Lembaga Pemeriksa Halal (LPH) UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta menggelar Seminar “Sistem Jaminan Produk Halal dan Higienitas MBG” secara daring melalui Zoom Meeting, Jumat (5/12/2025). Kegiatan ini menjadi ruang penting untuk menegaskan kembali perlunya pengawasan ketat terhadap mutu pangan, terutama di tengah meningkatnya perhatian publik terhadap keamanan makanan dalam Program MBG.
Ketua Panitia sekaligus Auditor Halal LPH, Sudarlin, M.Si., menyampaikan bahwa peran lembaganya tidak sekadar melakukan audit. “Kami memiliki fungsi edukasi terkait kebijakan halal bagi pelaku usaha. Ini menjadi forum strategis untuk belajar banyak hal agar mampu memberi wawasan dan dampak lebih luas dalam memastikan pangan aman dan sesuai standar halal,” ujarnya.
Seminar kali ini menghadirkan dua narasumber utama, yakni Koordinator Regional Badan Gizi Nasional (BGN) DIY, Wirandita Gagat Widyatmoko, S.Sos., M.Han., serta Direktorat Pengawasan Produksi Pangan Olahan BPOM, Perdana Adhi Nugroho, S.Farm., Apt., M.Sc. dari BPOM.
Dalam pemaparannya, Wirandita menjelaskan secara komprehensif Pedoman Pelaksanaan Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) yang menjadi acuan utama dalam penyelenggaraan Program MBG. Ia menguraikan prinsip umum, tata kelola, serta standar higienitas yang harus dipenuhi setiap unit. Penjelasannya kemudian berlanjut pada fungsi SPPG sebagai pelaksana teknis di lapangan yang mengolah dan mendistribusikan makanan bagi kelompok prioritas seperti peserta didik, ibu hamil, dan ibu menyusui untuk memastikan pemenuhan gizi berjalan aman dan sesuai ketentuan.
“Program MBG awalnya dirancang untuk 15–17 juta penerima manfaat dengan dukungan sekitar 5.000 SPPG. Namun arahan Presiden menaikkan target hingga enam kali lipat, sehingga perencanaan dan pelaksanaan harus dilakukan dengan sangat baik untuk menghindari risiko,” jelasnya.
Untuk menjaga mutu, SPPG diwajibkan memiliki kepala unit, akuntan, dan ahli gizi, memiliki fasilitas dan Gedung sesuai standar, menerapkan alur masuk–keluar bahan pangan yang terpisah; serta mematuhi lebih dari 40 Standar Operasional Prosedur (SOP) yang ditetapkan BGN. “BGN tidak bisa bekerja sendirian. Program ini kompleks, menyasar aspek gizi, ekonomi, dan sosial. Dukungan banyak pihak sangat diperlukan agar manfaat yang dihasilkan optimal dan tepat sasaran,” ujarnya.
Sementara itu, narasumber asal BPOM, Perdana Adhi Nugroho, menekankan bahwa keamanan pangan merupakan elemen yang tidak dapat dinegosiasikan dalam program berskala sangat besar seperti MBG. Mengacu pada data WHO, ia menyebutkan bahwa setiap tahun 600 juta orang jatuh sakit akibat makanan terkontaminasi, dan 420.000 di antaranya meninggal dunia.
“Pangan yang tidak aman merugikan kesehatan, menurunkan kualitas hidup, dan berdampak pada pembangunan ekonomi. Dalam skala MBG, kegagalan menjaga keamanan pangan dapat memicu Kejadian Luar Biasa (KLB) keracunan dan menurunkan kepercayaan publik,” tegasnya.
Ia menjelaskan bahwa risiko keamanan pangan dalam Program MBG mencakup tiga kategori utama. Pada aspek biologis, pangan dapat terkontaminasi bakteri, virus, dan parasit berbahaya, antara lain Salmonella, E. coli, Listeria monocytogenes, Staphylococcus aureus, hingga Clostridium botulinum. Dari sisi kimia, ancaman dapat muncul dari keberadaan toksin, alergen seperti kacang, susu, sereal, dan produk laut, serta penggunaan bahan tambahan pangan yang tidak sesuai ketentuan. Adapun bahaya fisik meliputi masuknya benda asing seperti pecahan kaca, serpihan logam, batu, tulang, atau kontaminan lain yang berasal dari fasilitas maupun personel pengolah pangan. Ia menegaskan bahwa semakin beragam bahan pangannya, semakin besar pula potensi risiko yang harus dikelola dengan sistem keamanan yang ketat.
Semakin beragam bahan pangan yang digunakan, semakin besar pula potensi bahaya yang muncul. Karena itu, sistem manajemen keamanan pangan harus diterapkan secara disiplin hingga ke level SPPG.
Perdana menjelaskan bahwa BPOM menjalankan sinergi pengawasan dengan BGN melalui pendampingan SPPG, penyusunan pedoman mitigasi, sampling produk, penguatan rantai pasok, peningkatan kompetensi penjamah pangan, pengembangan laboratorium, serta pertukaran data antarinstansi.
“Kami di daerah akan menindaklanjuti berbagai hal yang perlu diintervensi. Banyak pihak terlibat, sehingga komitmen bersama sangat diperlukan agar manfaat program dapat dirasakan seluas-luasnya,” tuturnya.
Melalui forum ini, semua pihak memperoleh pemahaman yang lebih terstruktur mengenai titik-titik kritis dalam penyelenggaraan Program MBG, mulai dari aspek keamanan pangan hingga kepastian halal pada setiap tahapan rantai penyediaan. Wawasan tersebut juga memperjelas agenda kerja LPH ke depan, terutama dalam merumuskan standar pemeriksaan, memperkuat edukasi publik, dan memastikan bahwa pemenuhan gizi bagi kelompok prioritas berjalan selaras dengan prinsip higienitas dan kehalalan yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah maupun normatif. (humassk)