Prinsip inklusivitas di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta terus diuji dalam praktik. Di tengah derasnya tuntutan agar perguruan tinggi memberi ruang setara bagi penyandang disabilitas, kampus ini berupaya menghadirkan model layanan yang tidak berhenti pada slogan. Salah satu bentuk konkritnya tampak pada penyelenggaraan Program Pengimbasan Training of Trainer (ToT) Pengajaran Al-Qur’an Isyarat 2025, Rabu (26/11/2025) di Gedung Rektorat Lama Lt 2. Program yang digelar Pusat Layanan Difabel (PLD) bekerja sama dengan Baznas RI itu menandai langkah penting dalam memperluas akses pengetahuan agama bagi penyandang tunarungu.
Upaya
menghadirkan inklusivitas bukan hal baru bagi UIN Sunan Kalijaga. Koordinator
PLD UIN Sunan Kalijaga Dr. Asep Jahidin menuturkan, sejak 2013 kampus ini
secara konsisten menghadirkan penerjemah bahasa isyarat dalam khutbah Jumat di
Masjid kampus. Kebijakan itu menjadi salah satu praktik paling awal di kampus
PTKIN, dan menjadi fondasi bagi pengembangan layanan-layanan berikutnya.
Komitmen
tersebut terus berkembang seiring meningkatnya jumlah mahasiswa difabel,
terutama tuli, yang kini mencapai sekitar 35 orang dan tersebar di berbagai
fakultas. Dalam konteks inilah kebutuhan pembelajaran Al-Qur’an yang dapat
diakses oleh penyandang tunarungu menjadi semakin mendesak.
“Bagi mahasiswa
tuli, hambatan tidak hanya terkait pendengaran. Mereka juga kesulitan mengakses
teks Arab yang kompleks. Pedoman Al-Qur’an Isyarat memang telah disusun Lajnah
Pentashihan Mushaf Al-Qur’an (LPMQ), tetapi penggunaannya tidak mudah tanpa
pelatihan,” ujar Asep.
Selama ini,
literasi keagamaan difabel di Indonesia lebih banyak terfokus pada layanan
untuk penyandang netra, yang telah memiliki tradisi panjang dalam penggunaan
huruf braille. Namun bagi penyandang tuli, kesenjangan akses
masih sangat lebar. Mereka tidak dapat mendengar bacaan Al-Qur’an, sementara
akses membaca teks Arab juga terbatas.
Padahal,
kebutuhan mereka sama besarnya. Dalam perspektif pendidikan agama, kemampuan
membaca Al-Qur’an menjadi bagian penting dari perkembangan spiritual seseorang.
Namun elemen itu sering kali terhenti bagi difabel tuli karena tidak adanya
media dan pengajar yang memadai.
“Jumlah
pengajar Al-Qur’an Isyarat masih sangat terbatas. Sistemnya baru dikenal
masyarakat sekitar dua tahun terakhir. Kita perlu
mempercepat proses ini,” kata Asep.
Sementara itu, Pelatihan
tahun 2025 ini diikuti oleh sekitar 32 peserta, mayoritas guru SLB dan beberapa
mahasiswa tunarungu UIN Sunan Kalijaga. Program pengimbasan digelar untuk
memastikan bahwa kompetensi pembelajaran Al-Qur’an Isyarat tidak terhenti pada
pelatihan tahun lalu, tetapi menyebar lebih luas melalui para peserta sebagai
agen pendidik di sekolah masing-masing.
Upaya
memperluas pembelajaran Al-Qur’an Isyarat ini mendapat dukungan penuh dari
Baznas RI. Melalui Divisi Pendidikan dan Dakwah, Baznas
telah menggelar program serupa di sekitar 30 titik di seluruh Indonesia. Di
titik Yogyakarta, kegiatan dipusatkan di UIN Sunan Kalijaga.
“Ini adalah
bagian dari syiar dakwah inklusif. Sejak 2022, LPMQ telah menerbitkan pedoman
membaca Al-Qur’an Isyarat, dan Baznas membantu menyosialisasikannya ke
masyarakat,” ujar Izzatul Wafa.
Ia
mengungkapkan, bahwa peserta pelatihan diperkenalkan pada dua pendekatan utama
dalam pembelajaran Al-Qur’an Isyarat. Metode kitabah digunakan untuk
mengisyaratkan Al-Qur’an berdasarkan bentuk teks, termasuk huruf hijaiyah,
harakat, serta berbagai tanda baca yang menyertai ayat. Pendekatan ini
menekankan ketelitian visual agar penyandang tuli dapat memahami struktur teks
secara utuh.
Sementara itu,
metode tilawah diarahkan untuk mengisyaratkan bacaan Al-Qur’an sesuai kaidah
tajwid. Pada metode ini, panjang-pendek bacaan, hukum-hukum tajwid, dan
dinamika lantunan ayat diterjemahkan ke dalam gerakan tangan yang terstruktur.
Ia menambahkan
bahwa program inklusiv ini sekaligus menjadi bentuk pemanfaatan dana zakat yang
secara langsung meningkatkan kualitas spiritual mustahik. Menurutnya, akses
setara terhadap ajaran agama merupakan hak dan kebutuhan yang tidak boleh
terhalang oleh disabilitas.
Sementara itu, Ketua
pelaksana kegiatan, Muhammad Satrio Mufid Mafendi, menilai bahwa banyak guru
SLB sebenarnya antusias, tetapi masih mengalami rasa canggung ketika harus
mempraktikkan Al-Qur’an Isyarat. Banyak dari mereka baru mengenal konsep ini
pada tahun-tahun terakhir.
“Bagi difabel
netra sudah ada braille yang mapan. Tetapi bagi tuli, fasilitasnya masih sangat
sedikit. Maka yang terpenting saat ini adalah perkenalan dasar agar guru
percaya diri mengajarkannya,” kata Mufid.
Ia juga
menekankan perlunya dukungan sistematis, baik dari institusi pendidikan,
pemerintah daerah, maupun masyarakat luas. Tanpa dukungan
tersebut, kesenjangan akses bagi difabel akan sulit ditutup.
Program
pengimbasan ToT Al-Qur’an Isyarat 2025 tidak hanya mempersiapkan guru dan
mahasiswa tuli untuk mampu membaca Al-Qur’an. Lebih jauh, program ini menjadi
upaya konkret mengubah cara pandang masyarakat terhadap akses pendidikan agama
bagi difabel.
UIN Sunan
Kalijaga, melalui PLD dan kerja sama dengan Baznas, mencoba menempatkan diri
sebagai pelopor model pembelajaran keagamaan inklusif. Dalam konteks nasional,
langkah ini menambah diskursus penting mengenai bagaimana ajaran agama bisa
disampaikan kepada seluruh umat, tanpa ada yang tertinggal oleh hambatan fisik
maupun linguistik.
Di tangan para
guru SLB dan para pelatih yang lahir dari program ini, inklusivitas yang sering
hanya menjadi slogan kini mulai menemukan bentuk nyatanya. (humassk)