal melukai bumi, tetapi juga bentuk
penantangan terhadap Sang Pencipta. Perspektif ini mengubah cara pandang:
ekologi bukan lagi wilayah sains belaka, tapi juga ranah iman.
Diskusi itu juga mengupas akar masalah:
mentalitas konsumtif. Kita hidup dalam budaya "pakai-buang," dari
sampah plastik hingga sampah digital yang terus menumpuk. Faiz mengutip dengan
pedas: “Alam semesta cukup untuk memenuhi
kebutuhan semua manusia, tapi tidak akan pernah cukup untuk memenuhi
keserakahan satu orang saja.” Sebuah kalimat yang menelanjangi wajah kita
sebagai konsumen modern yang tak pernah kenyang.
Namun, narasi itu tidak berhenti pada kritik.
Para narasumber menawarkan jalan keluar melalui Fiqh al-Biah,
sebuah kerangka hukum Islam tentang lingkungan. Konsep ini berpijak pada tiga
prinsip utama: I’tibar (melihat alam
sebagai tanda-tanda Tuhan), Intifa’ (memanfaatkan
sumber daya secara berkelanjutan), dan Islah
(memperbaiki kerusakan yang sudah terjadi). Fiqh al-Biah menegaskan bahwa
menjaga lingkungan bukan sekadar pilihan moral, tetapi kewajiban syar’i yang
menyatu dengan maqasid syariah.
Dari sini muncul ajakan praktis: mengurangi
sampah, menanam pohon, hingga mengubah pola hidup konsumtif. Pesan moralnya
jelas: spiritualitas sejati harus diwujudkan dalam tindakan ekologis nyata.
Catatan ini menegaskan satu hal: memperbaiki
bumi berarti memperbaiki diri. Pertarungan melawan krisis iklim sejatinya
adalah pertarungan melawan keserakahan. Dan di medan itu, imanlah yang
seharusnya berdiri paling depan.(humassk)