UIN Sunan Kalijaga Gelar Ngaji Ihya' dan Hadirkan Gus Ulil Abshar Abdalla dalam Rangka Memperingati Nuzulul Quran
KH Ulil Abshar Abdalla menyampaikan tausyiah dalam rangka peringatan Nuzulul Quran yang merupakan salah satu rangkaian Ramadan Bil Jamiah UIN Sunan Kalijaga. Bertempat di Ruang Utama Lab. Agama Masjid UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, pengajian ini diselenggarakan pada Senin (10/4/2023), ba’da shalat tarawih berjamaah. Hadir dalam agenda ini Rektor beserta jajaran pimpinan, dekanat, mahasiswa dan masyarakat umum. Ning Ienas Tsuroiya juga nampak hadir membersamai KH Ulil Abshar Abdalla atau yang biasa dikenal juga dengan nama Gus Ulil.
Pada sambutannya, Rektor UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Prof. Dr. Phil. Al Makin, menyampaikan rasa syukurnya karena KH Ulil Abshar Abdalla dapat hadir dan berbagi ilmu dengan seluruh peserta pengajian.
"Beruntung Gus Ulil dapat hadir dan berbagi ilmu dengan kita semua, biasanya mungkin Anda menyaksikan Gus Ulil dalam Ngaji Ihya’ melalui platform online, saat ini dapat hadir di tengah kita semua. Meskipun ini bukan perjumpaan yang pertama dan sudah beberapa kali Gus Ulil hadir di UIN Sunan Kalijaga kami tetap bahagia menyambut kehadiran Gus Ulil," ujar Prof. Dr. Phil. Al Makin.
Dalam tausiahnya, Gus Ulil mengulas tentang kitab Ihya Ulumuddin karya Imam Al-Ghazali yang membahas tema utama tentang jiwa atau hati. Ia mengatakan bahwa tema ini sangat relevan dengan keadaan umat manusia saat ini.
"Jiwa atau hati merupakan tema yang sangat penting di kalangan para sufi. Dalam Ihya, kitabu ajali bil qalb atau Kitab Keajaiban Hati Manusia, jiwa dibagi tiga dalam garis besar yaitu jiwa tumbuhan, hayawan dan annafs natiqoh," ungkap KH Ulil Abshar Abdalla.
Lebih jauh, Gus Ulil menjelaskan bahwa Al Ghazali, pengarang kitab Ihya, pernah mencoba berbagai jalan menuju kebenaran, mulai dari jalan para Mutakallimin (teolog), kaum Bathiniyah (kebatinan, kelompok filsuf dan golongan sufi. Namun, jalan yang paling memuaskan baginya adalah jalan sufi, yang menggunakan jiwa dan hati sebagai rutenya. Oleh karena itu, tema besar dalam tasawuf adalah jiwa atau hati.
Melalui jalan hati ini, sufi atau orang yang menempuh jalan tasawuf dapat mencapai ilmu mukasyafah, yaitu ilmu yang terjadinya atau bentuknya pengalaman langsung, seperti melihat sesuatu secara langsung. Ilmu mukasyafah ini mendatangkan keyakinan yang kokoh karena didapat dari pengalaman langsung, bukan dari kabar atau cerita orang lain.
Dalam kitab Ihya, hati atau jiwa dibagi menjadi tiga bagian. Pertama, jiwa tumbuh-tumbuhan atau an nafs nabatiyah yang merupakan kekuatan didalam makhluk yang memungkinkan makhluk tersebut tumbuh dan menyerap makanan atau nutrisi untuk dijadikan kekuatan tumbuh.”Saat kita makan takjil saat berbuka puasa, itu merupakan fungsi an nafs nabatiyah. Jiwa yang levelnya bisa dikatakan paling rendah.” ujar Gus Ulil memberikan contoh.
Kedua, jiwa hewan atau an nafs hayawaniyah, yang ciri khasnya adalah daya yang mempunyai hasrat untuk melakukan reproduksi atau kawin dengan lawan jenis dan melahirkan keturunan. Pada jiwa ini, manusia tidak berbeda dengan hewan non-manusia.
Ketiga, jiwa yang membedakan manusia dengan makhluk lain, yaitu an nafsul mudrikah atau natiqoh, yaitu jiwa yang berfikir. Jiwa yang bernalar ini membuat manusia secara kualitatif nilainya lebih tinggi dari makhluk lain. Oleh karena itu, pernikahan manusia dengan binatang berbeda dengan hewan. Manusia memiliki kekayaan peradaban dan kebudayaan dalam proses menikah yang mengagumkan karena di dalam dirinya terdapat nafs natiqah atau jiwa yang berfikir.
Manusia memiliki level yang lebih tinggi dari makhluk lain karena penalarannya yang menciptakan peradaban, kebudayaan, dan pengetahuan. Bahkan, level manusia di atas malaikat sehingga Allah meminta malaikat untuk sujud sebagai pengakuan atas keunggulan manusia (Adam) karena di dalam diri manusia terdapat an nafs natiqah. Organ tubuh yang halus dan memiliki sifat ketuhanan seperti jiwa hati, ruh, dan qalb didefinisikan sebagai latifah rabbaniyah, yang disebut haqiqatul insan oleh Al Ghazali. Organ tersebut memungkinkan manusia untuk memperoleh pengetahuan melalui penalaran terhadap objek yang dinalar, atau al ma'qulan, yang semakin banyak jumlahnya akan meningkatkan nilai manusia secara keseluruhan. Meskipun secara fisik manusia sama, namun nilai manusia bergantung pada maqulannya yang berbeda-beda.
Mengakhiri tausyiahnya, Gus Ulil menegaskan bahwa kegiatan sufisme adalah tentang jiwa, bukan hanya sekedar nafsu, melainkan juga termasuk aspek kehalusan, ketuhanan, dan spiritualitas. Hal ini memungkinkan manusia untuk berkomunikasi dengan alam kemalaikatan, walaupun manusia berada di bumi namun masih membawa sifat-sifat malaikat seperti nafsu natiqah.
Gus Ulil juga menyampaikan bahwa manusia harus melakukan usaha terus menerus untuk membersihkan nafsunya agar dapat berkomunikasi dengan alamul malakut, karena jika jiwa kotor maka tidak dapat dijangkau. Dalam hal ini, membersihkan aspek badan bagian dalam melalui tahdimul akhlak menjadi kunci utama untuk mencapai tujuan tersebut.
Orang yang mampu melakukan komunikasi dengan alamul malakut dan mukasyafah dapat mencapai tingkat yang luar biasa dan melihat bumi yang sama namun dengan makna yang berbeda. Gus Ulil juga memberikan contoh bahwa sebuah pohon dapat menjadi inspirasi yang berbeda bagi orang yang memiliki jiwa yang berbeda pula.
“Tujuan utama agama turun adalah agar manusia dapat meningkatkan tarafnya dari nafsu nabati dan nafsu hewan ke tingkatan yang lebih tinggi, yaitu dapat berkomunikasi dengan alamul malakut dan mengalami mukasyafah. Meskipun prosesnya sulit, namun dengan memahami dan mengerti konsep ini, manusia dapat berkembang menjadi insan kamil.” pungkasnya. (Ihza/Alfan/Doni)