Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta menjadi tuan rumah kegiatan Infokom MUI Goes to Campus dengan tema “Optimasi Mu’amalah Digital secara Sehat dan Produktif”, Rabu (24/9/2025) di Ruang Teatrikal Fakultas Kedokteran.
Acara ini digelar Majelis Ulama Indonesia (MUI) melalui Komisi Informasi dan Komunikasi (Infokom), bekerja sama dengan UIN Sunan Kalijaga. Forum menghadirkan sejumlah narasumber lintas bidang untuk mengulas tantangan bermedia sosial di tengah derasnya arus digitalisasi.
Diskusi panel dimoderatori Wakil Komisi Infokom MUI, Idy Muzayya. Dalam pengantarnya, ia menyinggung data yang menunjukkan rendahnya tingkat kesopanan masyarakat Indonesia di media sosial dibanding negara-negara Asia Tenggara. “Ini menunjukkan adanya ketidaksehatan dalam bermuamalah di dunia digital. Sejak 2011, MUI sudah mengingatkan pentingnya ruang digital yang sehat, bebas hoaks, ujaran kebencian, dan konten yang merusak. Selain itu, masyarakat kita masih lebih banyak menjadi konsumen konten, bukan produsen,” tegasnya.
Sementara itu, Direktur Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga, Prof. Nur Ichwan, sebagai narasumber mengatakan bahwa media sosial telah menggeser cara masyarakat memahami dan memperdebatkan isu-isu keagamaan. Menurutnya, baik MUI sebagai otoritas keagamaan maupun perguruan tinggi Islam sebagai pusat produksi pengetahuan kini menghadapi arena yang sama, yakni media.
“Media sosial adalah arena orkestrasi sekaligus konvergensi. Di sana berjumpa beragam wacana keagamaan, bahkan sering kali menjadi ajang perdebatan publik. WhatsApp Group, Instagram, Facebook, TikTok, YouTube, semua itu sangat memengaruhi cara pandang masyarakat terhadap agama,” ujarnya.
Ia menambahkan, otoritas keilmuan di perguruan tinggi keagamaan Islam (PTKI) kini tidak lagi menjadi satu-satunya sumber rujukan. “Cukup dengan mengetik kata kunci di Google, menggunakan AI, atau menerima broadcast di WhatsApp, masyarakat bisa mendapatkan informasi agama. Begitu juga MUI, fatwa yang dikeluarkan tidak otomatis menjadi rujukan tunggal. Otoritas keagamaan kini bersaing dengan otoritas digital,” jelasnya.
Karena itu, menurut Prof. Nur Ichwan, PTKI dan MUI harus merambah ruang digital agar tidak ditinggalkan. “Kita mau tidak mau harus bermain di media sosial dengan cara yang sehat dan produktif. Itu artinya menghadirkan konten positif, tidak provokatif, menghindari ujaran kebencian dan hoaks, serta menjauhi budaya pamer yang justru merusak,” paparnya.
Ia mencontohkan, setiap dosen dapat memberikan tugas opsional berupa esai atau konten kreatif yang kemudian diunggah mahasiswa ke media sosial pribadi. Dengan cara ini, ruang digital dipenuhi narasi produktif dari kalangan akademisi, bukan hanya dari influencer agama yang sanad keilmuannya dipertanyakan.
“Jika kita membiarkan ruang digital diisi oleh otoritas keagamaan instan, yang populer karena algoritma bukan karena kedalaman ilmu, maka masyarakat akan kehilangan pijakan. Di sinilah pentingnya kehadiran PTKI dan MUI,” lanjutnya.
Lebih jauh, ia menegaskan bahwa UIN Sunan Kalijaga memiliki modal kuat. Semua fakultas dan program studi bisa berkontribusi dari perspektif masing-masing, terutama Program Studi Komunikasi Penyiaran Islam dan Ilmu Komunikasi. “Ini saatnya kita memainkan peran lebih besar dalam menjernihkan media,” kata Prof. Nur Ichwan.
Sementara itu, Ketua Bidang Infokom KH. Masduki Baidlowi mengingatkan bahaya surveillance capitalism, sebuah praktik ekonomi yang mengekstraksi data perilaku manusia sebagai komoditas. “Data kita klik, pencarian, lokasi, emosi, dihisap oleh perusahaan digital raksasa. Dari situ, perilaku kita bisa diprediksi dan diarahkan demi keuntungan ekonomi global,” jelasnya.
Ia menambahkan, algoritma media sosial menciptakan ruang gema (echo chamber), di mana pengguna hanya disuguhi konten yang sesuai dengan preferensi mereka. “Kalau seseorang menonton konten radikal, algoritma akan terus menyarankan konten sejenis. Ini memperkuat radikalisasi. Kita semua berpotensi menjadi korban jika tidak terliterasi,” paparnya.
Melalui forum ini, MUI dan UIN Sunan Kalijaga sepakat memperkuat literasi digital dengan mendorong mahasiswa dan akademisi menjadi produsen konten positif, sekaligus menjaga marwah masing-masing institusi agar tetap relevan dan tidak kalah dengan kekuatan algoritma.(humassk)