UIN SUKA

Rabu, 27 Agustus 2025 09:07:00 WIB

0

Mengapa Saya Menjadi Relawan: KISAH AKRIS dari Ngawi ke Jogja Menjadi RELAWAN PLD (Dr. Asep Jahidin, Koordinator Pusat Layanan Difabel UIN Sunan Kalijaga)

"Nama lengkap saya Akris Annisaul Febrianti", ungkapnya. (Tadarus ini saya tulis dari hasil wawancara dan telah dibaca dan disetujui oleh Akris, demikian ia biasa dipanggil)...adalah seorang mahasiswi asal Ngawi, meniti jalan panjang sebelum menjadi bagian dari relawan Pusat Layanan Difabel (PLD) UIN Sunan Kalijaga. Akris tumbuh di keluarga yang mencintai pertanian. “Asal dari Ngawi. Sekolah TK saya di TK Aisyiyah Paron, SD di MIN 5 Ngawi, MTS di MTS Plus Darul Ulum Jombang, Man di MAN 2 Tulungagung bapak. Sejak MTS saya sudah merantau hehee,” ujarnya saat saya tanya pengalaman sekolahnya. Akris kuliah di Prodi Komunikasi Penyiaran Islam (KPI) angkatan 2021 dan ia bergabung jadi relawan PLD sejak semester 3 di tahun 2022

Perpindahan sekolahnya dari satu kota ke kota lain bukan tanpa alasan. “Kalau waktu MTS saya memang ingin mondok. Waktu saya masih SD, saat istirahat saya makan sama kakak tingkat ada 3 orang (mereka bertiga sahabat). Kita ngobrol tentang jenjang selanjutnya. Kakak-kakak ingin melanjutkan ke pondok, dan mereka bercerita tentang pondok kepada saya juga. Disitulah saya tertarik untuk melanjutkan ke pondok saat MTS”, Jelas Akris

Kemudian, ketika di Tulungagung, alasan keluargalah yang membuat Akris berpindah. “Kalau saat MAN di Tulungagung, karena ayah saya ingin merawat ibu beliau (Neneknya Akris). Ibu dan saya di boyong ke Tulungagung, dan saya bersekolah di MAN 2. Kenapa MAN 2? Karena di sana ada asrama yang juga memiliki kegiatan ngaos kitab, mengaji, muhadhoroh, dll juga bapak. Saya masih ingin melanjutkan kegiatan yang seperti di pondok, jadi (Akris) memilih MAN 2. Meskipun bukan pondok, tapi kegiatan di asrama mirip dengan pondok dan seru karena banyak teman,” tambah Akris

Saya menyimak kisah Akris ini dengan rasa penasaran, saya tanya bagaimana ia bisa kuliah di UIN Sunan Kalijaga... Dengan tenang Akris menceritakan: “Setelah SMA, saya izin untuk kuliah. Ayah dan ibu saya mengizinkan saya memilih kuliah di daerah Jogja dan Surabaya. Karena Surabaya panas dan crowded waktu itu, jadi saya memilih Jogja pak. Awalnya saya mencoba UTBK di UGM dan UNY, namun belum rezekinya. Sebetulnya, ayah dan ibu memang menyarankan untuk di UIN karena tetap ada basic agama nya. Di UIN, saya mencoba jalur SPAN dan UMPTKIN. Waktu itu masih online ujiannya bapak. Saya memilih Prodi KPI (Komunikasi dan Penyiaran Islam), karena yang mirip dengan Ilkom (Ilmu Komunikasi). Saya belum tahu waktu itu di UIN ada Ilkom bapak, dan kebetulan jalur masuk yang saya pilih juga mengarahnya ke prodi KPI bukan Ilkom.” Akris menegaskan pilihannya bukan karena paksaan. “Karena minat saya bapak, untuk mendalami komunikasi. Dan kebetulan ibu saya juga mendukung.” Demikian jawabnya saat saya tanya lebih lanjut

Berangkat ke Jogja bukanlah pengalaman asing baginya karena waktu sekolah di MTS Akris juga pernah melakukan kunjungan study tour ke Jogja. Namun kisah cerita ini dimulai kembali saat ia resmi jadi mahasiswa di UIN. “Waktu itu saya kuliah diantar keluarga, di semester 3 karena covid (wabah Corona di Indonesia). Waktu semester 3 juga belum masuk total, masih hybrid. Namun, saya sudah mulai ke Jogja”, jelas Akris...

Perjumpaan Akris dengan PLD berawal dari seorang teman. “Dari teman satu Prodi, Hanna Namanya”, terang Akris kepada saya (Hanna adalah mahasiswa difabel tuli, teman satu kelas Akris). Rasa penasaran telah membawa langkah Akris ke PLD. “Waktu itu saya tertarik ngobrol dengan Hanna memakai bahasa isyarat. Setelah itu, Hanna sarankan saya masuk PLD. Setelah saya telisik, ternyata teman-teman KPI angkatan saya banyak yang masuk PLD. Saya bertanya dengan Alif waktu itu (Alif adalah mahasiswa difabel satu Prodi dengan Akris juga), apa saja persyaratan untuk ikut bergabung dengan PLD. Alif menjawab, datang aja ke PLD hehee. Waktu itu saya sedikit bingung dengan jawaban tersebut. Alhasil, saya beneran datang ke PLD. Karena waktu itu saya belum begitu dekat dengan teman-teman, saya ke PLD sendiri bapak. Saya menanyakan kepada Staf (maksudnya kepada Mbak Uwi staf PLD), apakah masih bisa menjadi relawan, dan bagaimana caranya. Jawabannya, ambil pendampingan aja langsung mbak. Karena kebetulan memang ada jadwal yang masih kosong waktu itu pak. Akhirnya saya mengambil pendampingan 2, dengan modal coba aja dulu ehehe.” Demikian penjelaan Akris panjang kali lebar kepada saya.

Saya pun bertanya pengalaman yang membekas di hatinya selama menjadi relawan PLD. “Banyak bapak hehe. Menurut saya, semua kegiatan di PLD berkesan.” Demikian kenang Aris. Tapi ia menyebutkan pengalaman paling berkesan adalah: “Saat bonding bersama teman-teman relawan dan difabel. Menurut saya, itu yang berkesan bapak”, jawab Akris. “Karena saya bisa lebih dekat dengan banyak orang. Selanjutnya juga pelatihan dari PLD yang diberikan kepada relawan untuk menambah pengetahuan tentang kerelawanan, seperti bahasa isyarat, braille, dll”, tambah Akris

Tidak semua pengalaman jadi relawan membuat hati Akris bahagia...“People come and go bapak hehee. Ada beberapa relawan yang mungkin tidak bertahan sampai akhir, atau yang memang sudah di ujung waktu untuk wisuda dan memilih kembali pulang ke rumah masing-masing.” Dan itu membuatnya sedih, karena, “Sudah banyak kenangan pak, banyak memori bersama di PLD,” kenang Akris

Di Ujung pembicaraan saya meminta pesan dari Akris untuk sesama relawan PLD, Akris menitipkan pesan, “Semoga semakin betah di PLD. Paham kewajiban dan hak menjadi relawan. Bahagia dan sukses selalu.” Sedangkan untuk mahasiswa difabel di UIN , ia berucap, “Tetap semangat dan keep inspiring! Selalu happy bisa kenal dengan kalian dan cerita-ceritanya”, demikian kesan Akris