Pemerintah sangat serius menata ulang sistem pendidikan keagamaan agar benar-benar menjadi ruang yang aman dan manusiawi bagi tumbuh kembang anak. Komitmen itu ditegaskan Menteri Agama Nasaruddin Umar yang menyatakan bahwa Kementerian Agama kini telah membentuk Satuan Tugas (Satgas) Pencegahan dan Penanganan Kekerasan sebagai langkah nyata dalam mewujudkan pesantren ramah anak.
Menurut Menag, setiap lembaga pendidikan, baik sekolah, madrasah, maupun pesantren, harus menjadi lingkungan yang menjamin keamanan, kenyamanan, dan kebahagiaan anak didik. “Setiap lembaga pendidikan, termasuk pesantren, harus menjadi ruang yang ramah anak dan bebas dari kekerasan,” tegas Menag di Jakarta, Minggu (26/10/2025). Ia menambahkan, pembentukan Satgas ini merupakan bagian dari peta jalan besar pengembangan Pesantren Ramah Anak (PRA) yang tengah dijalankan Kemenag.
Langkah ini juga diiringi dengan penguatan landasan hukum. Setelah menerbitkan Peraturan Menteri Agama (PMA) No. 73 Tahun 2022 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual serta Keputusan Menteri Agama No. 83 Tahun 2023 tentang Pedoman Penanganan Kekerasan Seksual di satuan pendidikan, Kemenag kini menegaskan kembali komitmen tersebut melalui Keputusan Menteri Agama (KMA) No. 91 Tahun 2025.
Seluruh regulasi ini diterjemahkan dalam panduan teknis Ditjen Pendidikan Islam, seperti Keputusan Dirjen Pendis No. 4836 Tahun 2022 tentang Panduan Pendidikan Pesantren Ramah Anak dan Keputusan Dirjen Pendis No. 1262 Tahun 2024 mengenai Petunjuk Teknis Pengasuhan Ramah Anak di Pesantren. Panduan tersebut menekankan pentingnya membangun sistem pengasuhan tanpa kekerasan dan menciptakan ruang yang aman bagi santri untuk tumbuh secara optimal.
Menag Nasaruddin Umar menegaskan, seluruh aparatur Kemenag dan pemangku kepentingan pendidikan keagamaan harus menjadikan regulasi ini sebagai pedoman bersama dalam mempercepat langkah pencegahan kekerasan. “Regulasi ini menjadi panduan bersama seluruh ASN Kementerian Agama dan stakeholders terkait untuk mempercepat langkah nyata dalam pencegahan dan penanganan kekerasan seksual,” ujarnya.
Dalam upaya memperkuat gerakan perlindungan anak, Kemenag juga menjalin kerja sama dengan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA). Sinergi ini dirancang untuk memastikan seluruh peserta didik, termasuk para santri, mendapatkan perlindungan dan pemenuhan hak-hak anak. Menag menuturkan, kolaborasi ini mencakup tiga ranah utama, antara lain: mempromosikan hak-hak anak, mencegah kekerasan melalui pola pengasuhan positif, dan merespons secara tepat setiap bentuk kekerasan fisik, psikis, maupun seksual di satuan pendidikan.
Sementara itu, Direktur Jenderal Pendidikan Islam, Amien Suyitno, menjelaskan bahwa Satgas yang dibentuk merupakan bagian integral dari strategi nasional pencegahan kekerasan di lembaga pendidikan keagamaan. Kemenag telah menetapkan 512 pesantren sebagai percontohan melalui SK Dirjen Pendis No. 1541 Tahun 2025 tentang Pilot Pendampingan Program Pesantren Ramah Anak. Selain itu, sistem pelaporan kasus kekerasan kini diperkuat melalui kanal digital Telepontren, layanan berbasis WhatsApp di nomor 0822-2666-1854 yang memungkinkan pelaporan dilakukan secara cepat, aman, dan anonim. “Kami juga mendorong pesantren mengembangkan sistem pelaporan online yang ramah pengguna dan terhubung langsung dengan Kemenag, KPAI, maupun Komnas Perempuan,” jelas Suyitno.
Sementara itu, Staf Khusus Menag bidang Kebijakan Publik, Media, dan Pengembangan SDM, Ismail Cawidu, menuturkan bahwa upaya edukatif juga terus digencarkan. Kemenag menggelar Lomba Karya Tulis Ilmiah (LKTI) Pesantren Ramah Anak untuk menumbuhkan kesadaran di kalangan santri dan pengasuh. Selain itu, kegiatan Masa Ta’aruf Santri (Mata Santri) juga digunakan sebagai sarana sosialisasi nilai-nilai ramah anak. Kemenag turut menjalin kerja sama dengan Lakpesdam PBNU dalam pelatihan penanganan kekerasan seksual di 17 pesantren yang tersebar di berbagai provinsi.
Menurut Ismail Cawidu, respon kalangan pesantren terhadap inisiatif ini sangat positif. “Saya melihat pihak pesantren benar-benar serius dalam masalah ini. Mereka juga sangat terbuka, berdiskusi dengan para aktivis perempuan, ormas keagamaan, LSM, dan kampus yang juga peduli dengan masalah ini dan terus memberikan dukungan,” ujarnya.
Adapun Kementerian Agama telah menyusun peta jalan pengarusutamaan Pesantren Ramah Anak yang mencakup tiga fase besar. Fase penguatan dasar pada 2025–2026 berfokus pada sosialisasi kebijakan, peningkatan kapasitas SDM, serta pembentukan gugus tugas dan Satgas PRA. Fase akselerasi pada 2027–2028 diarahkan untuk memperluas replikasi dan pelembagaan program di lebih banyak pesantren, sekaligus memperkuat dukungan lintas sektor. Sementara pada 2029, Kemenag menargetkan tercapainya fase kemandirian, yakni integrasi prinsip pesantren ramah anak ke dalam sistem manajemen kelembagaan pesantren secara berkelanjutan.
“Dengan dukungan regulasi yang kuat, inovasi teknologi, dan sinergi lintas sektor, kami optimistis pesantren di Indonesia akan tumbuh menjadi ruang pendidikan yang benar-benar ramah anak, bebas kekerasan, dan berkeadaban,” pungkas Menag.
UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta menyambut baik langkah Kementerian Agama dalam memperkuat regulasi dan membentuk Satgas Pencegahan serta Penanganan Kekerasan di lembaga pendidikan keagamaan. UIN Sunan Kalijaga menilai bahwa setiap lembaga pendidikan, termasuk pesantren sebagai lembaga pendidikan nonformal, sudah semestinya menjadi ruang yang aman, nyaman, dan ramah bagi anak didik.
Komitmen ini sejalan dengan upaya kampus untuk mewujudkan lingkungan belajar yang bebas dari kekerasan melalui keberadaan Pusat Pelayanan Terpadu Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPT-PKS), yang berperan aktif dalam memberikan edukasi, pendampingan, serta mekanisme pelaporan yang berperspektif korban.(humassk)