Angka 400 ribu perempuan korban kekerasan dan ribuan anak yang tersakiti kerap hanya hadir dalam laporan tahunan. Namun, bagi Muhammad Fahri Azizurrahman , mahasiswa Program Studi Psikologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Humaniora, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, angka itu adalah wajah-wajah manusia, dengan luka yang tak selalu tampak di mata.
“Keamanan bukanlah hadiah, tapi hak yang harus diperjuangkan. Dan
perjuangan itu tidak bisa ditunda, ia harus dimulai dari sekarang” kata Fahri,
saat menyampaikan presentasi di Grand Final Kalijaga Changemaker 2025,
yang berlangsung di Aula Convention Hall kampus, Rabu (1/10/2025).
Fahri tampil
dengan program bertajuk Generasi Anti Kekerasan. Ini bukankah gagasan
sederhana, melainkan sebuah panggilan penting di tengah maraknya kekerasan yang
menghantui anak-anak dalam berbagai bentuk, baik fisik, verbal, hingga digital.
Program ini lahir sebagai terobosan yang inovatif sekaligus berani, menegaskan
bahwa setiap anak berhak tumbuh dalam rasa aman, tanpa takut dan tanpa luka
tersembunyi, baik di rumah, di sekolah, maupun di dunia digital yang kian
kompleks. Gagasan
sekaligus presentasi yang memukau inilah yang akhirnya mengantarkan Fahri
meraih predikat Runner Up Kalijaga Changemaker 2025.
Fahru
mengungkapkan, sejak awal digagas, Generasi Anti Kekerasan telah
menyentuh 40 titik di Indonesia dan telah menjangkau lebih dari100 sekolah.
Gerakan ini merangkul anak-anak, orang tua, dan komunitas agar berani menolak
kekerasan, baik fisik, verbal, maupun digital.
Tidak kurang dari 7.000 relawan ikut terlibat. Audiensi dengan
pemerintah dilakukan, sementara anak-anak dan perempuan dilibatkan secara
langsung dalam proses advokasi. “Kami ingin membangun masyarakat yang berani,
orang tua yang mendukung, dan lingkungan yang berkomitmen,” ujar Fahri.
Dalam menjalankan programnya, Fahri menempatkan komunikasi, edukasi,
dan advokasi sebagai jalan panjang yang harus diperjuangkan. Melalui keduanya,
ia merangkul komunitas dan kampus, menumbuhkan kesadaran bersama, dan
menggerakkan orang muda untuk berani berdiri menolak kekerasan. “Kami percaya, 15 persen penduduk dunia adalah
anak muda. Kalau anak muda tidak berpihak, siapa lagi yang akan peduli pada
kelompok rentan?” ucapnya.
Presentasi Fahri tak hanya memaparkan program, tetapi juga mengetuk
kesadaran tentang peran laki-laki dalam mencegah kekerasan. Patmi Sustiwi, salah satu dewan juri, menilai Fahri sebagai “laki-laki
baru” yang dibutuhkan hari ini.
“Meski ada
korban laki-laki, perempuan tetap jauh lebih banyak. Bagaimana memastikan
laki-laki tidak menjadi pelaku kekerasan? Itu pertanyaan penting,” ujar Patmi.
Menanggapi hal
itu, Fahri menjelaskan bahwa ia menggandeng 20 komunitas laki-laki yang diberi
nama Komunitas Laki-laki Baru, untuk bersama-sama menolak kekerasan. Komuniaksi,
edukasi, dan advokasi dijalankan, dengan harapan laki-laki tidak hanya menjadi
penonton, tetapi pelaku perubahan.
Di akhir
presentasinya, Fahri menegaskan komitmen gerakan yang ia bangun. “Jangan sampai
ada satu pun orang yang ditinggalkan. Jangan sampai ada satu kelompok yang
dikucilkan,” katanya.
Dengan suara mantap, ia menutup presentasinya, “Saatnya aku, kamu,
kita semua menolak kekerasan terhadap anak dan perempuan.” Seruan itu bukan
sekadar ajakan, melainkan cermin dari keberanian seorang anak muda yang memilih
berdiri di garis depan membela kelompok rentan. Gerakan yang digagas Fahri
bukan hanya keren, tetapi juga nyata, sebuah inovasi sosial yang hadir untuk
melindungi anak-anak dan Perempuan, mereka yang terlalu sering menjadi korban
pelecehan dan kekerasan, namun jarang mendapat ruang aman untuk bersuara. (humassk)