Ada saatnya sidang senat terbuka tidak sekadar menjadi panggung seremoni akademik, melainkan ruang yang memaksa kita berhenti, lalu bertanya ulang, selama ini, dari mana sebenarnya kita memulai ketika berbicara tentang Tuhan? Dari definisi? Dari debat sifat? Dari kategori “ada–tiada”? Atau dari pengalaman batin yang selama ini kita sebut iman, tetapi jarang kita susun dengan logika yang disiplin?
Pertanyaan itu seperti menggantung di udara Gedung Multipurpose UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Rabu (17/12/2025), saat Prof. Dr. Ahmad Yani Anshori, M.Ag., dosen Fakultas Syariah dan Hukum, dikukuhkan sebagai Guru Besar bidang Fiqh Siyasah. Dalam pidato pengukuhan berjudul “Logika dan Tata Kelola Energi (Mantiqun Nafs wa Siyasatuha)”, ia memperkenalkan gagasan Teologi Energi, sebuah pendekatan yang tidak menempatkan Tuhan sebagai “objek pengetahuan”, melainkan sebagai Sumber mutlak keberadaan.
Di hadapan audiens, ia menyatakan, semua upaya memahami keberadaan menjadi kurang logis bila dimulai dari makhluk, sebab makhluk selalu bergerak dalam keterbatasan, selalu hadir setelah sesuatu yang lain ada. Memahami makhluk tanpa memahami sumbernya, ia mengibaratkan, seperti membaca bayangan tanpa mengetahui tubuh yang melempar bayangan itu. Karena itu, Teologi Energi, menurutnya, tidak memulai dari bayangan, tidak pula dari “fiksi kahyangan”, melainkan dari struktur terdalam pada diri/kesadaran, tempat keberadaan memperoleh legitimasi, ritme, dan tujuan gerak.
Yang menonjol dari gagasan Prof. Ahmad Yani adalah cara ia menggeser fokus pembahasan. Teologi Energi tidak sibuk menetapkan sifat-sifat Tuhan sebagaimana lazimnya uraian teologis. Ia justru mengusulkan sesuatu yang lebih tajam. penafian kategori.
Manusia bertanya “Apa Dia?” karena manusia berpikir dalam kategori benda. Manusia bertanya “Di mana Dia?” karena berpikir dalam ruang. Manusia bertanya “Kapan Dia?” karena berpikir dalam waktu. Manusia bertanya “Bagaimana Dia?” karena berpikir dalam proses. Bahkan manusia bertanya “Untuk apa Dia mencipta?” karena berpikir dalam tujuan.
Teologi Energi, dalam kerangka itu, tidak menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut satu per satu, melainkan menolak premis yang melahirkan pertanyaan itu. Tuhan tidak ditempatkan dalam kategori abstrak–konkret, ruang–waktu, jauh–dekat, tinggi–rendah. Bukan karena Tuhan “berada di tengah”, melainkan karena kategori-kategori itu sendiri baru muncul setelah ada pergerakan, dan pergerakan adalah wilayah makhluk.
Tegasnya, Tuhan tidak menjadi objek penjelasan. Yang dapat dibahas adalah jejak epistemik dari keberadaan-Nya, konsekuensi logis dari kemustahilan makhluk menjangkau Yang Absolut.
Jika Tuhan tidak mungkin dibahas sebagai objek, lalu bagaimana manusia tahu bahwa Tuhan ada? Di sini Prof. Ahmad Yani memperkenalkan simpul penting: Huwiyyah, kediaan-Nya.
Huwiyyah bukan “diri Tuhan”, melainkan jejak kehadiran yang hadir dalam kesadaran tanpa proses pembuktian. Ia diketahui bukan lewat pancaindra, bukan lewat dalil rasional, bukan lewat logika sebab-akibat, melainkan dari sesuatu yang hadir tanpa pembuktian, bukan berarti tak dapat diketahui, tetapi diketahui tanpa proses penalaran.
Dalam kerangka Teologi Energi, Huwiyyah menjadi medan kesadaran pertama, pintu yang memungkinkan makhluk menyadari adanya Sumber tanpa mengurangi kemutlakan dan ketakterjangkauan-Nya.
Dari Huwiyyah, Prof. Ahmad Yani membangun struktur berikutnya Nafsihi (Diri-Nya) sebagai sistem internal Sang Absolut, bukan zat, bukan sifat, bukan entitas psikologis, melainkan struktur absolut yang konsekuensinya bisa dipahami.
Di titik ini, Teologi Energi menegaskan bahwa yang dibangun adalah logika eksistensial, bukan untuk mendeskripsikan siapa Tuhan, melainkan untuk memahami bagaimana segala sesuatu mungkin ada tanpa klaim bahwa manusia telah bertemu dan melihat”Yang Maha Ada.
Pada bagian penutup pidatonya, Prof. Ahmad Yani Anshori menegaskan bahwa Mantiqun Nafs tidak dimaksudkan sekadar sebagai model baru, melainkan sebagai paradigma energi kosmik yang disusun sebagai sebuah sistem ilmu mandiri. Paradigma ini, menurutnya, memiliki perangkat konsep yang utuh, mulai dari struktur energi, mekanisme eksitasi, hingga kerangka geometri, serta disusun dalam rantai yang sistematis dan dapat diuji secara ilmiah.
Mantiqun Nafs dirancang dengan perangkat konsep yang lengkap, mencakup relasi energi, materi, instruksi, dan struktur kosmik, memiliki alur eksitasi yang berlapis dan konsisten; dilengkapi metode ukur yang jelas, serta dibangun di atas struktur geometri yang memungkinkan pembacaan ulang asal-usul ruang dan dinamika kosmos. Dengan fondasi tersebut, kerangka ini tidak berhenti pada spekulasi metafisis, tetapi diklaim terbuka untuk diuji dan dikritisi oleh ilmu pengetahuan modern.
Secara substantif, novelty Mantiqun Nafs menjangkau lintas disiplin. mulai dari kosmologi, fisika energi, dan dinamika ruang-waktu, hingga geometri instruktif, astronomi, teologi ilmiah, kesadaran non-material, genealogi ruang material, serta epistemologi standar ukur. Dalam konteks ini, Mantiqun Nafs diposisikan bukan hanya sebagai wacana teologis, melainkan sebagai upaya menyusun jembatan konseptual antara teologi dan sains kontemporer.
Prof. Ahmad Yani menegaskan, hingga kini belum ada teori yang menawarkan struktur eksitasi energi, pembentukan ruang, dan stabilitas kosmos secara konsisten, terukur, tidak bergantung pada singularitas, serta kompatibel dengan data ilmiah modern dalam satu kerangka yang terpadu. Di titik itulah Mantiqun Nafs ia ajukan bukan sebagai kebenaran final, melainkan sebagai undangan akademik untuk menguji ulang cara manusia memahami keberadaan, kosmos, dan relasinya dengan Sang Sumber.(humassk)