WhatsApp Image 2025-12-17 at 17.09.57.jpeg

Kamis, 18 Desember 2025 10:39:00 WIB

0

Membaca Islam di Tengah Arus Budaya Global, Prof Maharsi Dikukukan sebagai Guru Besar bidang islam dan Budaya

Agama, yang sejatinya lahir dari ruang sunyi spiritualitas, kini kian sering tampil di etalase pasar, dikemas, dipromosikan, dan diperjualbelikan. Dari garam rukyah berharga jutaan rupiah hingga simbol-simbol religius yang dijadikan alat legitimasi politik, wajah Islam dalam budaya global sedang berada di persimpangan antara makna dan komoditas.

Refleksi kritis itu mengemuka dalam pidato pengukuhan Guru Besar Bidang Islam dan Budaya yang disampaikan dosen Fakultas Adab dan Ilmu Budaya Prof. Dr. Maharsi, M.Hum, pada Sidang Senat Terbuka yang digelar di Gedung Multipurpose UIN Sunan Kalijaga, Rabu (17/12/2025).


Dalam pidatonya, Prof. Maharsi menegaskan bahwa globalisasi abad ke-21 tidak hanya mengubah lanskap sosial, budaya, dan ekonomi, tetapi juga membawa dampak mendalam pada cara agama dipahami, dipraktikkan, dan direpresentasikan. Kemajuan teknologi informasi, media massa, serta ekonomi pasar bebas telah melahirkan budaya global yang seragam, instan, dan konsumtif, sebuah kondisi yang mendorong agama memasuki proses komodifikasi.

“Agama yang sebelumnya menjadi pedoman hidup dan sumber nilai moral, kini kerap diperlakukan layaknya produk ekonomi, dikonsumsi, dijual, bahkan dipromosikan melalui mekanisme pasar,” ujar Prof. Maharsi.

Ia menjelaskan bahwa dalam budaya konsumsi modern, nilai, simbol, dan praktik keagamaan mengalami transformasi menjadi komoditas yang memiliki nilai jual. Media digital dan platform sosial seperti Instagram, YouTube, dan TikTok mempercepat proses tersebut dengan menghadirkan figur-figur publik berlabel religius yang mengemas pesan keagamaan dalam format hiburan populer.


Namun, Prof. Maharsi mengingatkan bahwa fenomena ini sesungguhnya memiliki dua wajah. Di satu sisi, komodifikasi agama dapat berkontribusi pada peningkatan praktik keagamaan dan kesejahteraan masyarakat. Di sisi lain, ketika agama hanya dijadikan alat legitimasi pasar dan kepentingan politik sesaat, nilai spiritualnya justru tereduksi.

Ia mencontohkan berbagai kasus konkret, mulai dari maraknya penjualan garam rukyah di marketplace besar dengan klaim supranatural yang tidak memiliki dasar kuat dalam Al-Qur’an dan Hadis, hingga praktik manipulatif yang memanfaatkan rekayasa digital dengan mencatut figur ulama sebagai alat promosi. “Masyarakat dengan literasi agama dan teknologi yang rendah sering kali menjadi pihak yang paling dirugikan,” katanya.

Fenomena serupa juga tampak dalam penawaran haji furoda berfasilitas mewah melalui media sosial, kasus perumahan syariah fiktif yang menjanjikan cicilan tanpa riba, hingga praktik penggandaan uang oleh tokoh agama palsu yang berujung pada penipuan. Bahkan, menurut Prof. Maharsi, agama juga kerap ditarik ke ranah politik praktis, menjadi komoditas elektoral yang memobilisasi dukungan massa dengan risiko memecah belah masyarakat.

“Ketika simbol dan teks keagamaan diperalat demi kepentingan ekonomi dan politik, agama kehilangan dimensi etik dan spiritualnya,” tegasnya.

Dalam kerangka teoritis, Prof. Maharsi menyebut fenomena ini sebagai konvergensi spiritualitas dan komoditasm, sebuah kondisi ketika spiritualitas memperoleh dimensi komersial, sementara komoditas diberi muatan spiritual. Konvergensi ini, menurutnya, menciptakan dinamika baru dalam budaya global, di mana agama tidak hanya berfungsi sebagai sistem keyakinan, tetapi juga sebagai bagian dari ekonomi dan budaya konsumsi.

Meski demikian, ia menolak pandangan yang mereduksi agama semata-mata sebagai komoditas. Mengutip kritik Karl Marx tentang agama sebagai “candu masyarakat”, Prof. Maharsi menegaskan bahwa pandangan tersebut merupakan kritik sosio-politik yang tidak bisa diterima secara universal. Bagi banyak orang, agama justru menjadi sumber kedamaian, makna hidup, dan kebahagiaan yang autentik.


“Tanpa spiritualitas, praktik keagamaan hanya akan menjadi ritual kosong. Namun tanpa kejujuran dan etika, komodifikasi agama berpotensi melahirkan manipulasi,” ujarnya.

Di akhir pidatonya, Prof. Maharsi menekankan bahwa menempatkan Islam dalam budaya global harus dilakukan secara komprehensif dengan mengakui perannya sebagai sumber nilai spiritual, sistem simbol budaya, sekaligus fenomena sosial yang berinteraksi dengan pasar global. Konvergensi spiritualitas dan komoditas dapat menjadi salah satu lensa analisis, tetapi tidak boleh menjadi satu-satunya cara pandang.

“Islam bukan sekadar komoditas yang dipasarkan. Ia adalah sistem nilai yang membentuk identitas, solidaritas sosial, dan kohesi budaya. Di tengah globalisasi, Islam harus tetap menjadi kekuatan pemersatu yang adaptif tanpa kehilangan ruh spiritualnya,” pungkasnya.(humassk)