gaida.jpg

Jumat, 31 Oktober 2025 07:52:00 WIB

0

Alumni UIN Sunan Kalijaga Bicara di AICIS+ 2025, Kritik Narasi “Zaman Keemasan–Kemunduran” dalam Historiografi Islam

Nama Putri Ghaida Habibillah masih segar di ingatan civitas akademika UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Alumni Program Studi Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam ini mencatat prestasi gemilang ketika diwisuda pada Agustus 2025 sebagai lulusan terbaik dan tercepat dengan IPK sempurna, 4.00. Namun, capaian akademiknya tak berhenti di podium wisuda. Beberapa bulan kemudian, Putri kembali menorehkan kebanggaan, kali ini di panggung internasional, sebagai panelis AICIS+ 2025 yang diselenggarakan di Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII) Depok pada Rabu (29/10/2025) – Jumat (31/10/2025).

Dalam ajang bergengsi yang diikuti akademisi dari 31 negara, Putri mempresentasikan paper berjudul “Sounding the Past: Problematizing Golden-Age and Decline Paradigm in the Portrayal of History.” Karyanya menembus seleksi ketat yang hanya meloloskan naskah-naskah dengan orisinalitas dan relevansi tinggi terhadap tema besar konferensi, yakni Ecotheology and Technological Transformation: Multidisciplinary Innovations for an Equitable and Sustainable Future.

“Saya senang sekali bisa bertemu dengan para peneliti dari berbagai negara. Di AICIS+ ini banyak isu baru yang diangkat, mulai dari agama, kesehatan mental, sampai kecerdasan buatan yang kini dibahas semakin masif,” ungkapnya dengan mata berbinar.

Dalam presentasinya, Putri mengajak peserta konferensi untuk meninjau ulang cara umat Islam memahami sejarahnya sendiri. Menurutnya, narasi yang selama ini popular, yakni “Zaman Keemasan dan Kemunduran” yang seringkali diterima begitu saja tanpa kritik. Paradigma ini menggambarkan sejarah Islam dalam pola linear, meliputi masa kejayaan, kemunduran, dan kebangkitan kembali.

“Banyak orang, bahkan kalangan akademik, menganggap pola itu mutlak benar tanpa menelusuri asal-usul konstruksinya. Padahal, ada kemungkinan besar narasi itu terbentuk dari pandangan kolonial dan orientalis,” jelasnya.

Penelitian Putri menelusuri akar kolonial dan orientalis dari paradigma tersebut. Ia mengkaji bagaimana pandangan dunia Barat yang cenderung linear, teleologis, dan eurocentris  mempengaruhi cara umat Islam menulis sejarahnya sendiri. Di sisi lain, ia menawarkan alternatif: historiografi non-linear dan dekolonial, yang berpijak pada epistemologi endogen Islam.

Putri mengacu pada teori siklus Ibn Khaldun tentang ‘ashabiyyah’ sebagai inspirasi. Menurut Ibn Khaldun, sejarah tidak berjalan lurus, tetapi berulang dalam siklus naik-turun kekuasaan dan solidaritas sosial. Di sinilah Putri melihat pentingnya tafsir dan sejarah berjalan beriringan.

“Dalam tafsir, sejarah tidak boleh diabaikan. Sebab, ketika sejarah dipahami secara problematis, maka tafsir yang dihasilkannya pun akan ikut problematis,” ujarnya.

Keterlibatan Putri di AICIS+ bukanlah kebetulan. Ia tumbuh dalam ekosistem akademik UIN Sunan Kalijaga yang kaya dengan ruang diskusi ilmiah. Ia aktif di berbagai komunitas mahasiswa yang membahas topik keilmuan, keagamaan, dan kemanusiaan. Dari ruang-ruang diskusi itulah ide papernya bersemi.

Tulisan tentang kemajuan dan kemunduran peradaban Islam yang ia tulis bersama rekannya merupakan hasil tindak lanjut dari perdebatan intelektual di salah satu komunitas tersebut. “Menulis paper ini membutuhkan banyak usaha, karena bidang saya bukan sejarah. Tapi saya tetap berkomitmen menyelesaikannya. Prosesnya memang menantang,” tuturnya.

Putri juga mengakui bahwa banyak topik aktual yang dibahas di AICIS+ sebenarnya telah hidup di lingkungan akademik UIN Sunan Kalijaga. Para dosen, katanya, dikenal responsif terhadap isu-isu global. “Para dosen sering mendorong mahasiswa untuk menulis tentang isu-isu itu, bahkan di sela-sela perkuliahan. Dari sanalah banyak gagasan berkembang menjadi tulisan yang layak dipresentasikan di konferensi internasional,” ungkapnya.

Bagi Putri, mengikuti konferensi internasional seperti AICIS+ adalah kesempatan untuk melatih diri tampil di level yang lebih tinggi. “Ini seperti latihan yang mengasah mental dan intelektual. Kita tak lagi berdiskusi di ruang kelas, tapi di forum ilmiah yang dihadiri profesor dan akademisi dari berbagai negara,” katanya.

Ia menambahkan, setiap konferensi memiliki keynote speech yang memberi arah dan inspirasi. “Melalui kegiatan seperti ini, kita bisa menilai sejauh mana perkembangan kajian kita, sekaligus memacu diri untuk terus mengembangkannya lebih jauh,” ujarnya reflektif.

Di balik semua pencapaiannya, Putri Ghaida tetap tampil rendah hati. Ia memaknai keterlibatannya di AICIS+ bukan sekadar prestasi pribadi. Penelitian ini Adalah hasil kolaborasi bersama rekannya, Sjuga representasi kualitas pendidikan dan atmosfer intelektual yang tumbuh di UIN Sunan Kalijaga.

“Yang paling berharga dari semua ini adalah kesadaran bahwa ilmu harus terus bergerak, menembus batas-batas disiplin, dan memberi makna bagi kemanusiaan,” pungkasnya.  (humassk)