Di tengah meningkatnya krisis kemanusiaan yang kerap menempatkan perempuan dan kelompok rentan sebagai pihak paling terdampak, sebuah ikhtiar intelektual dan moral menemukan momentumnya di kampus. UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta menjadi saksi bagaimana Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) tidak sekadar berdiskusi, tetapi meneguhkan inklusivitas, serta keberpihakan, bahwa ilmu, iman, dan keadilan harus berjalan seiring.
Halaqah Kubra yang digelar selama tiga hari dan merupakan hasil kerja sama KUPI dan UIN Sunan Kalijaga resmi ditutup pada Minggu (14/12/2025) di Teatrikal Fakultas Sains dan Teknologi. Forum ini menjadi ruang refleksi kolektif menuju kongres KUPI ke-3, sekaligus penegasan bahwa gerakan keulamaan perempuan berakar kuat pada kerja-kerja kemanusiaan.
Wakil Rektor Bidang Administrasi Umum, Perencanaan, dan Keuangan UIN Sunan Kalijaga, Prof. Mochamad Sodik, dalam sambutan penutupnya menegaskan, perguruan tinggi memikul tiga peran utama yang tidak dapat ditawar. Pertama, memproduksi ilmu pengetahuan. Menurutnya, tugas ini bukan pekerjaan ringan, tetapi KUPI telah menunjukkan kapasitasnya melalui diskusi-diskusi yang melahirkan pengetahuan baru dan relevan dengan realitas sosial.
“KUPI telah memperlihatkan bahwa tradisi keilmuan dapat tumbuh dari pengalaman konkret, terutama pengalaman kemanusiaan,” ujarnya. Atas dasar itu, ia menyampaikan apresiasi dan kebanggaan atas kontribusi KUPI dalam menguatkan ekosistem produksi pengetahuan yang hidup dan bermakna.
Peran kedua, lanjutnya, adalah membangun budaya akademik. Atmosfer ini, menurut Wakil Rektor II, terasa kuat dalam forum-forum KUPI yang menghadirkan diskusi kritis, reflektif, dan bernuansa akademik, tanpa terjebak pada retorika kosong. Sementara peran ketiga perguruan tinggi adalah membentuk masyarakat yang rasional dan logis, sebuah tanggung jawab yang juga tercermin dalam setiap gagasan KUPI yang disusun melalui argumentasi yang kokoh, baik secara aqli maupun naqli.
Dalam kesempatan yang sama, Ketua Panitia Halaqah Kubra, Iklilah Muzayyanah, menyampaikan apresiasi dan terima kasih kepada UIN Sunan Kalijaga yang telah membuka ruang dan memberikan dukungan penuh bagi terselenggaranya forum tersebut. Ia menuturkan, seluruh diskusi selama tiga hari terakhir menjadi catatan penting untuk melakukan refleksi, evaluasi, dan peninjauan ulang terhadap arah gerakan KUPI ke depan.
“Proses ini adalah ikhtiar bersama untuk terus menghidupkan dan menguatkan semangat gerakan keulamaan perempuan agar semakin berdampak bagi kemaslahatan umat,” ujarnya. Ia menilai, Halaqah Kubra menjadi titik berangkat yang lebih kokoh dalam menggerakkan ulama perempuan Indonesia di masa mendatang.
Iklilah juga menyampaikan rasa bangga atas apresiasi global terhadap kerja-kerja kemanusiaan yang telah dilakukan KUPI. Upaya tersebut, menurutnya, mengantarkan KUPI masuk dalam nominasi Human Rights Award yang diberikan oleh Kementerian Luar Negeri Belanda, sebuah penghargaan bagi individu atau kelompok yang konsisten memperjuangkan hak asasi manusia.
Ke depan, ia menegaskan, konsolidasi gerakan akan terus diperkuat, seiring dengan komitmen menjaga produksi pengetahuan yang bersumber dari pengalaman intelektual dan kemanusiaan, terutama yang berkaitan dengan perempuan dan kelompok rentan. “Tujuan akhirnya sederhana tetapi mendasar, memastikan mereka yang paling rentan benar-benar terlindungi,” katanya.
Dengan penutupan Halaqah Kubra ini, UIN Sunan Kalijaga dan KUPI menegaskan bahwa kampus bukan hanya ruang akademik, melainkan juga medan etik, tempat ilmu pengetahuan diuji keberpihakannya pada martabat manusia.(humassk)