UIN SUKA

Senin, 03 November 2025 11:55:00 WIB

0

Metode Intervensi Cahaya Nabi untuk Difabel, Tahap Awal: Menyadari Terang Diri ( Dr. Asep Jahidin, Koordinator Pusat Layanan Difabel UIN Sunan Kalijaga ).

Tadarus DIFABEL Minggu 56

 

Metode Intervensi Cahaya Nabi untuk Difabel, Tahap Awal: Menyadari Terang Diri

(Gagasan umum dari Metode Intervensi Cahaya Nabi yang dibangun dari hasil riset dan data lapangan ini telah saya paparkan pada Forum International Dakwah Converence (IDACON) 2025 dalam rangkaian ulang tahun Fakultas Dakwah Dan Komunikasi UIN Sunan Kalijaga)

Malam itu hujan kembali turun, tidak seperti waktu itu, kali ini nadanya lebih halus, kayak bisikan langit yang nggak mau bikin orang gelisah. Lampu neon kuning di ruangan saya, cahayanya byar pet di atas meja kerja, memantulkan bayangan samar di wajah-wajah yang masih tersisa setelah tadarus minggu lalu tentang Menangkap Cahaya…

Pikiran kami belum bubar sepenuhnya. Saya pantau sekitar. ada yang masih duduk sambil ngelamun, ada yang ngobrol pelan, ada juga yang ngetik laporan di laptop, mungkin sambil dengerin suara air menetes di balik jendela...

“Kalau manusia itu cahaya,” kata seorang rekan diskusi sambil menatap keluar jendela, “berarti setiap kepedihan ataupun luka juga bisa jadi pantulan cahaya ya, Kang?”

Saya diam sejenak, menatap secangkir kopi ireng yang tinggal separuh. “Iya, mungkin saja dari luka justru kita belajar gimana cahaya itu bekerja. Karena cahaya nggak cuma atraksi tentang terang, tapi ia juga bicara tentang tembus, nembus gelap, nembus batas, bahkan nembus ke hati.”

Seorang relawan difabel yang terlihat nyaman duduk di pojok, ngetik di HP dan menunjukkan layarnya:

“Kalau begitu, kita semua adalah cermin. Tapi banyak yang lupa untuk bersihin dirinya, jadinya cahaya yang lewat nggak kelihatan.”

Kami semua senyum. Ada diam yang hangat. Di situ saya mulai merasa, ini mungkin saatnya untuk saya mulai membahas cara kerja cahaya dalam hidup manusia. Bukan sebagai teori, tapi sebagai pengalaman batin yang dipraktikkan. Yang selama ini kami lakukan dalam proses-proses interaksi sosial di Pusat Layanan Difabel

Saya pun menulis di buku catatan kecil di depan kami:

“Intervensi Cahaya Nabi: Tahap Awal. Kesadaran Diri Sebagai Cahaya.”

Rumus Pertama: Menyadari Sumber Terang

Saya kembali mengajak semua untuk pejam mata sebentar saja. “Bayangin satu titik cahaya kecil di dalam dada kalian,” saya bilang pelan. “Dia redup, tapi ia nyata. Cahaya itu bukan dari luar. Dia dari dalam, dari Yang Menciptakan.” Cahaya dari generasi pertama …wanafakhtu fiihi min ruuhi padi diri setiap manusia.

Seorang teman netra mengangkat tangan, suaranya agak pelan meyakinkan:

“Aku nggak bisa lihat titik itu, tapi aku bisa rasain. Rasanya kayak pas orang nyebutin namaku dengan lembut. Lalu aku merasakan ada sesuatu yang hangat di dalam dada.”

Saya jawab, “Itu dia. Kesadaran cahaya nggak perlu mata. Ia bahkan bisa terbit, muncul dari rasa disapa.”

Metode Intervensi Cahaya Nabi untuk Difabel selalu akan dimulai dari sini, dari kesadaran diri disapa oleh Tuhan, atau juga  oleh Tuhan melalui sapaan manusia, Cahaya Nabi. … wahai manusia

Bahwa, setiap difabel bukan objek yang perlu dikasihani, tapi subjek yang sedang dipanggil untuk nyala, disapa dengan cara yang unik, khas, dan disukai. (Aku disapa karena itu aku ada dalam konteks sosial) Saya kembangkan teori Rene Deskartes tentang “Ada”.

Rumus Kedua: Menyadari Pantulan

Saya kemudian bertanya, “Pernah nggak ngerasa hati kalian tiba-tiba terang, misalnya karena seseorang tersenyum, atau ngucapin terima kasih meskipun kecil aja?”

Teman yang duduk di kursi roda jawab pelan, “Sering. Kadang bukan dari kata-katanya, tapi tatapan mata yang tulus. Kayak ada sinar yang pindah mengalir dari dia ke aku.”

Saya menulis lagi di lembar kertas:

“Ya, Cahaya berpindah lewat perhatian.” dalam konteks ini ia menyala lewat perwujudan “penghormatan, perlindungan dan pemenuhan hak bagi difabel”

Dan di situlah rumus kedua dari Intervensi Cahaya Nabi ini: yaitu menyadari bahwa setiap interaksi manusia adalah pertukaran cahaya. Bukan cuma antara mata dan telinga saja, tapi antara jiwa dan jiwa.

Rumus Ketiga: Menyalakan Kembali

Di akhir waktu, saya ajak semuanya untuk saling memandang, bagi teman netra mereka bisa lakukan dengan saling menyentuh tangan.

Saya bilang pelan,

“Cahaya Nabi itu bukan memancar dari kitab atau teori, tapi dia dilahirkan dari interaksi sosial, suatu peristiwa saling menghidupkan.”

Kami saling menatap, saling menggenggam secara metodis, dalam diam yang lumayan panjang.

Ada binar di sudut mata satu dua orang. Saya menangkap kami mulai merasa: ternyata nyala itu nggak jauh-jauh sih. Ia selalu ada di dalam diri kita, ia hanya menunggu untuk diingat. Menanti untuk disadari keberadaan sinarnya

Catatan

Tadarus ditutup tanpa banyak bicara. Hanya kalimat pendek yang ditulis sebelum pamit:

“Cahaya itu sebenarnya nggak pernah hilang. Kadang ia cuma nunggu. Menunggu kita sadar bahwa kita semua ini adalah lampunya.”

Dan saya menambahkan di catatan akhir itu:

“Metode Intervensi Cahaya Nabi tahap awal bukan soal teknik, tapi soal MEMBANGUN KESADARAN. Adalah Kesadaran bahwa Tuhan menyalakan kita supaya kita bisa menyalakan yang lain.”

…Pada tadarus minggu depan, saya akan lanjut dan masuk ke tahap kedua metode Intervensi Cahaya Nabi... Penyatuan cahaya antar manusia. Sebuah pola integrasi interkoneksi empati. Sampai sini dulu ya…