WhatsApp Image 2025-12-12 at 13.27.45.jpeg

Jumat, 12 Desember 2025 13:07:00 WIB

0

UIN Sunan Kalijaga Tuan Rumah Halaqah Kubra: Ulama Perempuan Konsolidasikan Spirit Ma’ruf, Mubadalah, dan Keadilan Hakiki

UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta menjadi tuan rumah penyelenggaraan Halaqah Kubra yang berlangsung selama tiga hari, Jumat (12/12/2025) hingga Minggu (14/12/2025). Kegiatan ini diselenggarakan oleh Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) bekerja sama dengan UIN Sunan Kalijaga, Rahima, Fahmina, dan Gusdurian.


Pada hari pertama, Jumat (12/12/2025) digelar Dialog Publik bertema “Membumikan Spirit Keulamaan Perempuan untuk Peradaban Islam yang Ma’ruf, Mubadalah, dan Berkeadilan Hakiki” di Aula Convention Hall lt 1, UIN Sunan Kalijaga. Forum ini menjadi ruang perjumpaan ulama perempuan, akademisi, aktivis, dan pemangku kepentingan untuk merumuskan agenda strategis dalam memperkuat peradaban Islam yang adil dan setara.

Hadir dalam kegiatan tersebut Rektor UIN Sunan Kalijaga Prof. Noorhaidi Hasan, Wakil Rektor Bidang Administrasi Umum, Perencanaan, dan Keuangan Prof. Dr. Mochamad Sodik, Guru Besar Hukum Keluarga Islam Prof. Euis Nurlaelawati, Guru Besar Kajian Gender Prof. Alimatul Qibtiyah, Dewan Pertimbangan KUPI Prof. Machasin, serta perwakilan Fahmina, Rahima, Gusdurian dari berbagai wilayah di Indonesia.

Dalam sambutannya, Rektor UIN Sunan Kalijaga Prof. Noorhaidi Hasan menegaskan Pilihan KUPI ini juga tidak salah karena pada tahun 1928, tepatnya 22 Desember di Yogyakarta pernah diselenggarakan Kongres Perempuan Indonesia pertama yang diikuti oleh kurang lebih 30 organisasi perempuan dari seluruh Indonesia. Di antaranya Putri Indonesia, Wanita Katolik, Aisyiyah, Wanita Taman Siswa, cabang-cabang perempuan dari Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan Indonesia Timur.

Semua berkumpul untuk membincangkan isu-isu strategis, memperjuangkan kesetaraan perempuan di hadapan hukum, memperjuangkan akses pendidikan yang lebih luas dan terjangkau bagi perempuan, serta menyuarakan penolakan terhadap kawin paksa dan pernikahan di bawah umur. Mereka juga mengambil peran penting dalam perjuangan Indonesia menuju kemerdekaan.

Jadi pada tahun 1928 saja, perempuan-perempuan Indonesia sudah menunjukkan prestasi luar biasa. Saya yakin kerja keras mereka memberi kontribusi penting bagi perkembangan bangsa dan negara kita ungkapnya.


Menurutnya, tradisi reinterpretasi keagamaan yang dilakukan ulama perempuan dan pejuang gender merupakan kerja intelektual yang penting dalam menantang budaya patriarki yang selama ini dilegitimasi pembacaan keagamaan yang sempit.

Indonesia, menurutnya, termasuk negara yang menunjukkan progres signifikan dalam kesetaraan gender. Partisipasi perempuan mencapai 53 persen, seiring meningkatnya keterlibatan organisasi perempuan, aktivis gender, dan ruang-ruang publik yang lebih inklusif.

Untuk itu, dalam mengkaji realitas yanga ada, Rektor berharap KUPI tidak hanya berhenti pada persoalan yang berkaitan dengan perjalanan doktrinal, tetapi juga menyentuh isu-isu lain yang saling terkait.

