Yogyakarta — Kamis, 20 November
2025. Dalam rangka memperingati Dies Natalis Fakultas
Ushuluddin dan Pemikiran Islam ke-60 dengan tema “60 Tahun Ushuluddin Infinity”, UIN Sunan Kalijaga menggelar
Seminar Gender yang menghadirkan dua narasumber terkemuka: Prof. Dra. Hj.
Siti Syamsiyatun, M.A., Ph.D. dan Ning Imaz Fatimatus Zahro.
Ajang akademik ini menjadi ruang penting untuk membahas ulang posisi perempuan
dalam dinamika dunia global yang bergerak cepat dan sarat tantangan baru.
Dalam sambutan pembukaan, Dekan Fakultas
Ushuluddin dan Pemikiran Islam menegaskan urgensi membangun wacana kesetaraan
gender di tengah isu global yang terus berkembang—mulai dari digital harassment terhadap perempuan dan
minoritas gender, isu kepemimpinan perempuan, perdebatan seputar LGBT, narasi freechild, ketakutan berumah tangga di
generasi muda, hingga meningkatnya kasus Gender-Based
Violence (GBV). Menurutnya, akademia membutuhkan model dan figur nyata
yang merepresentasikan nilai gender berbasis Islam, sehingga diskursus tidak
berhenti di tataran teori, tetapi hidup sebagai nilai sosial yang berkeadilan.
Pada sesi pemaparan, Prof. Siti Syamsiyatun
menyoroti bagaimana percepatan global—baik digitalisasi, polarisasi sosial,
maupun kebangkitan konservatisme—membentuk ulang pengalaman perempuan. Ia
memaparkan sebuah roadmap pemberdayaan
perempuan Muslim untuk memasuki kepemimpinan global, yang mencakup empat
langkah utama: belajar, meniru, beradaptasi; membangun ekosistem dengan berasosiasi;
mengombinasikan aktivisme dan literasi; serta mematangkan ide dan menyebarkannya
melalui berbagai kanal. Roadmap ini, menurutnya, menjadi
fondasi penting bagi perempuan Muslim Indonesia agar mampu bersaing, memimpin,
dan memberi warna pada percaturan global.
Sementara itu, Ning Imaz Fatimatus Zahro
menghadirkan perspektif historis-teologis dengan gagasan utama “Membaca Ulang Sejarah Islam untuk Masa Depan
yang Lebih Adil.” Ia menegaskan bahwa banyak problem kesetaraan gender
hari ini tidak bersumber dari teks agama, melainkan dari pemaksaan makna
dan pembacaan yang parsial. Dengan merujuk figur-figur ulama perempuan dalam
sejarah Islam—mulai dari Aisyah RA hingga para muhadditsah abad
pertengahan—Ning Imaz menunjukkan bahwa perempuan pernah menjadi pilar utama
dalam transmisi ilmu dan peradaban Islam.
Ia menekankan bahwa wacana gender yang sehat dalam Islam harus menciptakan ruang bagi perempuan untuk berkembang secara utuh tanpa kehilangan identitas spiritualnya. “Keadilan gender bukan produk Barat, tetapi bagian dari etika dasar Islam,” tegasnya. Ning Imaz juga mengkritik praktik penafsiran tekstual yang mengabaikan konteks historis dan maqashid syariah. “Isu gender bukan cuma soal perempuan, tetapi soal bagaimana agama memastikan seluruh manusia mendapatkan martabat yang sama,” ujarnya.
Seminar yang dihadiri mahasiswa, akademisi,
dan para pegiat isu perempuan ini menghadirkan pertukaran gagasan yang kaya
mengenai arah baru kesetaraan gender dalam konteks global—meliputi tantangan
digital, pergeseran kultur, hingga dinamika sosial-keagamaan yang turut
membentuk posisi perempuan di berbagai negara. Diskusi tersebut menegaskan
pentingnya membaca isu gender secara lintas perspektif, sekaligus menempatkan
UIN Sunan Kalijaga sebagai ruang akademik yang terus mengembangkan
kajian-kajian strategis tentang masa depan keadilan gender