f4d67ee4-0a84-4bb9-b9dd-37da7a1ecd1e.jpg

Jumat, 31 Oktober 2025 07:39:00 WIB

0

Dosen UIN Sunan Kalijaga di AICIS+ 2025: Menjahit Perdamaian Global dan Keadilan Gender dari Ruang Akademik

Gelaran Annual International Conference on Islam, Science, and Society (AICIS+) 2025 di Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII) Depok menjadi panggung penting bagi para cendekiawan muslim dari berbagai negara untuk menakar ulang peran Islam dalam menjawab tantangan global. Dari sekian banyak panelis yang hadir, dua akademisi UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta turut menyumbang pemikiran bernas yang menembus isu-isu kemanusiaan dunia dan kesetaraan gender dalam bingkai budaya lokal.

Dosen Studi Islam Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga, Dr. Zulfikar Ismail, Lc., MA., tampil dengan riset bertajuk “Strategi Terpadu untuk Perdamaian Berkelanjutan dan Penanganan Krisis Kemanusiaan Global: Studi Kasus di Negara Konflik.” Penelitian ini menggali bagaimana strategi terpadu dapat membangun perdamaian jangka panjang sekaligus menangani krisis kemanusiaan di wilayah-wilayah konflik, dengan fokus studi di Sudan, negara yang hingga kini masih bergulat dalam pusaran perang dan trauma sosial.

Melalui pendekatan kualitatif studi kasus, peneliti menelusuri kisah diaspora akademik asal Indonesia yang tetap menjaga komitmen pendidikan di tengah perang. Dari hasil wawancara dengan enam partisipan yang meliputi tiga alumni Indonesia dari universitas di Sudan dan tiga mahasiswa yang studinya terhenti akibat konflik, lahirlah gagasan tentang model Diaspora-Led Education Recovery (DLER). Model ini menunjukkan bahwa pendidikan bukan hanya wadah transmisi ilmu, melainkan juga jembatan rekonsiliasi dan simbol harapan bagi masyarakat pascakonflik.

Tak berhenti di sana, penelitian ini juga mengidentifikasi bahwa pembangunan ekonomi berbasis komunitas, seperti koperasi bahan pokok, pertanian urban, dan klaster agropolitan, berperan sebagai instrumen rekonsiliasi struktural. Melalui aktivitas ekonomi yang inklusif, tumbuh solidaritas lintas identitas dan semangat keadilan distributif yang memperkuat akar perdamaian sosial.

Sementara itu, dari ranah diplomasi, peneliti merumuskan Integrated Multi-Level Diplomacy Model (MPDM), pendekatan diplomasi berlapis yang menghubungkan keputusan politik global dengan kebutuhan lokal. Dalam model ini, diplomasi politik, kemanusiaan, dan sosial bergerak serempak untuk mewujudkan tata kelola perdamaian yang berkelanjutan.

“Pendidikan, ekonomi komunitas, dan diplomasi tidak bisa dipisahkan dalam upaya membangun perdamaian. Ketiganya adalah satu kesatuan yang saling menopang dalam proses rekonstruksi sosial pascakonflik,” jelasnya dalam sesi panel yang berlangsung menarik.

Jika riset pertama mengusung tema besar perdamaian global, panel lain dari UIN Sunan Kalijaga menawarkan pembacaan kritis terhadap persoalan keadilan gender di tingkat lokal. Dosen Ilmu Syari’ah Fakultas Syariah dan Hukum, Dr. Sri Wahyuni, memaparkan risetnya berjudul “Legal Transplant of Patrilineal Balinese Customary Inheritance into Sasak Sade Lombok Society and Its Implication to Women Struggle.”

Penelitian ini menelusuri bagaimana sistem pewarisan adat patrilineal Bali berpengaruh kepada masyarakat Sasak di Lombok dan berimplikasi terhadap perjuangan perempuan memperoleh hak waris. Lombok, yang mayoritas berpenduduk Muslim, ternyata masih mempertahankan sistem waris adat yang hanya memberikan hak kepada laki-laki, sebuah warisan budaya dari masa kolonisasi Kerajaan Hindu Karangasem Bali.

Melalui wawancara mendalam di Desa Sade Lombok dan di Bali, Sri Wahyuni menemukan bahwa kedua sistem adat tersebut sama-sama menempatkan laki-laki sebagai pewaris utama. Namun, pengaruh agama dan sejarah membuat keduanya memiliki nuansa yang berbeda. Dalam adat Bali, sistem purusa didasari oleh ajaran Hindu dan ritus keagamaan yang menempatkan laki-laki sebagai penjaga warisan spiritual keluarga. Di Lombok, sistem ini lebih bersifat adat tradisional, memadukan nilai lokal dan pengaruh sejarah kolonial Bali.

“Yang menarik, di masyarakat Sasak, perempuan mulai memiliki kesadaran baru terhadap hak waris mereka, terutama setelah banyak yang menempuh pendidikan tinggi dan memahami hukum Islam,” ujarnya.

Pada kesempatan tersebut, Sri Wahyuni memaparkan Data Mahkamah Agung  yang menunjukkan bahwa di Lombok, ratusan kasus waris diajukan ke Pengadilan Agama, sebagian besar oleh perempuan yang menuntut haknya berdasarkan prinsip keadilan dalam hukum Islam. Angka ini menunjukkan bahwa transformasi sosial tengah berlangsung: tradisi mulai diuji oleh nilai-nilai kesetaraan.

Sementara di Bali, perjuangan perempuan masih terhambat oleh ikatan budaya dan nilai spiritual sistem purusa. Dari delapan pengadilan yang diteliti, hanya dua kasus waris diajukan oleh perempuan, satu ditolak, satu dikabulkan. Angka kecil ini memperlihatkan betapa kuatnya tradisi patriarkal dalam membatasi ruang perempuan di ranah hukum adat.

Kedua penelitian tersebut  meski lahir dari konteks berbeda, berpadu dalam semangat yang sama, yakni membangun kemanusiaan yang berkeadilan. Di sini para dosen UIN Sunan Kalijaga membuktikan bahwa ilmu bukan sekadar wacana, tetapi juga daya yang menumbuhkan empati dan perubahan sosial.

AICIS+ 2025 pun menjadi saksi, bagaimana intelektual Muslim Indonesia terus menenun gagasan besar meliputi perdamaian, kesetaraan, dan kemaslahatan untuk kemanusiaan, (humassk)