IMG-20251206-WA0108.jpg

Jumat, 05 Desember 2025 21:10:00 WIB

0

Hadir di MK, Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga Nilai Izin Tambang bagi Ormas dan Perguruan Tinggi Inkonsitusional

Dosen Ilmu Hukum Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Gugun El Guyanie, S.HI., LL.M., tampil sebagai ahli pemohon dalam sidang Mahkamah Konstitusi (MK) untuk pengujian materiil Pasal 51B ayat (1) dan (2) serta Pasal 60B ayat (3) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2025 tentang Perubahan Keempat atas UU Minerba, pada Kamis (4/12/2025). Ia memberikan keterangan ahli untuk perkara Nomor 160 dan 202/PUU-XXIII/2025.

Dalam paparannya, Gugun mengajukan analisis komprehensif mengenai apa yang ia sebut sebagai “inkonstitusionalitas izin tambang untuk organisasi kemasyarakatan keagamaan dan perguruan tinggi.” Menurutnya, perubahan regulasi melalui UU No. 2/2025 beserta turunannya telah melahirkan konsekuensi hukum yang signifikan terhadap tata kelola sumber daya alam nasional, terutama terkait kebijakan pemberian izin usaha pertambangan khusus (IUPK) kepada entitas non-profit.


Dosen Ilmu Hukum UIN Jogja tersebut menilai kebijakan tersebut menabrak prinsip dasar konstitusionalisme, terutama terkait penguasaan negara atas sumber daya alam, keadilan sosial, serta tata kelola yang transparan dan akuntabel.

Menurutnya, kebijakan IUPK untuk ormas keagamaan dan perguruan tinggi menimbulkan “konflik norma dan distorsi fungsi kelembagaan”, serta membuka peluang penyimpangan atas mandat konstitusional negara sebagaimana ditegaskan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945.

Menurutnya, kebijakan tersebut membuka ruang munculnya berbagai risiko serius dalam tata kelola sumber daya alam. “Pemberian izin tambang kepada ormas keagamaan dan perguruan tinggi, berpotensi menciptakan konflik kepentingan, karena lembaga yang semestinya menjalankan fungsi sosial, etik, dan pendidikan justru diarahkan memasuki sektor bisnis berisiko tingg,” jelasnya.

Selain itu, muncul ancaman politisasi izin tambang, di mana kewenangan pemanfaatan sumber daya alam dapat diseret ke dalam kepentingan kelompok tertentu. Gugun juga menyoroti potensi ketidaksetaraan akses ekonomi, sebab fasilitas izin prioritas bagi entitas tertentu dapat menciptakan ketimpangan baru di luar skema persaingan yang adil. Pada saat yang sama, kapasitas lembaga non-profit dalam mengelola sektor ekstraktif dinilai rentan terhadap melemahnya akuntabilitas publik, mengingat kegiatan tambang menuntut transparansi, pengawasan ketat, serta tata kelola risiko yang tidak dimiliki oleh ormas maupun perguruan tinggi. 

“Negara justru membuka ruang penyimpangan mandat pengelolaan kekayaan alam untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat,” ujarnya.

Gugun menegaskan bahwa kebijakan tersebut mengabaikan perbedaan mendasar antara tiga rezim hukum yang seharusnya berdiri sendiri dan tidak dipertukarkan fungsinya. UU Pendidikan Tinggi mengatur perguruan tinggi sebagai lembaga yang bertujuan mencerdaskan kehidupan bangsa melalui riset, inovasi, dan pengembangan ilmu pengetahuan, bukan entitas bisnis yang bergerak di sektor ekstraktif. “Independensi akademik justru terancam ketika lembaga pendidikan dimasukkan dalam skema prioritas izin tambang,” katanya.

Sementara itu, UU Organisasi Kemasyarakatan dirancang untuk memperkuat demokrasi, partisipasi publik, dan fungsi sosial-keagamaan, sehingga tidak kompatibel dengan aktivitas komersial berisiko tinggi seperti pertambangan. Masuknya ormas ke arena bisnis tambang, menurutnya, mencampuradukkan fungsi masyarakat sipil dengan aktivitas ekonomi yang sarat risiko.

Sementara itu, lanjutnya, UU Minerba merupakan rezim hukum yang berorientasi pada profit dan mengatur tata kelola komersial sumber daya alam yang memerlukan kapasitas finansial, teknologi, dan manajemen risiko yang kuat. “Perbedaan karakter ketiga undang-undang tersebut menunjukkan bahwa memaksakan perguruan tinggi maupun ormas masuk dalam skema izin tambang justru menciptakan disharmoni hukum dan perluasan peran yang tidak sesuai mandat yuridis mereka,” tegasnya.

Adapun dalam kerangka teori human government, Gugun menyatakan bahwa kebijakan publik harus berorientasi pada martabat manusia, keberlanjutan lingkungan, dan pencegahan kekerasan struktural. Ia menggambarkan hubungan negara, masyarakat sipil, dan pasar dalam sebuah diagram segitiga: negara di puncak, masyarakat sipil dan korporasi di dua sisi bawah.

Jika negara dan masyarakat sipil mengontrol pasar, maka pemerintahan cenderung humanis. Sebaliknya, ketika negara bersekutu dengan pasar, masyarakat sipil melemah dan tata kelola menjadi tidak manusiawi.

“Memberikan prioritas izin tambang kepada entitas non-profit menggeser perguruan tinggi dan ormas dari fungsi etik dan sosialnya menuju orientasi pasar yang berisiko. Ini bentuk kekerasan struktural,” ujarnya.

Gugun juga menilai kebijakan tersebut mengabaikan prinsip ethical responsibility, bahwa kebijakan publik harus memperkuat integritas lembaga, bukan membebani mereka dengan aktivitas yang dapat mengaburkan identitas dan fungsi dasarnya.

Pertambangan, lanjutnya, merupakan sektor yang sarat risiko ekologis dan sosial. Memberikan izin tambang kepada lembaga yang tidak memiliki kompetensi teknis adalah tindakan yang “bertentangan dengan prinsip kehati-hatian” serta menurunkan standar etis tata kelola publik.(humassk)

Di hadapan Majelis Hakim MK, Gugun menegaskan bahwa kebijakan pemberian IUPK kepada ormas keagamaan dan perguruan tinggi tidak sejalan dengan roh konstitusionalisme, baik dari aspek filosofis, desain hukum pengelolaan sumber daya alam, maupun prinsip keberlanjutan.