Berikhtiar meneladani Rasulullah berarti ikut menyempurnakan misi agung beliau, yakni menyempurnakan akhlak manusia. Rasulullah begitu besar cintanya kepada kita. Bahkan di saat-saat terakhir menjelang wafat, yang beliau pikirkan dan sebut hanyalah umatnya. Hal tersebut disampaikan oleh Dosen Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Dr. Fahruddin Faiz, saat menjadi narasumber Pengajian Rutin Dharma Wanita Persatuan (DWP) Daerah Istimewa Yogyakarta, Selasa (30/9/2025), di Aula Convention Hall UIN Sunan Kalijaga.
Mengangkat tema “Membumikan Akhlak Nabi Muhammad SAW dalam Kehidupan Sehari-hari”, Faiz mengungkapkan, bahwa cinta atau mahabbah merupakan fondasi tertinggi dalam hubungan seorang hamba dengan Allah dan Rasul-Nya. Jika agama hanya dijalani sebagai kewajiban, ia akan terasa sebagai beban. Jika sekadar kebutuhan, motivasinya mudah luntur begitu kebutuhan pragmatis terpenuhi. “Hubungan yang paling ideal adalah berdasarkan mahabbah atau cinta. Kalau kita mencintai Rasul, otomatis kita akan membumikan akhlaknya dalam hidup,” ujarnya.
Akhlak Rasul, lanjut Faiz, sejatinya adalah Al-Qur’an. Allah juga menempatkan beliau sebagai uswatun hasanah, suri teladan, karena cintanya Allah kepada umat manusia. Pasalnya, mencontoh dan meniru Adalah cara belajar paling mudah, sebagaimana yang diungkapkan Filsuf Tiongkok Confucius. “Cara belajar yang paling mudah adalah meniru; yang paling sulit adalah dengan berpikir kreatif; sedangkan yang paling pahit adalah belajar melalui pengalaman,” ujarnya.
Figur yang juga dikenal karena Ngaji Filsafat ini, kemudian menyinggung situasi kekinian yang ditandai dengan gejala narsis, burnout, dan depresi. Di titik inilah keteladanan Rasul menjadi relevan, yakni sikap ridha dan hati yang lapang. Nilai ini menjadi sangat relevan dalam konteks kehidupan kontemporer yang ditandai oleh penetrasi media digital, di mana individu kerap mengalami tekanan psikologis akibat kecenderungan membandingkan diri dengan representasi kehidupan orang lain di media sosial.
Ia juga menjelaskan bahwa Rasulullah dikenal sebagai pribadi yang murah senyum, sebuah ekspresi lahiriah yang merefleksikan kedalaman jiwa yang penuh ridha. Kemampuan beliau untuk menerima setiap situasi yang hadir dalam kehidupannya menjadikan kehadirannya selalu menghadirkan ketenangan bagi orang-orang di sekitarnya.
Dari perspektif psikologi, lanjut Faiz, ridha menghasilkan aura yang menenteramkan sekaligus menggembirakan. Sikap ini menuntun individu untuk menerima ketetapan Allah secara utuh, lalu mengelola potensi yang dimilikinya sebagai modal pengembangan diri. “Penolakan terhadap realitas justru akan menghambat proses perbaikan. Dengan menerima keadaan secara ikhlas, seseorang dapat mengambil langkah yang lebih tepat untuk maju. Hidup yang dilandasi ridha pada akhirnya akan membuat lebih tenang,” jelasnya.
Selain itu, Rasulullah juga terkenal berhati luas, penyayang, dan pemaaf. Saat peristiwa Fathul Makkah, misalnya, hari itu bisa saja menjadi ajang balas dendam. “Namun, Rasul justru menjadikannya sebagai hari kasih sayang tanpa penghinaan kepada pihak yang kalah. Bahkan, seorang pengemis buta yang tiap hari mencaci beliau, tetap dihampiri hingga Rasul wafat,” ungkapnya.
Faiz juga menyoroti keteguhan Rasulullah dalam menghadapi penderitaan hidup. Menurutnya, Nabi adalah pribadi yang tidak takut susah, siap menderita, dan berani menghadapi segala bentuk ujian. Ia mengingatkan, fase paling berat dalam perjalanan hidup Rasul terjadi ketika istri tercintanya, Khadijah, wafat, disusul pamannya, Abu Thalib, yang selama ini menjadi pelindung utama dakwahnya.
Adapun dalam konteks membumikan akhlak Nabi dalam kehidupan sehari-hari, Faiz menegaskan bahwa akhlak pada dasarnya bersifat sederhana namun sangat mendasar. “Berbeda dengan fikih yang memiliki banyak cabang hukum, akhlak hanya terbagi ke dalam dua kategori, yakni yang terpuji untuk diamalkan, dan yang tercela untuk ditinggalkan. Semua akhlak terpuji, pasti telah dicontohkan oleh Rasulullah,” ungkapnya.
Dalam relasi vertikal dengan Tuhan, yang paling utama adalah kepatuhan dan keikhlasan tanpa pamrih. Sementara dalam relasi horizontal dengan sesama manusia, adalah kasih sayang dan cinta. “Setiap kali kita berjumpa dengan orang lain, pertanyaan sederhana yang perlu kita ajukan adalah apa yang terbaik yang bisa saya berikan kepadanya?” ujarnya.
Mengakhiri paparannya, figur yang juga merupakan filsuf modern berpesan agar setiap orang menjaga hati dari kerusakan akibat ulah orang lain. Sikap terbaik adalah menyamarkan kemarahan dengan kebaikan, bahkan dengan memaafkan. “Orang lain menyakiti kita memang di luar kuasa kita, tetapi memilih untuk sakit hati atau tidak, itu sepenuhnya dalam kuasa kita,” pungkasnya.
Kegiatan tersebut membuat para peserta larut dalam refleksi tentang pentingnya meneladani akhlak Rasulullah. Pada sesi tanya jawab, suasana semakin hidup dengan beragam pertanyaan dan tanggapan yang memperkaya pemahaman bersama.(humassk)