Dalam kesempatan yang sama, Wakil Ketua DPD RI GKR Hemas, menekankan bahwa KUPI bukan hanya forum keilmuan, tetapi gerakan peradaban. KUPI menegaskan bahwa suara dan pengalaman perempuan merupakan salah satu sumber otoritas keagamaan Islam. Spirit ma’ruf, mubadalah, dan keadilan hakiki sangat relevan dengan situasi bangsa hari ini,” ujarnya.

Suara KUPI menjadi penting karena fakta hari ini masih menunjukan tingginya angka kekerasan berbasis gender, termasuk kekerasan seksual, psikis, fisik, dan ekonomi, serta KDRT yang mencapai 61 persen dalam laporan nasional. Menurutnya, kondisi tersebut tidak boleh dianggap sebagai sesuatu yang normal, melainkan krisis kemanusiaan yang menuntut respons negara yang lebih tegas dan berperspektif gender. “KUPI memiliki posisi strategis dalam memberikan sumbangsih pemikiran terhadap berbagai persoalan sosial bangsa,” katanya.

Mengakhiri paparannya, GKR Hemas menyampaikan harapannya agar kegiatan ini benar-benar menjadi ruang perjumpaan ilmu, empati, dan keberanian untuk menampilkan wajah Islam yang memuliakan kehidupan, Islam yang ma’ruf, mubadalah, dan berkeadilan hakiki.


Sementara itu, Ketua Majelis Musyawarah KUPI, Badriyah Fayumi, menguraikan landasan ideologis gerakan KUPI, yakni ketauhidan, kerahmatan, kemaslahatan, kesetaraan relasi, keadilan substantif dan prosedural, kebangsaan, kemanusiaan, dan kesemestaan.

“Sebagai gerakan intelektual, sosial, dan spiritual, KUPI telah berhasil mendefinisikan ulama perempuan secara ideologis, bukan biologis,” ujarnya.

KUPI, lanjut Nyai Badriyah, bukan hanya ruang produksi pengetahuan, tetapi juga ruang yang secara aktif mengedukasi, mengaplikasikan, dan mengesahkan nilai-nilai keulamaan perempuan hingga menjadi kekuatan transformasi sosial. “KUPI memiliki misi besar untuk meneguhkan otoritas keulamaan perempuan. Kami aktif melakukan gerakan penulisan, penelusuran sejarah, serta merekam jejak perjuangan agar pengetahuan yang lahir tidak hanya hidup di ruang wacana, tetapi berdampak nyata,” ujarnya.


Ia juga menggambarkan KUPI sebagai sebuah anatomi gerakan yang utuh yang bekerja dalam satu tarikan napas untuk melahirkan masa depan yang lebih baik. “Gerakan ini tidak hanya hidup, tetapi juga berjalan, sensitif membaca realitas, dan terus berkembang,” tambahnya.

Acara juga diwarnai pembacaan Pernyataan Sikap Jaringan KUPI terkait penanganan bencana berskala nasional di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat, yang disampaikan oleh Nur Akhmad, Iklilah Muzayyanah, Prof. Alimatul Qibtiyah, Pera Sopariyanti, Marzuki Rais, dan Jay Ahmad.

Pernyataan sikap tersebut menyoroti kerusakan ekologis akibat deforestasi, lemahnya pengawasan ruang, serta praktik ekonomi yang tidak berkelanjutan yang memperparah bencana dan mengancam kelompok rentan yang meliputi ibu hamil dan menyusui, anak-anak, lansia, penyandang disabilitas, serta masyarakat miskin.

Ikrar tersebut juga menyerukan pentingnya etika keberagamaan yang memuliakan alam, serta mendesak negara menindak tegas pelaku perusakan lingkungan, termasuk korporasi dan tokoh berpengaruh.

Halaqah Kubra dilanjutkan dengan Dialog Publik yang menghadirkan sejumlah tokoh dan peneliti gender yang mengangkat berbagai perspektif.

Acara ini meneguhkan kembali posisi Yogyakarta, melalui UIN Sunan Kalijaga sebagai salah satu simpul penting gerakan pembaruan yang berpihak pada keadilan gender dan kemanusiaan.(humassk)