Nama Putri Ghaida Habibillah masih segar di ingatan civitas akademika UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Alumni Program Studi Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam ini mencatat prestasi gemilang ketika diwisuda pada Agustus 2025 sebagai lulusan terbaik dan tercepat dengan IPK sempurna, 4.00. Namun, capaian akademiknya tak berhenti di podium wisuda. Beberapa bulan kemudian, Putri kembali menorehkan kebanggaan, kali ini di panggung internasional, sebagai panelis AICIS+ 2025 yang diselenggarakan di Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII) Depok pada Rabu (29/10/2025) – Jumat (31/10/2025).
Dalam ajang
bergengsi yang diikuti akademisi dari 31 negara, Putri mempresentasikan paper
berjudul “Sounding the Past: Problematizing Golden-Age and Decline Paradigm
in the Portrayal of History.” Karyanya menembus seleksi ketat yang hanya
meloloskan naskah-naskah dengan orisinalitas dan relevansi tinggi terhadap tema
besar konferensi, yakni Ecotheology and Technological Transformation:
Multidisciplinary Innovations for an Equitable and Sustainable Future.
“Saya senang
sekali bisa bertemu dengan para peneliti dari berbagai negara. Di AICIS+ ini
banyak isu baru yang diangkat, mulai dari agama, kesehatan mental, sampai
kecerdasan buatan yang kini dibahas semakin masif,” ungkapnya dengan mata
berbinar.
Dalam
presentasinya, Putri mengajak peserta konferensi untuk meninjau ulang cara umat
Islam memahami sejarahnya sendiri. Menurutnya, narasi yang selama ini popular,
yakni “Zaman Keemasan dan Kemunduran” yang seringkali diterima begitu
saja tanpa kritik. Paradigma ini menggambarkan sejarah Islam dalam pola linear,
meliputi masa kejayaan, kemunduran, dan kebangkitan kembali.
“Banyak orang,
bahkan kalangan akademik, menganggap pola itu mutlak benar tanpa menelusuri
asal-usul konstruksinya. Padahal, ada kemungkinan besar narasi itu terbentuk
dari pandangan kolonial dan orientalis,” jelasnya.
Penelitian
Putri menelusuri akar kolonial dan orientalis dari paradigma tersebut. Ia
mengkaji bagaimana pandangan dunia Barat yang cenderung linear, teleologis, dan
eurocentris mempengaruhi cara umat Islam
menulis sejarahnya sendiri. Di sisi lain, ia menawarkan alternatif:
historiografi non-linear dan dekolonial, yang berpijak pada epistemologi
endogen Islam.
Putri mengacu
pada teori siklus Ibn Khaldun tentang ‘ashabiyyah’ sebagai inspirasi. Menurut
Ibn Khaldun, sejarah tidak berjalan lurus, tetapi berulang dalam siklus
naik-turun kekuasaan dan solidaritas sosial. Di sinilah Putri melihat
pentingnya tafsir dan sejarah berjalan beriringan.
“Dalam tafsir,
sejarah tidak boleh diabaikan. Sebab, ketika sejarah dipahami secara
problematis, maka tafsir yang dihasilkannya pun akan ikut problematis,”
ujarnya.
Keterlibatan
Putri di AICIS+ bukanlah kebetulan. Ia tumbuh dalam ekosistem akademik UIN
Sunan Kalijaga yang kaya dengan ruang diskusi ilmiah. Ia aktif di berbagai
komunitas mahasiswa yang membahas topik keilmuan, keagamaan, dan kemanusiaan.
Dari ruang-ruang diskusi itulah ide papernya bersemi.
Tulisan tentang
kemajuan dan kemunduran peradaban Islam yang ia tulis bersama rekannya
merupakan hasil tindak lanjut dari perdebatan intelektual di salah satu
komunitas tersebut. “Menulis paper ini membutuhkan banyak usaha, karena bidang
saya bukan sejarah. Tapi saya tetap berkomitmen menyelesaikannya. Prosesnya
memang menantang,” tuturnya.
Putri juga
mengakui bahwa banyak topik aktual yang dibahas di AICIS+ sebenarnya telah
hidup di lingkungan akademik UIN Sunan Kalijaga. Para dosen, katanya, dikenal
responsif terhadap isu-isu global. “Para dosen sering mendorong mahasiswa untuk
menulis tentang isu-isu itu, bahkan di sela-sela perkuliahan. Dari sanalah
banyak gagasan berkembang menjadi tulisan yang layak dipresentasikan di
konferensi internasional,” ungkapnya.
Bagi Putri,
mengikuti konferensi internasional seperti AICIS+ adalah kesempatan untuk
melatih diri tampil di level yang lebih tinggi. “Ini seperti latihan yang
mengasah mental dan intelektual. Kita tak lagi berdiskusi di ruang kelas, tapi
di forum ilmiah yang dihadiri profesor dan akademisi dari berbagai negara,”
katanya.
Ia menambahkan,
setiap konferensi memiliki keynote speech yang memberi arah dan
inspirasi. “Melalui kegiatan seperti ini, kita bisa menilai sejauh mana
perkembangan kajian kita, sekaligus memacu diri untuk terus mengembangkannya
lebih jauh,” ujarnya reflektif.
Di balik semua
pencapaiannya, Putri Ghaida tetap tampil rendah hati. Ia memaknai
keterlibatannya di AICIS+ bukan sekadar prestasi pribadi. Penelitian ini Adalah
hasil kolaborasi bersama rekannya, Sjuga representasi kualitas pendidikan dan
atmosfer intelektual yang tumbuh di UIN Sunan Kalijaga.
“Yang paling
berharga dari semua ini adalah kesadaran bahwa ilmu harus terus bergerak,
menembus batas-batas disiplin, dan memberi makna bagi kemanusiaan,” pungkasnya. (humassk)